Liam, lelaki shalih dan tampan itu benar-benar telah berhasil menjadi pujaan hatiku selama masa SMP. Ia adalah ketua rohis, yang merangkap menjadi anggota osis aktif dan juga merupakan ketua kelas di kelasnya.
Aku menghela napas berat. Kemarin, entah bagaimana caranya kabar mengenai aku jatuh cinta kepadannya di ketahui seisi sekolah. Liam, yang biasanya selalu senyum kearahku dan terlibat dengan obrolan ringan denganku, kali ini menatapku dengan tajam. Aku masih ingat perkataannya kemarin, ia membenciku sekarang. Rasa cinta ini membuatnya malu.
Tapi sungguh, aku sama sekali tak ada niatan untuk membocorkan rahasia ini kedepan publik--hingga seisi sekolah tahu.
Aku tidak tahu dalang di balik semua ini. Sebelumnya, aku tidak pernah mengatakan hal ini pada siapapun. Menjadi seorang pengagum rahasia, sudah cukup untukku.
"Hai." Raka--lelaki anak futsal, sekaligus teman sekelasku itu senyum kearahku. Aku membalasnnya dengan senyuman kecil, senyuman yang terkesan di paksakan. "Kenapa sendirian?"
"Males aja, ketemu sama orang-orang."
"Karena kabar kalau kamu jatuh cinta sama Liam?" aku mengangguk kelu. Kami tengah berada di perpustakaan. Tempat yang cukup sepi untuk jam istirahat seperti ini.
Aku menghela napas berat, sedangkan orang yang menjadi lawan bicaraku malah tersenyum penuh arti.
"Aku malu Rak. Kamu mungkin nggak tahu apa yang aku rasain tapi-"
"Gue denger nanti sore, Liam bakal ada acara."
"Acara? Acara apa?"
"Biasalah, sosialisasi. Dia bakal pergi ke panti asuhan deket sekolah."
"Terus urusannya sama aku apa?"
"Aku tahu kok kamu mau minta maaf sama dia kan? Nah, ini waktu yang tepat karena Liam bakal pergi kesana sendiri."
"Tunggu, dari mana kamu tahu?"
"Kamu ngeraguin informasi yang aku punya?" lelaki itu mengangkat satu alisnya. Tentu saja aku mengelengkan kepala. Selama ini, Raka di kenal dengan julukan cenayang--karena tahu semua gosip yang tersebar di sekolah. Tapi, sejujurnya yang aku tahu Raka itu bukan cenayang, melainkan terlalu kepo dengan urusan orang lain.
"Gimana kalau dia nggak pergi sendirian?" tanyaku.
Raka berdeham pelan. "Ya gapapa sih. Tapi, kesempatan tuh nggak dateng dua kali loh Ra."
"Oke kalau gitu."
"Sip, good luck!"
***
Seperti ucapan Raka tadi siang, Liam terlihat keluar dari sekolah dengan berjalan kaki. Jarak antara panti asuhan dengan sekolah memang tidak terlalu jauh, mungkin bisa di tempuh selama kurang dari 5 menit dengan berjalan kaki. Aku mengikutinya dalam diamku, sekolah masih ramai, aku harus mencari celah agar bisa mengobrol dengan Liam di tempat yang sepi, serta tanpa di ketahui oleh siswa sekolah.
Untuk sampai ke panti asuhan, aku harus melewati sebuah gang kecil, gang ini adalah tempat yang sepi dan cocok untuk mengobrol dengan Liam. Namun, ketika aku hendak memanggil namanya, sebuah tangan kekar membekap mulut dan aku rasa sesuatu telah membuatku lemas, hingga terkulai tak berdaya.
Aku merasa tubuhku di gusur, sakit sekali ketika kaki ini bergesekan dengan kerikil. Aku ingin membuka mata, tapi rasanya berat sekali. Aku ingin berteriak, tapi suaraku tidak bisa keluar sama sekali. Aku ingin berlari, namun kakiku rasanya lemah sekali.
Akhirnya aku pasrah dan merasa tubuhku berhenti di gusur, dan setelah cukup lama tak bisa membuka mata, aku sadar juga. Pemandangan pertama yang aku lihat adalah wajah Raka.
Wajahnya berada begitu dekat dengan wajahku, bahkan aku bisa merasakan hela napasnya. Ia menyeringai. Aku ingin bangun, tetap tangan dan kakiku di ikat pada ranjang. Aku ingin menangis, ketika melihat Raka menyeringai. Kemudian menjauhkan wajahnya dariku.
"Hai, putri cantik."
Aku bergidik nyeri mendengar panggilannya kepadaku.
"Raka. Apa yang mau kamu lakuin?" tanyaku panik.
