Bagian 28 : Ini Tentang Dia

435 59 5
                                    

Kelas adalah neraka bagimu.

Pernah berpikir seperti itu? Jika pernah berarti kita memiliki kesamaan. Biasanya aku tidak akan berpikir demikian tapi kali ini aku harus meminjam kalimat itu.

Aku sangat-sebentar, tolong tekankan ini-tidak menyukai suasana semacam ini. Maksudku saat semua orang bersorak dan meninggalkan dengung berisik di telingaku. Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Padahal terkadang beberapa guru memang tidak hadir karena urusan apalah. Tapi ini pertama kalinya aku harus menyaksikan kekacauan kelas saat tidak ada guru satupun. Menyebalkan. Sekarang aku bertanya-tanya kemana semua guru yang seharusnya mengajar. Negara tidak membayar mereka untuk bermalas-malasan seperti ini.

Jangan menyarankan untuk berbicara dengan Jin hyung. Dia sama berisiknya dengan semua orang yang ada di sini. Jika pernah mendengar teriakannya, maka sebaiknya kau diam saja. Aku benar-benar tidak ingin telingaku bermasalah setelah ini.

"Suga-ya."

Oh, tumben sekali dia memanggilku Suga.

"Ah, sebentar. Apa aku baru saja memanggilmu Suga?"

Aku merotasikan mataku lalu menghela nafas. Dia sengaja membuat lelucon, ya? Maaf, tapi itu tidak lucu. Jadi aku langsung mengalihkan pandangan kembali pada notebook kecilku dan berpikir.

"Aku serius. Kau tidak ingin bermain basket lagi?"

Kenapa tiba-tiba dia menanyakan itu? Aku sudah berhenti bermain basket sejak tahun lalu. Ibu melarangku melakukannya. Katanya aku harus fokus belajar, jadi aku benar-benar berhenti.

Menulis lagu? Aku sudah melakukannya sejak dulu. Ibu tahu aku senang bermain basket lalu menulis lagu. Karena itu ibu memintaku untuk berhenti melakukan salah satunya dan menambah waktu belajar. Jadi aku memilih untuk melepas basket sejak saat itu.

Itu sebabnya aku selalu merasa kesal saat ibu melarangku menulis lagu. Ibu sudah membuatku melepas basket, jadi aku tidak akan menurutinya saat dia menginginkanku berhenti menulis lagu. Aku tidak ingin sepanjang masa mudaku hanya diisi dengan belajar dan bekerja. Ayolah, aku bisa gila. Setidaknya biarkan aku melakukan sesuatu yang aku sukai.

"Jadi?" Jin hyung kembali bertanya karena aku malah diam.

"Kenapa?" dan bukannya menjawab, aku malah balas bertanya.

Jin hyung menatapku kesal kemudian berkata, "Hentikan kebiasaanmu itu. Kau harus menjawab pertanyaan yang diajukan terlebih dahulu sebelum memberikan pertanyaan lagi."

"Terserah."

Jin hyung mendecakkan lidahnya, aku tahu dia kesal. Tapi aku kan memang selalu seperti ini, jadi aku harap dia terbiasa. Jika pun tidak terbiasa, maka lebih baik pergi saja dan jangan menggangguku lagi.

"Aku serius, Yoongi-ya. Kau tahu, ada lomba basket nasional akhir bulan ini. Jika bisa mendapat minimal tempat ke-tiga, maka kau akan mendapat beasiswa untuk kuliah. Kau tidak ingin?"

Aku menoleh, memandang Jin hyung yang memasang wajah menjijikkan. Aku segera mendorong wajahnya menjauh lalu berkata, "Dari mana kau tahu?"

"Aku dengar dari anak-anak klub basket."

"Kenapa aku tidak pernah mendengarnya?" sebenarnya aku hanya bergumam, tapi telinga tajam Jin hyung-yang selalu digunakan untuk menguping itu-mendengarnya.

"Tentu saja karena kau tidak pernah berinteraksi dengan orang lain. Seharusnya kau keluar dan berbicara dengan seseorang. Dengan begitu kau akan..."

"Secara teknis aku sedang berinteraksi denganmu."

