Satu bulan kemudian
Hidup dengan gajih pas-passan tidak serta-merta membuat kebahagiaan yang kami rasakan memudar. Justru sebaliknya, hal itu membuat kami sama-sama bersyukur dan tak ingin menyia-nyiakan apa yang kami punya sekarang.
Aku berjalan cepat ketika suara ketukan pintu terdengar selama beberapa kali. Tadi, pagi Pak Hanif sudah berjanji untuk pulang lebih awal karena kami akan makan di luar sekalian jalan-jalan. Hmm, rasanya sudah lama sekali kami tak pergi bersama. Tapi, ini kan masih siang, dan kupikir Pak Hanif akan datang kesini sore hari. Baiklah, menyingkirkan semua pemikiranku yang masih simpang siur itu, aku segera membuka pintu rumah.
Senyuman manis yang awalnya aku hadirkan, tampak memudar. Bukan Pak Hanif yang ada di balik pintu tersebut, melainkan seorang pria--yang kukenali sebagai tetanggaku.
"Assalamualaikum."
"Walaikumsalam, ada apa ya Ri?" tanyaku pada Ari, bingung.
"Maaf teh, tadi saya liat Pak Hanif kecelakaan, dan sekarang dia di bawa ke rumah sakit Hasan Sadikin."
Aku tidak langsung berkomentar, rasa-rasanya duniaku berputar-putar menimbulkan gelombang pedih dalam hatiku.
Tidak, ini tidak mungkin terjadi. Pak Hanif sudah berjanji untuk mengajakku jalan-jalan dan kita akan melewati hari bersama. Maka, tidak mungkin jika Pak Hanif-
"Kalau Teteh mau ke rumah sakit, biar Ari anterin." Aku mengangguk pelan dengan tawaran Ari tersebut--meski sebenarnya merasa enggan dan ingin menunggu Pak Hanif pulang.
***
Lorong rumah sakit terasa panjang sekali untukku yang bahkan tak bisa menahan tangisan dari rumah hingga tiba di rumah sakit. Aku berjalan pelan menuju UGD dan di sana, pemandangan pertama yang kulihat adalah wajah pucat Pak Hanif. Kepalanya terlihat di balut, bercak darah atau mungkin obat merah terlihat di sana--dan entah mengapa itu membuatku mual.
Aku mengengam tangannya, dan tiba-tiba saja, air mataku jatuh lagi, dan lagi. Tangannya sedingin es. Aku terus mengusap tangannya, dan memberikan kehangatannya untuknya.
Seorang Dokter masuk ke dalam ruangan, aku mengusap air mataku, pura-pura tegar, dan tersenyum kecil kearahnya. Ia menjelaskan, bahwa Pak Hanif harus melakukan operasi di bagian kakinya. Ada masalah di sana, dan kemungkinan Pak Hanif akan mengalami lumpuh untuk sementara waktu.
Membayangkan, bahwa satu-satunya orang yang selalu melindungiku, tengah berada dalam keadaan terapuh dalam hidupnya, membuatku mau tak mau harus berperan menjadi orang yang paling kuat sedunia. Tak apa berpura-pura di hadapannya, semua itu kulakukan agar Pak Hanif tidak khawatir terhadap keadaanku dan mungkin aku akan menghabiskan air mataku di kamar mandi saja--agar tak ada siapapun yang tahu bahwa aku pun sama rapuhnya, dan hanya Allah yang menjadi penguatku.
Setelah menandatangani dokumen dan menyelesaikan administrasi--yang omong-omong cukup menguras tabunganku dan Pak Hanif. Tapi tak masalah, itu bukan hal yang terpenting dari semua ini. Tetapi, ini adalah tentang keselamatan Pak Hanif dan aku berharap yang terbaik untuk Pak Hanif. Aku melaksanakan sholat dhuzur di mushola rumah sakit, dan memutuskan untuk mengabari keadaan Pak Hanif kepada Mama dan Papa. Semarah apa pun, Pak Hanif kepada kedua orangtuanya, mereka juga berhak tahu tentang keadaan Pak Hanif yang sebenarnya.
Tak lama dari telponku ke Mama, Mama dan Papa datang terpogoh-pogoh, keringat bercucuran--hal itu menandakan bahwa mereka berdua datang buru-buru kesini.