Tetapi Raka tak menjawab. Lelaki itu membuka kemeja SMP nya, mendekat kearahku. Ia mencium bibirku, aku berontak sekuat tenaga. "Mine." Gumamnya sebelum akhirnya mimpi buruk itu terjadi. Sesuatu yang aku takutkan terjadi.
Aku masih ingat wajah Raka yang menyeringai, seraya menikmati permainannya sendiri, aku menangis meraung-raung di sana.
Hatiku sakit sekali akan perbuatannya.
Dan, saat itu juga aku ingin mati.
***
"Sejak saat itu aku nggak pergi ke sekolah selama seminggu." Aku menjeda ucapanku, mengusap air mataku dengan pelan. "Setelah aku jujur sama mereka berempat, betapa sakitnya hati aku melihat mereka terdiam. Terdiam adalah tahap tertinggi dalam sebuah kekecewaan. Aku nggak melihat tangisan dari mereka kecuali dari Umi yang beberapa kali menyerka air matanya."
Aku menghela napas dengan berat. Hatiku terasa sesak. Mimpi buruk itu seperti black hole yang siap menarikku kapan saja kedalamnya. Menengelamkanku dengan lautan luka menganga.
"Waktu aku turun buat ambil air putih, dan aku bisa denger suara tangisan di kamar Bang Gafar dan Bang Jafar. Tadinya, kupikir lelaki nggak akan nangis tapi aku salah. Saat itu rasanya aku hancur banget." Tangan Pak Hanif terulur untuk membawaku kedalam pelukannya. Hangat, itu yang aku rasa, sehingga aku memperdalam pelukannya dan tak mau melepaskannya. "Umi bawa aku buat di periksa ke Dokter, dan aku di nyatain hamil. Mimpi buruk itu ternyata belum benar-benar berakhir. Aku kehilangan masa depan. Aku mengalami mimpi buruk selama berhari-hari, aku nggak bisa tidur karena nggak mau mimpi itu lagi, hingga pernah berpikir untuk mengakhiri hidup ini. Aku berniat buat minum pembersih lantai, tapi Bang Gafar gagalin rencana itu, ternyata dia tahu keputusaan yang aku alami. Dia ngikutin semua aktivitas aku. Setelah itu aku di bawa ke Psikolog, aku nyaman cerita sama dia, nggak akan penghakiman, nggak ada tangis-tangisan."
"Boleh saya tahu mimpi buruk kamu?"
"Kau harus menuruti semua perintahku!" Seorang perempuan dengan gamis hitam itu mengeleng kencang, di depannya sebuah pisau siap menghunus wajahnya kapanpun. "Kau harus menikah denganku!" Kembali sebuah gelengan kencang dan suara teriakan dengan nada ancaman terdengar memekikkan telinga.
"Kau harus menikah denganku atau nyawamu dan keluargamu akan aku habisi." Pria dengan jaket hitam itu menyeringai, ia mencengkram kuat dahunya, agar wanita itu bisa melihat kearahnya, namun usahanya sia-sia karena wanita itu tidak menatapnya.
"Tatap wajahku!" Ujarnya, karena tidak menuruti permintaannya akhirnya pria itu mengulangi ucapannya. "Tatap wajahku atau ku bunuh kau sekarang juga!"
Kesal karena tidak kunjung mengangkat wajahnya, akhirnya pria itu menyerah dan melepaskan cengkraman tangannya.
"Baiklah, jika kamu tidak menuruti perintahku dan tidak mau menikah denganku. Tapi, ada satu hal yang harus kau tahu bahwa dirimu sudah tidak suci lagi, tidak akan pernah ada lagi pria yang mau kepada wanita kotor sepertimu!"
"Mimpi buruk yang terus berulang-ulang."
"Saya nggak tahu kalau hidup kamu seberat ini Ra. Maafin saya." Pak Hanif melepaskan pelukannya, kemudian menatapku dengan rasa bersalah.
"Hei, Pak Hanif nggak salah dan nggak ada hubungannya sama kasus ini." Aku mengangkat kepala Pak Hanif yang menunduk. Jujur saja, meski lelaki itu lebih tua dari pada aku, tetapi ia tak terlihat tua, sebaliknya ia malah terlihat seumuran dengan Bang Gafar dan Jafar.
"Kamu mau denger cerita saya?"
Rabu, 20 Mei 2020
Bersambung...
WiwitWidianti

KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Imamku (IS 1) ✔
SpiritualImam Series 1. Dear Imamku 2. Tentang Pencarian 3. Gagal Pisah Pernikahan dalam kamus hidup Zafira adalah salah satu hal yang menakutkan. Trauma di masa lalu serta merta membuatnya diambang kegelisahan, ketika seorang pria bernama Hanif mengunjungi...