Tiga Puluh Satu : Mimpi Buruk

2.6K 143 3
                                    

Seseorang dari masa lalu itu, seseorang dengan aura tergelap yang pernah aku temui itu, kini berada di depanku. Ia menatap wajahku, dan tiba-tiba saja aku merasakan sulutan emosi di dada.

Lelaki itu masih mematung di depannya berdiri. Aku bisa menangkap raut wajahnya yang bingung--antara berbicara atau tidak.

Aku bisa merasakan sentuhan lembut di tanganku. Pak Hanif nampaknya mengengam tangan kananku yang bergetar--sentuhan yang memberikan secercah kekuatan dalam diriku.

"Jadi kamu orang yang udah nabrak orangtua gue?" tanyanya pongah. Dan, tiba-tiba saja Pak Hanif maju ke depan dan melayangkan bogeman mentah yang membuat sudut bibir Raka berdarah.

"Beraninya kamu bilang kayak gitu sama Zafira, seolah kamu nggak punya dosa apa-apa sama dia!" aku menahan kedua tangan Pak Hanif yang kembali siap melayangkan tinju pada Raka. Sedangkan, Raka--orang itu tampak tak ingin melakukan perlawanan sedikitpun. Jika hal ini terus-terusan terjadi, maka bisa jadi bahwa Pak Hanif akan melukainya lebih parah dari pada ini.

"Pak Hanif tenang." Aku membawa tubuh Pak Hanif kebelangkan untuk mengaja jarak dengan Raka.

Lelaki itu terkekeh pelan, tangannya mengusap darah yang keluar. "Lo siapa? Berani-beraninya ikut campur urusan gue?!"

"Siapa? Harusnya saya yang nanya gitu sama kamu! Saya suami Zafira. Kenapa? Ada masalah?!"

Bukannya takut atau grogi dengan nada tinggi suara Pak Hanif, Raka malah terkekeh pelan. Oh, kali ini ia menyeringai. Seringainya itu membuatku takut. Seperti tahu dengan ketakutan yang aku alami, Pak Hanif membawaku kebelakang tubuhnya.

"Lo masih ada di sini dan ngaku bahwa Zafira adalah istri lo, karena lo belum tahu masa lalu Zafira, kisah menjijikannya-" Ucapan Raka terhenti ketika suara Pak Reno mengintruksi.

"Raka. Apa yang akan kamu lakukan pada Zafira? Bukannya dulu kamu sudah berjanji untuk tidak lagi menganggu hidupnya?"

"Tapi Pak-"

"Kalau ada masalah yang belum selesai. Ya, kamu bicarain baik-baik Nak. Bukankah kamu sudah menyesal membuat orang yang kamu cintai kehilangan kebahagia di masa remajanya?"

Hening.

Pak Hanif masih mengengam tanganku, hingga kami bertiga sampai di rooftop rumah sakit. Ada beberapa orang di sini. Namun, aku bisa memastikan jika orang-orang itu tak akan mendengar apa yang akan kami ucapkan, karena jarak yang terbentang cukup jauh.

"Pak Hanif, Zafira boleh ngobrol berdua sama Raka?" tanyaku. Entah mengapa, aku akan lebih merasa nyaman ketika harus mengobrol berdua, dari pada bersama Pak Hanif. Rasanya malu sekali.

Ragu sementara, namun pada akhirnya Pak Hanif menganggukan kepalanya pelan dan berjalan pada sebuah kursi panjang yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kediaman aku dan Raka. Dengan jarak seperti itu, besar kemungkinan bahwa Pak Hanif masih bisa mendengar apa yang akan aku dan Raka obrolkan. Tapi tak apa, setidaknya ia tak berada di sampingku. Meski aku tengah berada, di fase menakutkan dalam hidup, tapi masalahnya Raka adalah mimpi burukku yang datang dari masa lalu. Orang yang pernah membuatku melakukan percobaan bunuh diri.

Kuat. Aku harus berusaha kuat untuk menghadapi hantu dari masa lalu ini.

"Selama ini kemana aja? Kayaknya setelah kejadian itu kamu nggak pernah keliatan di Bandung lagi." Aku memulai obrolan. Terdengar helaan napas di sana.

"Surabaya. Aku lanjut sekolah di sana."

