Aku dan Pak Hanif memutuskan untuk tetap tinggal di rumah Abi dan Umi karena tak mau repot dengan mengemas baju dan sebagainya. Sebenarnya, Mama sudah mengatakan bahwa nanti akan ada orang yang mengurus itu semua, jadi aku tinggal pindah saja. Tapi, semuanya tak aku lakukan. Aku bisa mengurus Pak Hanif sendiri.
Meski awalnya Mama sedikit kecewa, tapi akhirnya ia luluh juga. 3 hari dalam seminggu ia selalu mengunjungi rumah kami dan membawa banyak makanan serta bahan makanan, seperti buah-buahan dan sayuran. Terkadang, Mama juga menyuruhku untuk menerima uang darinya. Katanya itu untuk pegangan mengingat Pak Hanif harus cek up setiap satu minggu sekali. Tapi, aku menolak, aku merasa tak enak.
Meski, Mama tak pernah berhasil membujukku untuk menerima uang darinya. Tetapi, ia tak kehabisan cara, buktinya jumlah uang dalam rekening Pak Hanif terus bertambah.
Sore itu, setelah Pak Hanif sadar dari komanya. Terjadilah, acara maaf-maafan yang begitu mengharukan. Kami saling memaafkan dan hal itu membuat hubungan yang sekian lama meregang kembali membaik, dan aku bahagia akan hal itu.
Hari ini, ketika senja menyapa hari. Pak Hanif tengah duduk di kursi rodanya seraya memandangi langit. Langit sore ini cukup indah, udaranya terasa hangat namun tidak panas. Aku melangkah kearah Pak Hanif. Sudah waktunya ia kembali ke dalam rumah, mengambil wudhu dan mempersiapkan sholat magrib.
"Langitnya indah banget ya?" tanyaku. Aku berdiri di belakang tubuhnya seraya menyentuh bahunya. Tidak ada jawaban dari mulut Pak Hanif, dan mungkin juga tidak akan pernah ada jawaban.
Salah satu hal yang selalu membuat hatiku tersentil sakit--terlepas dari membaiknya hubunganku dengan Mama adalah sikap Pak Hanif. Ia jadi jarang mengobrol, lebih sering menghabiskan waktunya dalam diam.
Aku selalu berusaha keras untuk menghiburnya. Biasanya aku mengajak ia menonton film comedy di ruang depan, atau jalan-jalan pagi.
"Kita masuk sekarang ya?" ujarku seraya bersiap untuk mendorong kursi roda.
"Tunggu," ujarnya tiba-tiba. Suara Pak Hanif terdengar bergetar. Khawatir, akhirnya aku memutuskan untuk berjalan kedepan tubuhnya. Mata Pak Hanif terlihat berkata-kata. Aku mencari-cari di mana kata-kataku yang bisa menyakitinya. Tapi, aku sama sekali tak menemukannya.
Aku berlutut di depan Pak Hanif seraya mengengam kedua tangannya. Aku tidak tahu apa yang aku rasakan, akan tetapi aku sedih sekali melihat kondisi Pak Hanif yang satu ini. Lelaki itu, adalah lelaki yang selalu menguatkanku. Lelaki baik hati, aku kini kucintai sepenuh hati, tak ingin melepasnya pergi, tak ingin jauh-jauh dari hidupku. Apapun yang terjadi di depan sana, asalkan dengan Pak Hanif. Mungkin aku akan baik-baik saja.
Tetapi, sekarang lelaki itu bahkan menangis. Dan, aku sebagai perempuan yang mengakui sebagai istri serta orang yang mencintainya, aku sama sekali tak mengetahui alasan mengapa ia bisa menangis seperti itu. Aku merasa tidak berhasil menjadi istri yang baik, yang bisa memahami Pak Hanif.
"Bilang sama Zafira apa yang udah Zafira katain sama Pak Hanif sehingga itu nyakitin hati Pak Hanif? Kasih tahu Zafira, jangan siksa Zafira dengan ketidaktahuaan Zafira tentang alasan mengapa Pak Hanif bisa nangis kayak gini. Apa Zafira udah nyakitin Pak Hanif?"
Hening.
Hanya ada suara isak tangisku dan Pak Hanif yang bersatu. Hingga beberapa menit kami hanya diam menikmati air mata kami sendiri. Pak Hanif, tampak tak mau membagi kesedihannya, dan aku merasa tidak rela jika ia bersikap seperti itu. Tidak, jika Pak Hanif sedih, aku juga harus merasakannya. Bukankah itu yang di sebut dengan adil?