Di luar dugaan, Mama memelukku dan menangis di sana. Sudah lama sekali aku tidak merasakan hangatnya kasih sayang seorang Ibu, maka aku membalas pelukannya dan menangis.
"Maafin Mama Ra." Ujarnya, aku mengangguk kelu. Aku tidak apa-apa. Sungguh, yang terpenting di sini adalah keselamatan Pak Hanif sekarang. Aku tak mau ambil pusing semua yang telah terjadi, toh Mama sudah mengucapkan maaf dan itu sudah cukup untukku.
"Pak Hanif lagi ada di ruang operasi Ma." Ujarku kemudian. Mama melepaskan pelukannya, menganggukan kepalanya pelan.
"Maafin Mama ya Ra? Nggak seharusnya Mama jahat sama kamu. Hanif, udah cerita semuanya sama Mama."
"Pak Hanif cerita sama Mama?" tanyaku bingung. Karena yang aku tahu sebulan terakhir Pak Hanif selalu menghindar ketika aku membahas topik ini.
"Iya sayang."
Hening.
***
Sudah sekitar 3 hari Pak Hanif tidak sadarkan diri dan tadi pagi, ia sudah melewati masa kritisnya. Kata Dokter, mungkin besok atau lusa, atau jika keadaanya terus membaik hari ini Pak Hanif akan sadar. Aku sungguh menunggu saat-saat itu--di mana orang pertama yang akan Pak Hanif lihat adalah aku. Dan, aku akan mengengam tangannya, ketika Pak Hanif bertanya dengan keadaanya yang sebenarnya.
"Ra, tadi malem kamu nggak tidur ya?" Mama masuk ke dalam ruangan tempat Pak Hanif di rawat. Ia, membawa sebuah kresek di tanganya kemudian menyodorkannya kepadaku. "Sarapan dulu Ra."
"Makasih ya Ma."
"Iya sama-sama. Kamu jangan terlalu capek Ra. Hanif akan sedih ngeliat kamu kayak gini."
"Tadi malem Zafira nggak bisa tidur, bukan nggak tidur Ma." Aku terkekeh pelan dengan ucapanku, kemudian membuka makanan dari Mama dan melahapanya.
Adalah sebuah keajaiban ketika akhirnya, Mama menjadi begitu perhatian padaku, dan saat-saat itu rasanya aku kembali menemukan sosok Umi dalam dirinya dan--kurasa semua Ibu akan selalu memancarkan sosok keibuannya.
Setelah menghabiskan makanan dari Mama, aku kembali menunggu Pak Hanif sadar di kursi yang letaknya begitu dekat dengan Pak Hanif. Kadang, aku mengajaknya berbicara seraya mengengam tangannya--berharap akan ada keajaiban sehingga Pak Hanif akan mengerakkan tangannya. Tetapi, kali ini belum lagi aku mengajaknya mengobrol, tiba-tiba perutku terasa di peras, aku begitu mual dan segera berlari ke arah toilet untuk memuntahkan semua isi perutku.
Mama yang melihatku muntah, mengusap-ngusap pungungku pelan. Setelah selesai Mama memerintahkanku untuk istriahat di rumah. Tetapi aku menolak, aku mau menjaga Pak Hanif bagaimana pun kondisiku sekarang.
Akhirnya aku berakhir dengan istirahat di sofa rumah sakit. Ketika terbangun, satu jam kemudian, aku bisa merasakan sebuah selimut hangat di atas tumbuhku dan aku bisa menduga siapa yang telah melakukan hal ini.
Aku mengubah posisiku menjadi duduk, kemudian pandanganku jatuh kearah Mama yang duduk di kursi dekat ranjang Pak Hanif dan Pak Hanif yang tersenyum kearahku.
Sungguh, saat itu aku menangis--menangis karena bahagia.
Selasa, 2 Juni 2020
Bersambung...
Wiwit Widianti

KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Imamku (IS 1) ✔
EspiritualImam Series 1. Dear Imamku 2. Tentang Pencarian 3. Gagal Pisah Pernikahan dalam kamus hidup Zafira adalah salah satu hal yang menakutkan. Trauma di masa lalu serta merta membuatnya diambang kegelisahan, ketika seorang pria bernama Hanif mengunjungi...