Jadi Begini..

2.9K 69 3
                                    

Assalamualaikum..

Kalian nggak salah baca judul di bab ini--pun aku nggak salah ngetik kok. Jadi begini, aku bakal buat cerita tentang anaknya Pak Hanif dan Zafira. Judulnya adalah 'Tentang Pencarian'. Buat kalian yang penasaran boleh banget langsung baca dan aku insyaallah bakal update setiap hari Kamis dan Minggu, sama seperti cerita ini dulu.

Nah, aku bakal kasih bocoran gimana ceritanya dan happy reading guys...

Nah, aku bakal kasih bocoran gimana ceritanya dan happy reading guys

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

ThankYou..
Wiwit Widianti

***

"Kamu serius? Setelah apa yang udah kita laluin, kamu bilang gini sama aku?"

Raffa--lelaki itu menghela napasnya dengan berat. Ia mengusap rambutnya, dan memutar-mutar sedotan dalam minumannya. "Sorry, aku rasa komitmen kita dari awal itu salah. Kita cuman menumpuk harapan-harapan besar akan pernikahan impian itu. Tanpa, memikirkan semuanya lebih jauh. Aku rasa, semua yang kita lewatin saat sama SMA itu adalah cinta monyet."

"Cinta monyet? 4 tahun? Raff, kita udah gede. Udah tahu mana yang bener dan nggak bener. Setelah pertemuan di rooftop itu, bukankah kita udah janji untuk selalu menjaga hati? Mati-matian aku nahan diri sendiri untuk nggak ketemu sama kamu lagi. Tapi, sekarang. Di saat kamu minta untuk ketemu--dan kukira ini akan menjadi awal yang baik untuk kita. Kenapa kamu malah ngelakuin ini?"

"Justru itu yang salah. Kita mati-matin buat nggak ketemu. Tapi, hati kita saling memikirkan. Itu sama dengan zina hati Zur. Aku nggak mau terjebak dalam hal itu lagi lebih lama. Mengakhiri hubungan ini lebih baik, aku harap kamu ngerti."

Aku mengelengkan kepalaku pelan. Tidak. Tidak mungkin impian serra harapanku selama ini, akan hancur begitu saja. Aku tidak mau, aku begitu mencintai Raffa, tak ingin kehilangannya.

"Raff-" kalimatku terhenti ketika sudut mataku melihat seseorang yang aku kenali. Pria berpakaian rapih dengan jas hitam, rambut rapih, dan wajah blasteran Arab-Indo itu tengah memperhatikanku.

Yaampun. Orang itu seram sekali, serius--apalagi dengan kenyataan bahwa sekarang ini, aku tengah bolos kerja.

"Mati aku." Aku bergumam, seraya sebisa mungkin menutup wajahku dengan buku menu yang ada di meja. Raffa menatapku bingung. Aku tahu, mungkin sekarang ini wajahku konyol sekali. Tapi, ada yang lebih penting, dari sekedar wajah konyolku, yaitu : pekerjaanku. Ketahuilah bahwa pria itu adalah Pak Liam alias teman kecil Azzam--kembaranku alias CEO di perusahaan tempat bekerjaku.

Ketahui membolos seperti ini, benar-benar membuatku takut. Belum lagi, Pak Liam di julukin oleh monsternya perusahaan.

"Raff, sorry aku harus pulang sekarang." Tanpa mengatakan apapun lagi, aku segera berjalan
terburu-buru keluar cafe. Penasaran, akhirnya aku membalikkan badan, untuk menatap kehadiran Pak Liam. Sial, sekarang ia menyerinyai.

***

Hiks hiks hiks

Aku mengetuk pintu rumah dengan air mata yang telah jatuh. Tak lama dari itu, wajah teduh milik Umi muncul ketika beliau membuka pintu. Ia mengeryit bingung melihat penampilanku--yang mungkin begitu menyedihkan ini. Tapi, aku tidak peduli. Aku memeluk tubuh Umi dan kembali menangis.

"Sayang, kamu kenapa?" Umi membalas pelukanku, kemudian mengusap pungungku pelan. Aku tak menjawab pertanyaan Umi. "Ayo masuk dulu." Umi membawaku masuk dan kami sama-sama duduk di sofa ruang keluarga.

Aku masih diam. Sekuat mungkin menahan air mataku agar tidak jatuh kembali.

"Umi ambil minum dulu buat kamu." Aku hanya menatap pungung Umi yang lama kelamaan menghilang di balik pintu. Mengusap air mata serta ingus dengan tisu yang tersedia di meja. Menghela napas berat, aku mengedarkan pandangan, dan melamun.

Tiba-tiba suara deheman seseorang membuatku terlonjak dan kaget. Ah, siapa lagi kalau pelakunya bukan Abi. Abi masuk tanpa mengucapkan apapun, kemudian ia berdiri di depanku seraya menyodorkan tangan kanannya. "Kalau pulang kerja, cium tangan Abi dulu." Tanpa banyak cing-cong aku segera melakukan apa yang Abi katakan. Kemudian, Abi duduk di sampingku, terdengar helaan napas.

"Umi khawatir, kenapa kamu tiba-tiba nangis?" tanyanya. Aku masih belum menjawab. Aku diam, termenung dengan apa yang telah terjadi hari ini. Hari, yang cukup berat untuk ku jalani.

Rabu, 27 Mei 2020
Bersambung.....
Wiwit Widianti

Dear Imamku (IS 1) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang