4

816 48 0
                                    

Sahara duduk di meja belajarnya dengan menenggelamkan kepalanya di antara kedua tangannya yang bersedekap di atas meja. Bahunya bergetar, dia menangis. Tentu saja karena perjodohannya dengan Fathur. Bagaimana bisa ayahnya menjodohkan dirinya dengan orang yang sama sekali tidak dia ketahui asal-usulnya?

Bahar membuka pintu kamar Sahara kemudian perlahan mendekati anak bungsunya. Diusapnya lembut kepala Sahara dengan penuh kasih sayang. Dia tahu mungkin Sahara kini membencinya, tapi baginya Fathur adalah orang yang tepat untuk Sahara.

"Maafin ayah. Mungkin sekarang kamu membenci ayah. Tapi kelak kamu akan tahu, seorang ayah tidak akan pernah salah memilihkan pasangan untuk anaknya"

Sahara mengangkat kepalanya lalu menatap ayahnya sendu. Matanya amat basah oleh air yang mengalir tanpa henti dari matanya.

"Ara nggak perlu dipilihkan pasangan, yah. Suatu saat pasti Ara akan nemuin pasangan yang baik buat Ara sendiri. Ayah hanya perlu percaya sama Ara" ujar Sahara lirih.

"Ayah cuma tidak mau kamu salah pilih pasangan...."

"Atau Ara bukan anak kandung ayah?" Potong Sahara datar tapi mampu menusuk relung hati Bahar.

"Kamu ini ngomong apa? Ngawur aja!" Hardik Bahar.

"Kalo Ara anak kandung ayah, kenapa ayah beda-bedain mbak Fa sama Ara? Mbak Fa nggak pernah ayah paksa buat nikah sama seseorang pilihan ayah. Kenapa Ara harus? Kenapa nggak mbak Fa yang dijodohin sama ustadz Fathur? Kenapa musti Ara?" Tanya Ara retoris.

"Ayah sayang kamu, makanya ayah..."

"Nggak! Ayah nggak sayang Ara!" Potong Sahara.

"Sahara dengar ayah.."

"Ayah jahat sama Ara! Ayah jahat!" Teriak Sahara histeris.

Sahara berlari keluar kamarnya. Dia tidak ingin mendengar lagi penjelasan ayahnya. Sahara keluar rumah, hanya di halaman, dia duduk menangis meluapkan segala perasaan sedihnya. Malam itu adalah malam yang paling buruk bagi Sahara.

***

Berhari-hari Sahara berdiam diri. Dia tidak bicara kepada siapapun yang ada di rumahnya kecuali Bi Onah, pembantu rumah tangganya. Sahara lebih memilih berangkat dan pulang sekolah sendiri, meskipun Fathur tidak pernah absen menjemputnya di rumah maupun di sekolah. Bahkan dia menolak ketika ditawari berangkat sekolah bareng Arafah. Padahal dulu dia begitu semangat jika kakaknya berbaik hati mengantarnya sekolah.

Sahara benar-benar jadi anak yang berbeda 180 derajat dari Sahara yang biasanya. Yang biasa ceria kini jadi pemurung, yang biasa cerewet kini memilih diam, yang biasa dekat dengan semua orang kini memilih menutup diri. Keluarga itu benar-benar rindu Sahara yang dulu.

Apalagi Bahar, dia begitu dekat dengan anak bungsunya. Dengan kediaman Sahara, tentu saja membuat pikirannya tidak tenang. Beberapa kali Bahar mencoba menyapa, yang didapatnya malah pelengosan dari Sahara. Tidak sopan memang anak itu, tetapi begitulah Sahara jika sudah marah.

Bahar duduk di teras depan rumah sore itu, menunggu Sahara pulang sekolah. Sejak Sahara marah, dia selalu pulang telat ke rumah. Entah apa yang dilakukan anak itu di luar sana sepulang sekolah. Khawatir? Pasti!

Jam menunjukkan pukul 5 sore. Sahara terlihat turun dari sebuah taxi. Bahar menyambut anak tersayangnya itu dengan senyum kelegaan.

"Kamu kemana aja nak? Ayah khawatir!" Ucap Bahar.

Bukannya mendapat jawaban, malah tatapan tajam yang didapatkannya dari Sahara.

Di Atas Langit [ COMPLETED ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang