39

1.1K 52 0
                                    

Bagian yang paling sulit dilakukan dalam hidup adalah merelakan dan mengikhlaskan. Mungkin mulut bisa berbicara, tapi hati lain rasanya. Apalagi harus melepas sesuatu yang sangat berharga. Butuh seumur hidup mungkin untuk melupakannya.

Lagi, 3 kali dalam 1 tahunnya, Sahara menatap dalam diam makam di hadapannya. Masih baru, tanahnya masih merah, dan bunga-bungaan bertabur di atasnya. Tidak ada air mata di pipinya. Bukannya tidak sedih, mungkin air matanya sudah habis karena terus menangis semalaman.

Lagi, Sahara harus kehilangan orang yang paling dekat, bahkan yang disayanginya. Belum juga 100 hari, dia kembali ke tempat pemakaman itu lagi dengan kesedihan yang sama namun tempat yang berbeda.

Hatinya seperti sudah beku sekarang. Ingin menangis, kantong air mata rasanya sudah kering. Ingin berteriak, tenggorokan rasanya tersekat.  Dia tidak bisa lagi merasakan sakit hatinya. Yang ada sekarang hanya kesunyian, kehampaan, dan kosong.

Kejadian malam itu begitu cepat dan tepat di depan matanya. Dia sendiri masih tidak percaya dengan apa yang sudah terjadi. Mengerikan bagi Sahara, bahkan menyisakan trauma yang cukup dalam di ingatan Sahara. Mengingat kejadian itu, membuat Sahara selalu ketakutan. Bahkan bila ditanya orang lain bagaimana detail kejadiannya, Sahara sungguh tidak mampu berkata.

"Sahara!" Panggil seseorang.

Sahara sempat tertegun. Suara itu....
Sahara dengan cepat menoleh dan hampir mengembangkan senyumnya. Tapi senyumnya seketika pudar ketika tahu siapa orang yang memanggilnya.

"Mama!" gumam Sahara. Bukan dia...

"Yuk, pulang!" ajak Fatma.

Sahara tertunduk kemudian menggeleng pelan. Tadi sudah kering, tapi entah kenapa tiba-tiba air bisa mengembang lagi di pelupuk mata Sahara.

"Ma, mas...."

"Udah, kita pulang dulu. Kamu perlu beristirahat. Hampir tiap hari kamu ke sini. Mama nggak mau kamu sampe sakit!" bujuk Fatma sembari mengalihkan pembicaraan.

Sahara kembali menatap makam baru itu. Air bening itu sepertinya mulai berproduksi lagi. Alirannya mulai deras dan membuat pipi Sahara kembali basah.

"Ayo, dek!" ajak Fatma lagi.

Sahara berusaha menenangkan dirinya, paling tidak mengkondisikan diri agar tangisnya mereda. Tapi sangat sulit sepertinya. Luar biasa kesakitan ini, ketika harus menerima takdir yang sudah digariskan untuk kita. Takdir yang tidak adil baginya. Tapi bukankah Tuhan itu Maha Adil?

"Selamat jalan, mas..." ucap Sahara lirih "Terimakasih!"

Fatma merengkuh pundak Sahara kemudian menuntunnya meninggalkan makam itu.

***

"Dek, dimakan!"

Suara Fatma tidak juga membuat Sahara bergeming. Gadis itu masih menatap lurus kursi kosong di sampingnya.

"Dek, mama tau kamu sedih. Tapi jangan korbanin kesehatan kamu gini dong!" mohon Fatma.

Bukannya menjawab, malah air matanya meleleh membasahi pipinya. Fatma menghela nafas. Sahara memang belum bisa menerima semuanya. Dia masih dalam keadaan percaya tak percaya.

Sahara banyak diam semenjak itu. Untuk berbicara padanya, butuh kesabaran ekstra besar. Bukan hanya irit bicara, tapi ekpresinya juga selalu datar. Padahal dulu, Sahara dikenal sangat ekspresif dan ceria.

Di sekolah pun sama. Dia tidak lagi banyak ke kantin ataupun ke perpustakaan. Dia lebih memilih diam di kelas menikmati alunan musik untuk mengusir bayang-bayang yang sering membuatnya menangis dalam diam. Lebih tepatnya, Sahara menghindari pertanyaan-pertanyaan tidak manusiawi yang mungkin akan dilontarkan siapa aja yang berpapasan dengannya.

Di Atas Langit [ COMPLETED ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang