Part 44

102 24 28
                                    

"Junhyung-ah. Junhyung-ah,"

Junhyung membuka matanya, merasakan bahunya diguncang-guncang. Akhirnya ia bisa tidur setelah terjaga semalaman—ditambah meratapi nasibnya di kamar sendirian. Junhyung mendongak dan melihat Hareun duduk di tempat tidurnya.

"Oh, Hareun-ah. Ada apa?" tanya Junhyung sambil buru-buru membenamkan wajahnya di bantal agar Hareun tak melihat matanya yang bengkak.

"Aku harus pergi," jawab Hareun.

Junhyung langsung menoleh ke arah Hareun dengan kaget. "Kau akan berangkat ke Indonesia sekarang?"

"Bukan. Aku akan pergi dengan Yoseob," jawab Hareun sambil bangkit. "Kau enggak usah menungguku karena aku enggak tahu jam berapa aku akan pulang. Kalau kau ingin makan, hangatkan saja sayur yang ada di atas kompor."

"Oh, baiklah," sahut Junhyung lesu, sementara Hareun pergi keluar kamar. Ini hari terakhirnya, dan Hareun memilih untuk menghabiskannya dengan Yoseob? Ah, Junhyung bodoh. Hareun sudah pernah memberikannya waktu sepanjang hari dan dia malah menyia-nyiakannya.

Junhyung termenung di tempat tidurnya. Rasa kantuknya hilang seketika. Padahal Hareun masih tinggal di rumahnya, tetapi Junhyung sudah merasa kesepian, dan kembali insomnia. Bagaimana jika gadis itu benar-benar pergi nanti? Apakah Junhyung bisa bertahan hidup dalam waktu seminggu?

Junhyung turun dari tempat tidurnya lalu melangkah lesu ke kamar kerjanya. Dilihatnya koper milik Hareun berdiri di dekat laci pakaiannya.

Koper. Waktu itu Hareun hanya memakai tasnya karena ia menolak untuk membawa semua pakaiannya. Namun, kali ini Hareun memakai koper. Junhyung membuka laci pakaian Hareun dan mendapati laci itu hampir kosong. Hanya mantel serta jaket musim dingin yang ditinggalkannya, karena Hareun pernah mengatakan ia takkan membutuhkannya di Indonesia.

Kenapa Hareun tidak menyisakan pakaiannya kalau-kalau dia akan datang untuk menginap suatu hari nanti? Apa dia tidak berniat kembali ke sini lagi? Junhyung menutup laci pakaian itu dengan jengkel lalu pergi ke meja kerjanya. Ia membuka salah satu laci yang dikunci dan mengeluarkan sebuah pigura dari dalamnya.

Junhyung memandangi gambar di tangannya—dua anak laki-laki berjaket kuning dan berjaket putih, serta seorang anak perempuan dengan rambut dikucir dua. Pigura itu biasa duduk di atas meja kerjanya, hingga Junhyung membaca CV Hareun, dan langsung menyembunyikannya.

Junhyung mengira-ngira, jika ia bisa mengulangi hari itu—hari saat Yoseob membawa Hareun ke rumahnya—apakah ia akan tetap bersikeras menolak gadis itu untuk tinggal di sana? Apakah ia akan membiarkan Hareun pergi di hari ia membuntuti gadis itu dalam hujan? Atau ia akan langsung memberi tahunya bahwa mereka bersaudara dan menghindari segala drama percintaan yang menguras seluruh perasaannya ini?

"Maaf, Hareun-ah. Aku enggak bisa memberi tahumu hingga akhir," gumam Junhyung sambil menyimpan pigura itu kembali ke dalam laci lalu menguncinya.

~***~

"Kita akan ke mana?" tanya Hareun.

"Ibuku memintaku untuk menemaninya mengunjungi saudaraku yang baru melahirkan," jawab Yoseob sambil mengendarai mobilnya. "Aku sangat suka anak-anak dan enggak keberatan memiliki satu sekarang."

Hareun mengangkat alisnya, tidak mengerti kenapa Yoseob menyinggung soal memiliki anak. Namun, karena Yoseob terlihat bersemangat saat mengatakannya, Hareun tidak tega untuk meledeknya.

Hareun memandang keluar dengan bingung saat Yoseob memarkir mobilnya di depan sebuah gedung. Ia memang baru sekali datang ke rumah orang tua Yoseob, tetapi ia ingat rumahnya bukan seperti ini.

"Ah, waktu itu kita memang bukan ke rumah orang tuaku. Itu kafe milik kakakku," jawab Yoseob saat Hareun menanyakannya.

Ah, benar juga. Hareun mengikuti Yoseob ke pintu depan lalu mengawasinya menekan bel. Kenapa dia menekan bel ke rumah orang tuanya sendiri?

Take Care (HIGHLIGHT FanFiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang