Delapan Belas : Rasa Syukur dan Rasa Cemas

3.2K 172 1
                                    

Melihatku yang menangis terisak anak-anak panti itu lantas memelukku, meski tubuhnya hanya bisa mengapai perutku, namun aku begitu takjub dengan kepedulian mereka terhadap diriku.

Beberapa meter di luar ruangan ini, aku bisa melihat seorang wanita yang tengah menyerka air matanya, ia adalah Bu Airin atau kerap di sapa Bunda.

Orang yang mendirikan panti asuhan ini sendiri, orang yang memberikan secercah sinar dalam masa depan anak-anak yang tak lagi mempunyai orang tua.

"Alhamdulilah, terima atas hari ini Zafira, semoga Allah membalas kebaikan kamu dengan pahala yang berlimpah." Bunda, dengan senyuman terbaiknya mengatakan hal itu.

Halaman panti asuhan selalu menjadi tempat terbaik untuk bermain anak-anak panti. Dari jendela ruangan Bunda aku bisa melihat senyuman polos mereka. Melihat hal itu, hatiku ikut berdesir.

"Ada banyak cara dalam memberikan kasih sayangnya. Salah satunya adalah dengan menitipkannya di sini. Ada banyak anak yang tinggal di sini, karena kepentingan keselamatan." Bunda menjelaskan, seolah menjawab pancaran rasa sedihku akan keberadaan mereka di tempat ini.

"Tapi menurut aku itu adalah cara yang salah."

"Ya, Bunda sempat berpikir seperti itu, tapi di luar sana banyak sekali orang yang membunuh anaknya sendiri. Dengan menitipkannya anaknya di sini, itu artinya mereka masih menyayangi anak-anaknya." Sebuah sinar ketegaran terpancar jelas di mata Bunda.

Jika saja, jam belum menunjukkan pukul 5 sore, maka aku akan memutuskan untuk mengobrol tentang banyak hal dengan Bunda. Namun, aku sadar jika kewajibanku adalah melayani suamiku, aku harus segera pulang.

"Zafira pamit pulang dulu ya Bun, insyaallah besok aku kesini lagi."

"Iya silahkan Nak, sudah sore, terima kasih atas pelajaran yang telah kamu berikan kepada anak-anak."

"Assalamualaikum."

"Walaikumsalam."

Hanya butuh waktu sekitar 5 menit dengan berjalan kaki untuk sampai ke rumah. Sore itu, rasanya dunia tengah menunjukkan keindahan dalam kata syukur, aku mendapat banyak pelajaran, tentang anak-anak panti yang ku temui tadi, sepasang Kakek Nenek yang tengah duduk di kursi taman dan sepasang suami istri yang tengah becanda gurau di halaman rumahnya.

Maka nikmat manakah lagi yang engkau dustakan?

Ya, aku patut bersyukur dengan semua hal yang telah aku lewati.
Allah membuat semuanya berjalan dengan lancar, Allah memberikanaku nikmat yang begitu banyak.

Nikmat bisa membuka mata setelah tertidur sepanjang malam.
Nikmat bisa merasakan dinginnya malam, sejuknya air dan panasnya siang.

Nikmat bisa memakan makanan yang layak, sebagai rezeki dariNya.
Nikmat bisa memilik seorang suami seperti Pak Hanif. Yang ketika ia marah, ia masih mengingatkanku untuk beribadah, aku jadi teringat kejadian 2 hari yang lalu, saat itu aku tengah datang bulan, dan melihat lampu kamarku yang belum menyala Pak Hanif mengetuk pintu kamarku, aku terbangun dan segera membuka pintu, aku pikir ia membutuhkan sesuatu, namun sungguh ini di luar dugaan.

"Sholat subuh." Lelaki dengan gamis berwarna coklat itu menatap wajahku- Yang, subhanallah, sama sekali belum cuci muka.

Jika keadaannya lebih baik, mungkin aku sudah tertawa terbahak, dan mengodanya dengan perhatiannnya ini. Namun, mengingat hubunganku dan Pak Hanif yang tengah merengang, aku urungkan semua pikiranku itu, aku mengangguk dan setelah itu ia pergi ke kamarnya tanpa pamit, tanpa bicara dan tanpa senyuman.

Senyuman, yang akhir-akhir ini begitu aku rindukan.

Senyuman, yang sangat ingin aku dapatkan.

Sebelum langkah kaki ini memasuki halaman rumah, terlebih dahulu aku mengucapkan bismillah dalam hati.
Mobil Pak Hanif terlihat dari jarak beberapa meter, itu artinya pria itu sudah pulang.

Dear Imamku (IS 1) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang