Jam sudah menunjukkan waktu untuk melaksanakan makan siang, dari kamar Pak Hanif yang berada di lantai dua ini, aku tengah berdamai dengan perasaanku, tengah berpikir dengan keputusanku.
Baiklah, dengan semua keberanian yang telah aku kumpulkan, aku memutuskan untuk turun kebawah, rencananya aku akan membantu Ibu menyiapkan makan siang, mengingat hari ini Ayah libur kerja. Namun, baru saja hendak melangkah pergi ke bawah, tiba-tiba pintu kamar di ketuk oleh seseorang, dan aku segera membukannya.
Dengan senyuman khasnya, Ayah tersenyum kearahku.
"Ra, kita makan siang dulu, di bawah Ibu tengah menyiapkan semuanya." Ujarnya, dan aku segera mengangguk, untuk kemudian mengikuti langkah lebarnya untuk pergi ke meja makan.
Di dapur sana, Ibu terlihat tengah kerepotan dengan wajan di hadapannya, ketika meminta izin untuk membantu Ibu, tiba-tiba Ayah mengeleng pelan.
"Kenapa?" Aku bertanya, karena penasaran dengan sikapnya ini.
"Keadaan Ibu sedang tidak baik-baik saja, hatinya tengah menyala, apinya merebet keseluruh tubuhnya, pikirannya terkuasai, ia tak bisa berpikir dengan jernih."
Sungguh, aku sangat tidak mengerti dengan apa yang Ayah katakan padaku, beberapa menit kemudian, setelah menit-menit dalam keheningan terlewati, akhirnya Ibu datang dengan makan di tangannya.
Mungkin, Ayah benar bahwa keadaan Ibu tengah tidak baik-baik saja sekarang. Aku bisa merasakan aura mencekam di sini, belum lagi Ibu tidak menampakkan senyumannya sedari tadi, hingga pada saat ini, ia duduk di depanku.
Hening.
Dan, tak ada seorangpun yang minat untuk membuka pembicaraan di sini.
Seolah hanya makan sendiri, seolah tengah berjalan di padang masir yang luas, merasakan gerah dan keringat.
Seolah baru selesai berlari dari jarak yang sangat jauh, hingga jantung ini rasanya berdetak lebih kencang dari pada biasanya.
Setelah makan siang berakhir, barulah aku tahu apa yang terjadi di sini.
Masalah apa yang mengujiku, dengan tusukan kata dan sayatan mata.
Saat itu, aku tengah berada di gazebo, membalas pesan Pak Hanif yang semuanya berisi dengan gombalan. Saat itu, Ibu duduk di sampingku, merasa tidak sopan karena memainkan handphone, akhirnya aku simpan handphone itu tanpa peduli dengan gombalan receh yang Pak Hanif katakan.
"Bagaimana perasaan kamu setelah mendapatkan anak saya?"
Pertanyaannya itu seolah mengantung di udara, aku tidak paham mengapa beliau menanyakan hal seperti ini.
"Maksud Ibu?" Aku bertanya, dan sebuah helaan napas lolos dari dalam tubuhnya.
"Puas kamu mendapatkan kasih sayang serta hati lembut yang ia punya? Puas kamu mendapatkan semua harta yang anak saya punya? Puas kamu memperdaya anak saya sehingga ia menuruti perkataanmu? Sungguh, kamu adalah wanita terhina yang pernah saya temui."
Kata-katanya seolah pisau, yang siap menghunusku kapan saja. Kata-katanya seolah sebuah jarum yang menusuk-nusuk hatiku.
"Maksud Ibu?" Aku kembali bertanya, bergetar suara ini, bergetar tangan ini, bergetar hati ini, bergetar tubuh ini.
Plakk
Sebuah tamparan telak mendarat di pipiku, aku tidak bisa menahan tanganku sendiri untuk tidak mengengam pipiku, air mata jatuh tanpa bisa aku tahan.
Selama ini, dalam hidupku, aku selalu menanamkan keyakinan bahwa semua wanita di dunia ini, semua Ibu di dunia ini adalah seorang pahlawan yang akan selalu menjadi benteng kala anaknya tersakiti.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Imamku (IS 1) ✔
SpiritualImam Series 1. Dear Imamku 2. Tentang Pencarian 3. Gagal Pisah Pernikahan dalam kamus hidup Zafira adalah salah satu hal yang menakutkan. Trauma di masa lalu serta merta membuatnya diambang kegelisahan, ketika seorang pria bernama Hanif mengunjungi...