Enam : Keputusan

3.6K 186 6
                                    

Aku masih setia dalam posisi dudukku, sejak kemarin malam aku memang tak meninggalkan tempat ini, aku ingin berada di samping Abi dan menjadi orang pertama yang ia lihat ketika ia sadar.

Bang Gafar tengah tertidur di sofa, sejak malam ia memang menemaniku di sini, berbeda dengan Bang Jafar, ia tak kembali lagi kesini, mungkin ia masih marah kepadaku.

Aku menghela napas pelan, sejak kemarin keadaan Abi tidak berubah, ia masih tetap kritis.

Ya rabb..

Berikanlah kesembuhan kepada Abi, kepada pahlawan yang telah menjagaku dari kecil hingga sekarang.

Ya rabb..

Janganlah kau ambil beliau sekarang, izinkan aku untuk menunaikan baktiku terhadapnya.

Aku tidak bisa lagi bertahan untuk tidak menangis, aku menangis seraya mengengam erat tangannya, Bang Jafar benar semua ini kesalahanku.

Aku yang menyebabkan Umi meninggalkan, aku yang menyebabkan Abi kritis, akulah yang bersalah, akulah yang durhaka.

"Jangan nangis terus." Aku bisa mendengar suara Bang Gafar, ia mengusap pungungku pelan, seakan memberikanku kekuatan untuk bertahan.

Namun, pada kenyataannya aku benar-benar rapuh, aku benar-benar kalah dengan ujian yang Allah berikan untukku.

"Ra, bukankah Allah memberikan ujian karena ia tahu jika kita mampu?" Tanyanya, sejenak aku mendonggak, menatap matanya, kemudian mengeleng pelan.

"Abang tahu? Zafira adalah penyebab kenapa Umi meninggalkan kita semua, Zafira adalah penyebab kenapa Abi tidur di ranjang persakitannya."

Hening sejenak.

"Ra, Umi nggak akan pernah pergi jika bukan karena Allah telah menuliskan waktu, tempat dan penyebabnya. Ini bukan kesalahan kamu dan jangan pernah nyalahin diri kamu sendiri, semuanya adalah takdir, Allah lagi nguji kita semua."

"Bang Jafar marah sama Zafira, Bang Jafar bilang kalau bukan karena Zafira, Umi nggak akan pernah meninggalkan kita semuanya."

"Kematian itu nggak bisa di majukan barang sedetik pun nggak bisa di mundurkan sedetikpun."

"Tapi kalau bukan karena Zafira mau nikah sama Pak Hanif mungkin-"

"Mungkin kalau kecelakaan itu nggak terjadi, kamu akan tetap menemukan Umi dalam keadaan nggak bernyawa. Ra, sejatinya nggak ada satupun orang di dunia yang bisa menghindari kematiannya. Semua orang yang kita cintai dan mencintai kita, semua orang yang ada di dunia ini akan mendapat giliran untuk pergi, lapangkan hatimu."

***

Jam makan siang ini, benar-benar aku manfaatkan untuk makan, dari kemarin aku tidak makan dan memang tidak merasa lapar. Dan sebenarnya, aku tidak mempunyai nafsu makan sama sekali untuk menghabiskan mie ayam di hadapaku, rasanya hambar, rasanya aku tak mampu menelanya.

Aku membawa handphone yang sengaja ku simpan di saku gamis, menekan sebuah nomor, hanya tiga detik sambungan berbunyi itu sebelumnya akhirnya orang yang tengah ku telpon mengangkatnya.

"Assalamualaikum, Zafira ada apa?"

"Walaikumsalam, Pak Hanif lagi di mana Zafira mau ketemu sama Pak Hanif." Sebelumnya Pak Hanif telah mengetahui jika Abi dan Umi mengalami kecelakaan, kemarin kedua orang tuanya datang dan mengucapakan belasungkawanya sedalam-dalamnya.

Hanya saja, Pak Hanif tidak dapat hadir karena kemarin ia tengah menghadiri acara di luar kota.

"Saya lagi di jalan menuju rumah sakit Zafira."

Dear Imamku (IS 1) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang