Epilog

4K 133 2
                                    

Beberapa bulan kemudian.

Perutku semakin membuncit dan Dokter mengatakan bahwa aku akan melahirkan minggu ini. Jujur saja, rasanya begitu gugup--meski bukan merupakan kehamilan pertamaku.

Tapi, hei. Sebentar lagi aku akan melahirkan anak kembar. Itu artinya setelah berjuang melahirkan bayi pertama, aku akan berjuang lagi untuk bayi keduaku. Sempat terlintas dalam benakku, bahwa aku tak akan sanggup melakukan hal itu--tetapi orang-orang yang ada di sekitarku selalu mendukung serta menyakinkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Dan, dukungan itu meski fisiknya tak terlihat, akan selalu menjadi sesuatu yang berarti. Aku menjadi lebih kuat dan semangat. Setiap malam, tepatnya di sepertiga malam aku dan Pak Hanif selalu menyempatkan diri untuk melakukan sholat malam. Kami sama-sama meminta kelancarkan proses melahirkanku ini.

Kabar bahagia lainnya adalah Pak Hanif sudah bisa kembali berjalan. Meski, ia masih enggan untuk membawa kendaraan termasuk mobil. Jadi, kami menyewa seorang sopir pribadi yang bisa mengantar-jemput Pak Hanif dari kantor.

Hari ini, setelah datang ke makam Abi dan Umi, aku juga datang ke makam anak pertamaku. Makam itu, sudah lama tidak aku datangi dan rumput liar sudah tumbuh di sana.

Dengan rasa bersalah, aku mencabut semua rumput-rumput itu.

"Sayang, maafin Umi ya. Umi jarang banget ngunjungi kamu, Umi-" ucapanku terhentik ketika air mata jatuh, rasa sesak tiba-tiba saja memenuhi dada. Pak Hanif yang duduk di samping, mengusap pungungku pelan.

"Sayang, meski Umi jarang kesini tapi kamu harus tahu bahwa Umi begitu sayang sama kamu. Kamu tahu itu kan?"

Hening.

Ya, aku tahu bahwasalnya tidak akan pernah ada jawaban dengan pertanyaan-pertanyaanku ini. Tetapi, ini begitu membantuku untuk merasa lebih dekat dengan anakku ini.

"Insyaallah, secepatnya kamu akan mempunyai Adik. Dua Adik yang pastinya akan menyayangimu dan selalu mendoakanmu. Kamu baik-baik di sana ya? Tunggu, Umi di sana sayang."

Tanpa di duga, Pak Hanif yang notabene--bukan Ayah kandung anakku berkata.

"Abi juga menyayangi kamu. Kamu jangan sedih kalau Umi jarang kesini, sebentar lagi Umi akan mengurus kedua Adikmu. Tapi, Abi akan datang kesini sesering mungkin.." Aku tersenyum menatap kearah Pak Hanif.

"Makasih ya Bi.."

"Iya sayang, Siti Khadijah juga kan anakku."

Aku kembali tersenyum. Mungkin selama satu menit lamanya kami hanya bertatapan.

"Bi, kita ke rumah sakit sekarang yuk!" ajakku. Aku bisa melihat Pak Hanif mengeryit.

"Kenapa? Apa jangan-jangan-"

"Ya, aku udah mules dari tadi malem. Dan kayaknya bakalan lahiran hari ini deh." Pak Hanif tampil bagai seorang suami sigap yang langsung menuntunku kedalam mobil.

"Ke rumah sakit sekarang juga Pak. Istri saya mau lahiran." Ujar Pak Hanif pada sopir pribadi kami. Tanpa basa-basi, ia mengangguk dan mobil berjalan menuju rumah sakit.

Selama perjalanan ke rumah sakit, Pak Hanif tak henti-hentinya berdoa seraya mengusap perutku dengan tangannya yang bergetar. Getaran itu semakin lama semakin kencang, sehingga aku memutuskan untuk membawa kedua tangannya itu untukku gengam.

"Aku yang mau ngelahirin, kok malah kamu yang gemetaran sih?"

"Aku khawatir banget Ra."

"Kamu tenang aja ya, ini bukan yang pertama buat aku." Setelah mengatakan hal itu, barulah Pak Hanif tampak lebih tenang.

***

Proses melahirkan itu cukup lama. Dan, Pak Hanif menemaniku untuk menjalani proses melahirkan itu, ia tak pernah berhenti melepaskan gengaman tangannya, meski aku--beberapa kali tanpa sengaja mengengamnya terlalu keras atau bahkan mencakarnya.

Tapi, Pak Hanif tak mengeluhkan hal itu. Hingga proses melahirkan selesai, Pak Hanif tetap di sampingku. Ia mengadzankan kedua anak kami.

Anak pertama berjenis kelamin laki-laki, sedangkan anak kedua perempuan. Mereka begitu mirip dengan Pak Hanif. Aku--sebagai Ibunya menjadi iri sendiri karena tak ada kemiripan apapun denganku.

"Kita namain siapa Bi?" aku bertanya.

Pak Hanif tampak berpikir sejenak. "Gimana kalau Azzam dan Azzura?"

"Nama yang bagus.." Aku setuju.

Dan itu bukanlah akhir dari kisah kami. Masih banyak kebahagiaan-kebahagiaan yang datang secara mengejutkan di masa depan.

"Oh ya, aku punya sesuatu buat kamu." Aku menyodorkan sebuah kertas lusu--yang mungkin sudah terlipat beberapa kali pada Pak Hanif. Pak Hanif mengeryit.

"Ini apa?"

"Surat."

"Surat apa?"

"Surat untuk Imamku."

TAMAT

Dear Imamku (IS 1) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang