Tiga Puluh Tiga : Hujan

2.7K 135 2
                                    

Pagi ini hujan kembali membungkus kota. Beberapa meter dari kediaman saya, saya bisa melihat Zafira yang tengah sibuk memasak ayam goreng.

Ayam goreng. Mengingatkan saya pada kartun favorit saya.

Tak lama dari itu, Zafira kemudian melangkah kearah saya. Wajahnya berseri-seri, cantik sekali. "Ayo makan." Ujarnya. Tanpa di suruh dua kali--saya yang tengah meringuk di atas sofa segera melangkah turun dan mendaratkan sebuah kecupan hangat di pipinya. Ia tampak mematung selama beberapa detik sebelum akhirnya mengsejajarkan langkahnya dengan saya, untuk kemudian mencubit tangan saya--yang membuat saya meringis.

"Hukuman karena Pak Hanif nggak izin dulu sama Zafira." Saya tersenyum kecil mendengar perkataannya, kemudian duduk di kursi yang sudah Zafira sediakan. Setelah itu, Zafira duduk di depan saya. Ia mengambilkan piring, membawa nasi, dan lauk yang saya sukai, kemudian menyodorkannya pada saya.

"Ciuman itu sebagai tanda terimakasih saya sama karena kamu udah masakin sarapan."

Tiba-tiba saja pipi Zafira berubah kemerah-merahan. Perempuan itu kemudian menopang wajahnya dengan kedua tangannya, ia sempat mengedarkan pandangnya terlebih dahulu, sebelum akhirnya menatap kedua mata saya.

"Hmm, gombal mulu nih kerjaannya." Ia kembali mencubit lengan saya. Saya kembali meringis.

Apakah hobi Zafira sekarang adalah mencubit saya?

Jika iya, itu akan menjadi bencana. Serius, saya tidak tega melihat kulit saya yang memerah karena cubitan Zafira.

"Ayo kita makan," ajak saya akhirnya.

"Ayo kita berdoa bersama dulu," Ujarnya dan saya tersenyum, memimpinnya berdoa.

***

"Kamu takut hujan?" tanya saya ketika Zafira baru saja meletakkan sebuah gelas berisi kopi di depan saya. Zafira duduk di depan saya. Ia memainkan jari-jari tangan saya. Kemudian pemandangannya menewarang kearah hujan.

"Takut."

"Kenapa?"

"Karena selalu ada petir. Petir yang memekakkan telinga. Zafira orangnya gampangan, gampang ngerasa takut sama sesuatu yang mengancam diri Zafira."

"Kenapa gitu?"

"Ya.. Karena, menurut Zafira apapun yang membahayakan atau menantang itu patut untuk di jauhi. Zafira nggak suka ambil risiko."

"Kalau kamu kayak gitu terus, gimana caranya kamu akan berkembang?" tanya saya. Selama beberapa detik Zafira mengeryitkan keningnya, kemudian menundukkan dan kembali memainkan jari tangan saya.

"Maksud Pak Hanif berkembang biak?" mendengar jawaban Zafira. Saya sontak tertawa, detik berikutnya tawa Zafira menyusul. Tawa kami saling bersautan.

"Nggak.." Saya menjeda ucapan. "Bukan itu maksud saya Ra."

"Yaudah Pak Hanif yang jelas dong ngomongnya!" sekarang ia menonjok-nonjokkan tangannya di lengan saya.

Saya terkekeh pelan, kemudian memajukan tubuh untuk mengusap kepala Zafira. "Maksud saya masa kamu mau terus-terusan lari sih? Nggak mungkin kan, kalau ada ulangan sulit kamu nggak ikut karena nggak berani ambil risiko nilai jelek?" sekarang giliran saya yang memainkan jari tangan Zafira. Perempuan itu mengangkat kepalanya ketika saya mengecup jarinya. "Biar ada pencerahan di otak kamu." Saya terkekeh pelan.

"Maksud Zafira. Sebelum ada ulangan itu kan, kita harus melewati tahapan-tahapan dulu kayak belajar, latihan soal dan lain-lain. Nggak bisa langsung ulangan gitu aja. Zafira bukan orang yang bisa loncat-loncat supaya bisa cepet finish. Zafira pengen mastiin semuanya terbaik gitu aja."

Dear Imamku (IS 1) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang