"Maaf ya Bun, hari ini aku nggak bisa ke panti asuhan soalnya suami aku lagi sakit."
"Iya santai aja Nak Zafira, anak-anak nggak pada nakal kok."
"Yaudah aku tutup ya Bun, Assalamualaikum."
"Walaikumsalam." Aku menaruh handphoneku di meja makan, kembali fokus pada tujuan awalku yaitu menyiapkan sarapan untuk Pak Hanif.
Aku mulai mengiris bawang karena akan membuat nasi goreng, namun tiba-tiba kegiatan mengirisku harus terhenti kala melihat Pak Hanif yang sudah siap dengan baju formalnya.
Bukankah ia tidak akan masuk kerja hari ini?
Aku melangkah kearahnya, ia tengah menggunakan sepatunya, tanpa menoleh sedikit pun kearahku.
"Pak Hanif." Aku memanggil namanya, ia hanya menoleh kearahku dengan sebuah helaan napas panjang.
"Bukannya Pak Hanif nggak akan masuk kerja?"
"Emangnya kemarin malem saya bilang kayak gitu?"
Aku mengeleng, tapi kan ia tengah sakit, secara logika pasti ia tidak akan masuk kerja.
"Pak Hanif jangan maksain diri kan Pak Hanif lagi sakit, Juga perusahaan itu kan perusahaan Bapak jadi-"
"Saya harus menjadi contoh yang baik bagi karyawan-karyawan saya." Ia mencontoh kalimatku ketika ia memutuskan untuk tidak masuk ke kantor karena aku sakit.
"Pak Hanif lagi sakit."
"Selama masih bisa kerja saya akan kerja Ra."
"Yaudah kalau gitu, tapi Pak Hanif harus sarapan dulu."
"Saya nggak ada waktu, saya buru-buru." Ia berdiri dari duduknya, tak menoleh sedikitpun kearahku, tak juga menyodorkan tangannya untukku cium.
"Pak Hanif selalu ngingetin Zafira untuk jaga kesehatan Zafira, tapi Pak Hanif sendiri nggak peduli dengan kondisi tubuh Pak Hanif." Sedikit berteriak aku mengatakan hal itu, ia berhenti sebentar, aku pikir ia akan menuruti perkataanku untuk melaksanakan sarapan terlebih dahulu, namun semua itu di luar dugaan, ia menoleh kearahku, wajahnya masih terlihat datar.
"Handphone saya ketinggalan di kamar." Kebiasaan yang tidak pernah ia tinggalkan barang sekali pun.
***
Aku tidak bisa diam saja di rumah, dan berharap bahwa Pak Hanif akan segera pulang.
Aku tidak bisa menahan diriku sendiri untuk tidak merasakan cemas dan aku juga tidak memahan tangan ini untuk tidak menelponnya.
Handphonenya tidak aktif.
Sudah waktunya makan siang, melihat keadaan Pak Hanif yang tengah diare dan mempunyai indikasi magh, membuatku tidak bisa diam saja, detik berikutnya aku memutusan untuk berangkat ke kantornya.
Kantornya tidak terlalu luas, sebelumnya aku tidak pernah kesini. Dari, beberapa meter sebelum memasuki gerbang kantor, aku bisa melihat seorang satpam yang tengah membantu seorang wanita memarkirkan motornya.
Satpam itu menoleh kearahku, aku bisa melihat keningnya yang mengenyit, maklum saja jika tidak ada orang mengenalku di sini.
"Maaf ada kepentingan apa ya Mbak?" Ia bertanya, ada hal lain yang membuatku tidak enak hati selain pertanyaannya. Yaitu tatapan yang menelisik dengan rasa curiga, yang menatapku rasa bawah hingga ke atas.
Ada yang salah dengan penampilanku?
"Mau ketemu sama Pak Hanif."
"Sudah membuat perjanjian sebelumnya?"
![](https://img.wattpad.com/cover/202494376-288-k576787.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Imamku (IS 1) ✔
EspiritualImam Series 1. Dear Imamku 2. Tentang Pencarian 3. Gagal Pisah Pernikahan dalam kamus hidup Zafira adalah salah satu hal yang menakutkan. Trauma di masa lalu serta merta membuatnya diambang kegelisahan, ketika seorang pria bernama Hanif mengunjungi...