Hingga sebuah tangan mengusap kepalaku pelan. Saat itulah, akhirnya aku berani mendonggak dan menatap Pak Hanif.
"Kamu nggak salah apa-apa Ra." Ia menjeda ucapannya, memberi waktu untuk aku menyelesaikan isakan tangis yang terasa sulit di hentikan. "Kamu nggak salah apa-apa. Tapi, saya yang merasa nggak berguna."
Aku mengelengkan kepala kencang. Tidak, Pak Hanif-ku tidak seharusnya mengatakan kalimat pesimis seperti itu. Aku tahu ia kuat, lebih kuat dari apapun. Ia tak boleh merasa dirinya tak berharga, karena ia adalah sesuatu yang paling berharga dalam hidupku.
"Enggak-"
"Setiap hari kamu ngurus saya. Siapin saya makan, suapin saya, ngurus saya dengan baik. Setiap kamu melakukan hal itu hati saya sakit Ra, kamu terlalu baik buat itu-"
"Zafira istri Pak Hanif, nggak seharusnya Pak Hanif bilang kayak gitu sama Zafira. Pak Hanif harus semangat, Zafira yakin Pak Hanif bakalan sembuh-"
"Kamu selalu mementingkan kebutuhan saya di atas segalanya Ra. Apa kamu pikir saya nggak tahu, kalau kamu suka muntah-muntah? Ra, periksakan diri kamu ke Dokter. Bukan hanya mengantarkan saya ke Dokter, mengingatkan saya minum obat dan lainnya. Pentingkan kesehatan kamu di atas kesehatan orang lain, kamu nggak boleh egois dan nyiksa diri kamu sendiri." Sela Pak Hanif, aku mengangguk, kemudian menempel kening kami.
"Zafira janji mau periksa. Tapi, Pak Hanif harus janji sama Zafira kalau Pak Hanif jangan banyak pikiran lagi ya, semua yang terasa sulit pasti bakalan bisa kita lewatin bersama ya?"
Pak Hanif menganggukan kepala, kemudian aku mencium keningnya cukup lama.
"Sekarang kita masuk ya, bentar lagi adzan Magrib." Pak Hanif mengangguk dan aku segera mendorong kursi rodanya masuk ke dalam rumah. Membantunya mengambil wudhu dan melaksanakan sholat Magrib berjamaah.
Satu bulan lagi bulan Ramadhan akan datang. Pak Hanif selalu mengatakan keinginannya untuk melakukan sholat taraweh berjamaah di masjid. Dan, aku selalu mengiyakannya. Kataku ia bisa melakukan sholat tarawehnya dengan duduk di kursi roda.
Tak di sangka-sangka, malam ini rumah kami kedatangan tamu spesial. Bang Gafar dan Bang Jafar datang, mereka berdua memang belum pernah menjengguk Pak Hanif setelah kecelakaan itu. Mereka tampak seru mengobrol, hingga aku bisa beberapa kali mendengar tawanya. Aku senang, mereka bisa menjadi hiburan untuk Pak Hanif. Lima menit kemudian, aku bergabung dan mengobrol dengan mereka. Ketika, Bang Jafar-orang paling tak tahu diri di antara kita semua, berkata bahwa ia lapar dan mengancam akan pingsan jika ia tak mendapat asupan makanan 30 menit lagi. Akhirnya, kami membuat kesepakatan untuk membeli makanan lewat gofood. Tetapi, hal yang tak terduga kemudian terjadi. Pintu rumah di ketuk dan Mama serta Papa mengacungkan kresek makanan ketika aku membuka pintu, katanya mereka ingin menginap sekalian makan malam bersama dan, saat itulah aku bisa merasakan puncak raa bahagia.
Bahkan, aku bisa melihat tatapan Bang Gafar mengenai betapa miripnya sikap Mama dengan Umi kepada kami semua. Dan, seperti tahu apa yang ada di dalam otak kami bertiga, tiba-tiba Mama berkata.
"Kalian bisa anggap Mama sebagai Umi kalian sendiri."
Saat itu aku baru sadar, bahwa kami bertiga sama-sama haus dengan kasih sayang orangtua.
Selasa, 2 Juni 2020
Bersambung...
WiwitWidianti

KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Imamku (IS 1) ✔
ДуховныеImam Series 1. Dear Imamku 2. Tentang Pencarian 3. Gagal Pisah Pernikahan dalam kamus hidup Zafira adalah salah satu hal yang menakutkan. Trauma di masa lalu serta merta membuatnya diambang kegelisahan, ketika seorang pria bernama Hanif mengunjungi...