Oh good. Lelaki bisa dengan mudahnya menutup kesalahannya sendiri tanpa di ketahui banyak orang. Sedangkan perempuan? Aku meringis, ketika satu sekolah membullyku dan mengcapku sebagai perempuan murahan, tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Terkadang kurasa hidupku benar-benar menyedihkan. Di kelilingi oleh orang-orang yang bisa menghakami orang lain tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi ini, benar-benar membuat hatiku sakit sekali.

"Kenapa diem?" berbeda dengan suara penuh emosi yang pertama kali Raka keluarkan, ketika berhadapan dengan Pak Hanif. Kali ini, suaranya terdengar lebih tenang dari pada tadi--juga lebih lembut. Terlepas dari semua hal keji yang telah ia lakukan terhadapku--di masa lalu. Raka adalah teman yang baik, ia adalah orang yang selalu mendengar keluh kesahku. Oh atau jangan-jangan karena hal itu, ia bersikap baik?

Musuh dalam selimut.

"Kamu ngelamun," ujarnya kemudian. Aku menghela napas pelan.

"Siti Khadijah. Itu nama anak kita." rasanya sulit sekali, ketika aku harus mengatakan kata 'kita'.

Hening.

"Aku minta maaf Ra. Saat itu emang, aku lagi jatuh cinta sama kamu. Rasa cinta aku lagi mengebu-"

"Aku rasa itu bukan cinta Rak. Itu nafsu. Tapi seandainya, ada sedikit aja bagian dalam hati kamu yang enggak setuju dengan hal itu, maka kamu nggak akan pernah ngelakuin hal sekeji itu. Nyatanya, kamu emang pengen hal itu terjadikan?"

"Aku minta maaf Zafira."

"Dan, apakah kamu pikir minta maaf bisa nyelesain semuanya? Bisa menghapus luka yang aku terima? Bisa membuat peristiwa itu terjadi? Rak, harusnya kamu mikir dulu sebelum ngelakuin hal itu! Kamu udah ngancurin masa remaja aku!"

Sudut mataku, menangkap potret Raka yang mengangguk-anggukan kepalanya serta menatapku penuh dengan permohonan. "Aku minta maaf Zafira, aku tahu aku salah. Dan, nggak ada satu haripun yang aku lewatin, tanpa dihantui rasa bersalah itu."

Hening sejenak. Pada akhirnya, kekuatan yang telah aku bangun kokoh menjadi rapuh ketika mengingat anakku. Aku benar-benar merindukannya sekarang.

"Aku dapet kabar dari Raffa, kalau kamu ngelakuin percobaan bunuh diri Ra. Setiap hari aku selalu di hantui dengan penyesalan." Raka menjeda ucapannya. Kini pandangannya luruh kedepan. "Gimana keadaan anak kita Ra? Rasanya, sedih banget ketika dia harus nyebut suamimu itu Ayah, sedangkan aku adalah Ayah yang sebenarnya."

"Siti Khadijah, udah di ambil Allah." Aku menatap Raka, kini wajah ini di hampiri oleh aura kelam. Matanya berkaca-kaca, kepalanya mengeleng.

"Bahkan, aku belum pernah ketemu sama dia Ra."

"Tapi, Allah berkehendak lain Rak. Dia prematur, hanya 3 hari aku bisa menyalurkan rasa sayangnya sama dia. Hanya tiga hari."

Hening.

"Masalah kita udah selesai Rak. Tujuan aku ngomong sama kamu adalah untuk ngasih tahu hal ini. Dan, untuk kesalahaan di masa lalu itu. Aku udah maafin kamu, tapi jangan harap bahwa semuanya bakalan sama lagi. Aku bersyukur Allah udah kirim Pak Hanif buat aku," Sejenak aku memandang kearah Pak Hanif, tersenyum kecil. "Lelaki yang udah menerima aku apa adanya."

Aku berdiri dari dudukku. Kemudian mengangguk pelan--sebagai kode bahwa aku akan pergi sekarang. Sore itu, aku meninggalkan Raka yang sibuk dengan rasa sedihnya.

"Zafira." Raka berteriak. Aku dan Pak Hanif yang siap untuk turun, sontak menoleh kearahnya. "Boleh aku tahu di mana makan anak kita?"

Dengan begitu, mimpi buruk itu, terasa tak begitu menyeramkan lagi. Raka--dengan penyesalan terbesar dalam hidupnya.

Jumat, 22 Mei 2020
Bersambung...
WiwitWidianti

Dear Imamku (IS 1) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang