Kedatangan Pak Hanif subuh ini benar-benar ingin membuatku mengadu dan jatuh dalam pelukannya, namun sepertinya ia tengah menghindar dari diriku.
Hal itu, dapat di tunjukan dari sikapnya yang dingin, jika biasanya ia akan mengucapkan salam dan menunggu pintu ku buka, namun hari ini ia menggunakan kunci cadangan rumah.
Bahkan, aku sempat kaget melihatnya tiba-tiba berada di dapur, asyik dengan laptop dan secangkir kopi.
Ketika, aku menyapanya dengan sebuah senyuman yang merekah ia hanya menatapku dengan wajah yang datar.
"Assalamualaikum Pak Hanif." Aku duduk di kursi yang otomatis berhadapan dengannya, ia menoleh kearahnya, menjawab salam dengan suara yang pelan.
"Walaikumsalam."
"Pak Hanif pulang kapan? Kok aku nggak tahu."
"Baru, sekitar 15 menit yang lalu."
"Oh." Aku mengangguk-anggukan kepalaku, hening seketika, aku memperhatikan Pak Hanif yang masih fokus dengan laptopnya, biasanya jika ia tengah mengerjakan sesuatu di laptopnya dan aku datang, ia akan meninggalkan laptop. Dan percayalah, jika saat ini aku merasa di duakan dengan laptopnya.
"Pak Hanif laper nggak, kalau laper-"
"Enggak." Sebelum pertanyaan selesai aku sampaikan, Pak Hanif terlebih dahulu menjawabnya dengan suara yang terkesan cukup tinggi.
"Pak Hanif marah sama Zafira?" Aku bertanya, hingga beberapa detik berlalu, namun Pak Hanif belum juga menjawab pertanyaanku.
Ia masih fokus.
Teramat fokus hingga, tak mengindahkan pertanyaanku.
Ia meminum kopinya, tangan kirinya ia letakkan di dekat gelas, tampak tengah kebingungan dengan apa yang ia lihat di laptopnya.
Aku mengengam tangan itu, Pak Hanif terlihat kaget dengan sikapku, aku ingin menangis. Sungguh, di diamkan Pak Hanif seperti ini rasanya membuat hatiku lebih sakit di banding dengan di bentak Pak Hanif.
Ia melepaskan gengaman tanganku, kini kedua tangannya berada di perutnya, pandangannya telah seluruhnya fokus kearahku.
"Ada apa Zafira?"
Menurutku, itu adalah suatu pertanyaan yang konyol, masihkah ia bertanya seperti itu di ambang pernikahan kami yang akan hancur ini?
"Pak Hanif masih nanya ada apa?" Aku bertanya, lagi ia tak menghiraukan perkataanku, menatapku seolah di dalam diriku, tidak ada satupun sebuah kepercayaan yang dapat ia percaya.
"Pak Hanif boleh marah sama aku, tapi tolong jangan diemin aku kayak gini, jangan biarin pernikahan kita di ambang kehancuran kayak gini, selama kita masih bisa menyelesaikannya kenapa kita nggak bicara baik-baik?" Aku mengatakan kalimat itu dengan air mata yang siap untuk di jatuhkan.
Dan, harusnya sebelum aku mengatakan hal itu, aku sadar jika di sini, Pak Hanif tidak salah.
Ia bersikap wajar dengan sebuah kekecewaan yang ia dapatkan terhadap aku.
Jika aku berada di posisi Pak Hanif mungkin aku sudah melakukan hal yang sama atau justru lebih?
"Saya nggak ada waktu buat ngomongin ini sama pembohong kayak kamu." Itulah kalimat penutup yang ia berikan kepadaku sebelum akhirnya melangkah pergi, menutup dan membawa laptopnya, pergi dengan langkah ringan, seolah semuanya baik-baik saja, seolah sebuah kehancuran tidak akan bisa menghancurkan pernikahan ini.
"Jangan pernah lari dari masalah, jangan jadi pengecut," Entah datang dari mana keberanian itu, hingga aku mengatakan kata-kata yang membuat langkahnya terhenti, ia membalikkan tubuhnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Imamku (IS 1) ✔
SpiritualImam Series 1. Dear Imamku 2. Tentang Pencarian 3. Gagal Pisah Pernikahan dalam kamus hidup Zafira adalah salah satu hal yang menakutkan. Trauma di masa lalu serta merta membuatnya diambang kegelisahan, ketika seorang pria bernama Hanif mengunjungi...