Hari Minggu. Seperti biasanya, hari libur selalu di isi dengan main sepak bola di lapangan komplek perumahan oleh Hanif dan kawan-kawan.
Namun, ada yang berbeda dengan hari ini, entah kenapa perasaannya menjadi tidak enak ketika melihat kekumpulan orang-orang yang ia kenali sebagai preman yang selalu membuat warga khawatir, preman itu tengah menodongkan sebuah pisau tajam kearah korban, satu lawan enam orang berbadan kekar bukanlah perbandingan yang sepadan.
Akhirnya dengan otak cerdasnya, Hanif mengajak teman-temannya untuk melemparkan petasan kearah preman itu dari kejauhan dan menyalakan sirine polisi yang di putar dari handphone, hal itu berhasil dan para preman akhirnya pergi tunggang langgang.
Hanif dan teman-temannya segera berlari kearah korban yang masih bingung dengan suara sirine polisi tersebut namun tidak ada seorang polisipun yang datang.
"Itu sirine polisi boongan kok Pak." Ujar Hanif.
"Boongan?"
"Iya."
Meski merasa agak bingung, tapi pada akhirnya Heriawan-Abi Zafira mengerti dengan apa yang di lakukan anak-anak ini.
"Terima kasih sudah menyelamatkan saya." Ujar Heriawan, ia merasa sangat-sangat beruntung, karena kecerdasan anak-anak ini ia bisa menyelamatkan hartanya dan yang paling penting adalah menyelamatkan nyawanya.
"Wajah Bapak babak belur, lebih baik Bapak ikut ke rumah saya dulu, biar orang tua saya yang memberikan pertolongan pertama kepada Bapak." Hanif dengan segala ketulusan yang ia miliki menawarkan Heriawan untuk ke rumahnya dan Heriawan menerima ajakan itu.
Mereka pun pergi rumah Hanif bersama dan betapa kagetnya kedua orang tua Hanif ketika melihat Heriawan dengan wajah yang babak belur seperti itu.
"Hanif apa yang kamu lakuin sama Bapak ini? Kamu yang membuat dia seperti ini, kamu berkelahi lagi?!" Tanya Gibran-Ayah Hanif dengan nada suara yang tegas dan mata yang melotot kearahnya.
Hanif mengangkatnya kedua tangannya ke atas, belum sempat menjawab namun Heriawan lebih dahulu menjawabnya.
"Ia dan teman-temannya telah menyelamatkan saya dari enam orang preman yang berusaha membawa harta saya."
"Hah?" Gibran memcoba untuk mencerna ucapan Heriawan, ia agak tidak percaya bahwa Hanif telah menyelamatkan seseorang, padahal seminggu yang lalu ia di panggil pihak sekolah karena Hanif ketahuan berkelahi dengan murid dari sekolah lain.
"Hanif nggak bohong Yah," Ujar Hanif menegaskan, dan anggukan dari kepala yang Heriawan berikan cukup membuktikan bahwa Hanif benar-benar telah menolong orang.
Singkat cerita Heriawan di obati oleh Gibran. Semuanya berjalan normal hingga sebuah telpon masuk berbunyi, bukan karena telpon itu Hanif melebarkan matanya, namun karena foto yang di jadikan latar handphone Heriawan.
"Anak kecil di handphone Om siapa?" Entah mendapat keberanian dari mana hingga Hanif bertanya seperti itu, namun Gibran melotot mendengar pertanyaan konyol Hanif tersebut.
"Hanif jangan kepo, nggak sopan." Ujar Gibran, peringatan itu bukannya membuat Hanif kapok namun membuat Hanif semakin menjadi-jadi.
"Kayaknya saya pernah ketemu sama dia deh." Ia mengaruk kepalanya yang tidak gatal, seolah benar-benar berpikir padahal tanpa berpikirpun ia sudah lebih dulu mengetahui siapa anak kecil itu.
"Namanya Zafira, dia anak saya."
"Serius Om?" Tanya Hanif yang lagi membuat Gibran melotot dan merasa malu akan tindakan anaknya itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Imamku (IS 1) ✔
SpiritualImam Series 1. Dear Imamku 2. Tentang Pencarian 3. Gagal Pisah Pernikahan dalam kamus hidup Zafira adalah salah satu hal yang menakutkan. Trauma di masa lalu serta merta membuatnya diambang kegelisahan, ketika seorang pria bernama Hanif mengunjungi...