Jin hyung langsung menutup mulutnya begitu mendengar ucapanku. Sudah kubilang sebaiknya jangan menceramahiku. Kau akan malu jika aku tiba-tiba menjawab seperti itu, kan? Padahal sudah sering terjadi, tapi dia tetap tidak bisa mengerti.

"Maksudku selain aku dan Bangtan." kata Jin hyung setelah diam selama sepuluh detik.

"Daehyun termasuk, kan?"

"Terserah." karena kesal Jin hyung langsung mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Entah atas dorongan apa aku juga melihat ke sana.

Musim gugur sudah hampir berakhir. Aku tidak terlalu menyukai musim dingin, tapi musim itu tidak bisa dilewati begitu saja. Lagi pula musim setelahnya juga membosankan. Apalagi musim panas. Yah... Katakan saja jika aku membenci semua musim. Tidak, aku memang membenci semua hal tentang dunia ini.

Aku menghela nafas lalu bangkit dan menyambar note book ku. Tanpa mengatakan apapun lagi aku berjalan keluar dari dalam kelas menuju perpustakaan. Di sini terlalu berisik dan aku tidak menyukainya.

Aku baru akan berbelok di ujung koridor ketika tiba-tiba seseorang berlari tepat di depanku. Jika aku tidak refleks mundur, maka aku pasti tertabrak. Lagi pula siapa yang berlarian di koridor seperti ini?

"Ya!"

Aku menoleh ke arah orang itu sembari berteriak agar dia berhenti. Benar saja dia langsung menghentikan langkahnya, tapi sama sekali tidak berbalik atau menoleh. Tunggu, dia terlihat familiar.

"Jimin-ah?!"

Aku tidak tahu, tapi dia langsung bergerak gelisah saat mendengar suaraku. "Maaf, hyung. Aku buru-buru. Nanti aku akan menemuimu." ujarnya lalu berlari lagi.

"Ya! Jangan berlari! Jimin-ah!"

Percuma aku berteriak karena dia sama sekali tidak berhenti. Tapi karena dia berlari ke lorong menuju toilet, jadi aku tidak ingin terlalu memikirkannya. Mungkin dia hanya ingin cepat-cepat menuntaskan sesuatu. Ah, terserah.

Aku baru ingin melanjutkan perjalanan ke perpustakaan saat melihat bercak merah di lantai yang akan kulewati. Banyak sekali, aku rasa setiap dua meter ada titik seperti itu di lantai. Darah? Yang benar saja. Kenapa sekolah ini menjadi horor begini.

Oh, tunggu dulu.

Aku berbalik dan melihat ke arah perginya Jimin. Titik titik merah ini berlanjut ke sana dan mengumpul di tempat Jimin berhenti sebelum kemudian berlanjut lagi. Jangan-jangan anak itu terluka.

Aku melupakan tujuan awalku dan segera mengikuti arah kepergian Jimin. Ini menjadi lebih mudah karena titik-titik itu tidak berhenti begitu saja. Tapi apa itu artinya Jimin terluka parah?

Jejaknya sampai ke toilet. Ternyata benar jika dia ke sini. Aku langsung masuk dan melihat dia sedang membasuh wajahnya di depan wastafel. Aku mengurungkan niat untuk memanggilnya. Kupikir lebih baik aku memperhatikan dari sini.

Aku yakin jika air yang baru saja digunakan oleh Jimin berubah warna menjadi sedikit merah. Jika dilihat dari sini tidak terlihat luka sama sekali. Lebih baik aku menunggu dan menanyakannya saat dia keluar.

Jimin merogoh sakunya dan mengambil sebuah botol kecil. Aku menyipitkan mata, berusaha melihat apa isinya. Tapi sebelum aku menemukan jawabannya, Jimin mengambil isinya dan aku yakin jika itu pil obat.

Jadi intinya dia sakit?

Dan dia langsung menelannya tanpa air sedikitpun. Apa itu tidak pahit? Aku saja tidak pernah mau menelan benda bernama obat itu. Dan dia dengan mudahnya melakukan itu.

Dia terdiam sejenak lalu memandang cermin di hadapannya. Menghela nafas, merapikan penampilannya, lalu berbalik dan berjalan keluar.

Tapi langkahnya terhenti dengan mata melebar ketika menyadari aku berdiri di depan pintu.

Silence [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang