6

767 44 0
                                    

Sahara masih terduduk di samping pusara ayahnya dan menatap sendu papan yang bertuliskan nama Bahar. Diusapnya papan kayu itu. Air matanya tak berhenti mengalir sejak dari rumah sakit.

"Dek, kita pulang yuk. Udah sore loh!" Ajak Fathur.

Di makam hanya tinggal Sahara, juga Fathur yang masih setia menunggui Sahara. Arafah sudah pulang terlebih dahulu bersama Yoga dan kerabatnya, sedangkan Fatma tidak diperbolehkan ikut ke makam karena dia selalu histeris ketika melihat jenazah suaminya.

"Ara masih mau nemenin ayah, mas. Ara belum minta maaf, Ara yang bikin ayah sampe begini".

"Semua sudah kehendak Allah, kamu jangan salahin diri kamu terus. Sebaiknya kita pulang, kasihan mama nanti khawatir".

Sahara tidak juga beranjak, dia malah semakin terisak oleh tangisnya.

"Yah, Ara minta maaf. Ara udah bikin ayah jadi begini. Maafin Ara" ucap Sahara lirih seperti gumaman.

"Sebagai penebus rasa bersalah Ara, Ara akan coba jalani perjodohan Ara sama mas Fathur. Seperti yang ayah Ingin" Sahara menghela nafas.

"Tapi kalo mas Fathur nantinya cinta sama orang lain, Ara rela mas Fathur sama orang yang dia cintai. Begitu juga sebaliknya. Ayah setuju kan?"

Kembali Sahara terisak. Dia tidak percaya ayahnya telah meninggalkan dirinya untuk selamanya.

"Ara rindu ayah. Hiks.. hiks.."

"Dek, sudah nangisnya. Kasihan ayah, nanti jadi nggak tenang di sana. Ikhlaskan, doakan ayah di setiap sholatmu!" Ujar Fathur.

"Ara.... Ara..."

"Udah ya, sekarang kita pulang dulu. Pasti keluarga kamu sudah menunggu untuk Yasin bersama buat ayah" ajak Fathur.

Sahara mengangguk lalu beranjak menuju ke Mobil diikuti Fathur.

***

Sahara sedang melamun di salah satu bangku perpustakaan. Hari ini sudah hari ke 40 Bahar meninggalkannya dan keluarga. Selama itu pula Sahara menjadi lebih diam dari biasanya. Rasa sedih di hatinya tak kunjung sirna. Sahara masih terus di hantui rasa bersalah terhadap ayahnya.

"Lo di sini ternyata!" Seseorang duduk di depan Sahara.

Sahara menatap datar orang yang baru saja datang itu.

"Nggak biasanya waktu istirahat begini Lo habisin di perpustakaan" ujar orang itu lagi.

"Gue cuma butuh nenangin diri, Sal"

Salwa tentu saja khawatir dengan keadaan sahabatnya itu. Bagaimana tidak? Sahara selalu menolak di ajak ke kantin waktu jam istirahat. Padahal jika Sahara sampai telat makan siang, maagnya bisa kambuh sewaktu-waktu.

"Nenangin diri boleh, bodoh jangan! Lo nyiksa diri Lo sendiri tau nggak?" Salwa sedikit kesal.

"Nyiksa gimana?" Tanya Sahara tidak mengerti.

"Lo nggak makan, Lo cuma diem terus tanpa cerita apapun, Lo hidup?" Sarkas Salwa.

"Gue cuma butuh waktu buat sendiri, Sal!" Kali ini Sahara menatap penuh permohonan pada Salwa.

"Lo anggep gue sama Ajeng apa, hem? Atau Lo nggak pernah mau temenan lagi sama kita?!"

"Sal, nggak gitu.."

"Terus apa?" Kesal Salwa.

Sahara mengalihkan pandangannya. Hatinya masih perih ketika mengingat ayahnya. Selalu rasa bersalah dan sesalnya hadir jika Sahara mengingat ayahnya.

Di Atas Langit [ COMPLETED ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang