Tiga Puluh Enam : Rencana

2.6K 144 2
                                    

"Pak Hanif, kita nginep di rumah Mama yuk?" Pak Hanif mengeryit mendengar ucapanku. Detik berikutnya, ia kembali fokus menatap laptopnya.

"Tumben."

"Kan, Zafira pengen jadi menantu yang baik buat Mama. Gimana?"

"Boleh sih."

"Yee."

"Tapi, kok kamu jadi aneh kayak gitu?"

"Aneh?"

"Hmm, biasanya kalau saya ajak kamu ke rumah Mama, kamu nggak pernah mau karena malu. Biar saya tebak, ada sesuatu yang terjadi?"

"Enggak."

"Terus?"

"Kan, Zafira udah bilang kalau Zafira pengen jadi menantu yang baik buat Mama."

Pak Hanif mengangkat wajahku, kini menatapku dengan tatapan menyelidik, membenarkan kaca matanya dan tersenyum kecil. "Ada angin apa nih?" ia tersenyum jahil.

Aku mendengus pelan, "Jadi, Pak Hanif nggak mau nih?"

"Emangnya saya bilang kayak gitu?"

"Tuh kan sifat nyebelin Pak Hanif balik lagi."

Pak Hanif mengangkat bahunya santai. "Saya nggak ngerasa nyebelin tuh."

"Tapi, Zafira ngerasa. Zafira nggak suka tahu,"

"Oh ya?" Pak Hanif mengangkat salah satu alisnya. Kemudian melepaskan kaca matanya. "Oke kalau gitu. Besok kita nginep ya."

"Yaudah kalau gitu, Zafira siapin baju yang mau di bawa dulu ya?"

***

Sepeti apa yang telah Pak Hanif janjikan hari ini kami berniat untuk pergi menginap ke rumah orangtua Pak Hanif. Semenjak dari kemarin, aku sudah menyakinkan hati, jika semuanya akan baik-baik saja. Ya, setidaknya aku harus berusaha memperbaiki semuanya, untuk mencapai sebuah keberhasilan.

"Yuk, udah siap?" tanya Pak Hanif seraya merapihkan dasinya. Hari ini memang, ia mulai kerja kembali, setelah hari-hari meliburkan diri.

Aku mengangguk dengan semangat. "Udah yuk." Tapi sebelum benar-benar melangkah kedalam mobil, aku melangkah kearah Pak Hanif terlebih dahulu dan membenarkan dasinya. "Kalau nggak bisa sendiri. Minta bantuan Zafira aja."

Sebuah senyuman ia layangkan. Setelah itu perjalanan menuju ke rumah orangtua Pak Hanif berjalan dengan lancar. Jalanan pagi tidak terlalu macet, udara kota Bandung masih terasa bersih dan matahari bersinar penuh semangat--menghantarkan rasa panas.

Mobil yang di kendarai Pak Hanif mulai memasuki pelataran rumah Mama, sebuah mobil hitam terparkir tidak jauh dari tempat Pak Hanif memarkirkan mobil. Aku mengambil napas dan membuangnya, terus melakukan hal yang sama selama beberapa kali, hingga Pak Hanif menatapku dengan tatapan meminta penjelasan.

Aku nyengir. "Olahraga." Kemudian segera turun dari mobil dan Pak Hanif membawa baju-baju kami yang sudah di masukkan kedalam koper berukuran kecil dari kursi penumpang.

"Assalamualaikum." Salamnya seraya mengetuk pintu rumah. Aku sengaja menyuruh Pak Hanif yang mengucapkan salam serta mengetuk pintu, karena bagaimana pun aku benar-benar harus mempersiapkan apa yang akan terjadi pada detik berikutnya.

Semuanya akan baik-baik saja.

Ya, aku yakin akan hal itu.

Tak lama dari ketukan Pak Hanif yang kedua, pintu rumah yang begitu tinggi dan kokoh itu akhirnya terbuka. Mama hadir di sana dengan senyuman terbaiknya. Namun, ketika melihat kehadiranku, senyuman itu sedikit memudar dan kembali pada detik berikutnya dengan senyuman yang terlihat agak di paksakan. Aku berusaha untuk menekan rasa sakit di hatiku dalam-dalam.

Pak Hanif mencium pungung tangan Mama. Dan, aku melakukan hal yang sama, meski merasa bahwa bahasa tubuh Mama yang diberikan kepadaku terasa sedikit terpaksa.

"Hanif sama Zafira mau nginep di sini Ma. Boleh?"

"Ya, bolehlah sayang. Apa sih yang enggak buat kamu. Oh ya, kok kita ngobrolnya di sini sih? Ayo masuk." Mama mengatakan hal itu seraya mengusap bagian lengan atas Pak Hanif, terlihat senang dengan kedatangan anaknya.

"Hanif nggak bisa lama Ma. Lagian Papa udah nunggu di kantor kan?"

"Iya sih. Tapi, apa kamu udah sarapan?"

"Udah Ma."

"Oke kalau gitu, Mama nggak bisa nahan kamu."

"Hanif titip Zafira ya Ma." Pak Hanif tersenyum pelan ketika menyebutkan namaku.

"Tentu." Jawab Mama yang terdengar agak janggal untukku.

Tapi tunggu, kenapa aku malah berpikiran yang macam-macam sama Mama sih? Kan, niatku kesini adalah untuk meminta maaf. Jadi, aku harus menyingkirkan semua pikiran-pikiran negatifku jauh-jauh.

"Hanif berangkat. Assalamualaikum." Pamitnya.

"Walaikumsalam." Jawabku dan Mama bersamaan.

Setelah mobil yang dikendarai Pak Hanif menghilang di gerbang rumah. Mama hanya menatapku dingin, tanpa mengatakan apapun lagi, ia masuk ke dalam rumah. Aku mengekor dengan koper kecilku, kemudian menutup pintu rumah. Pertama, aku harus membereskan bajuku dan Pak Hanif, kemudian membantu pekerjaan rumah seraya mencari celah untuk membahas topik ini dengan Mama. Namun, kita--manusia hanya bisa berencana sedangkan Allah yang menentukan segalanya.

Tangan kananku masih memegang kenop pintu setelah menutup pintu. Namun, tiba-tiba langkah Mama terhenti, ia membalikkan badannya. Wajah dingin itu sebenarnya membuat nyaliku sedikit menciut. Tapi, aku tidak boleh takut.

Ya, tidak boleh takut.

"Hanif itu anak baik. Dia selalu nurut sama orangtuanya, meski terlihat jelas dalam pandangan matanya bahwa dia agak keberatan dengan hal itu." Mama menjeda ucapannya. Kini berjalan semakin dekat dengan keberadaanku. "Sayangnya. Kenapa dia harus jatuh cinta sama wanita kotor seperti kamu? Kamu tahu kan, hal apa yang wanita punya sebelum ia menikah?"

Aku menganggukkan kepalaku pelan. Sebuah penghakiman daripada orang-orang itu, membuat hatiku benar-benar sakit, nyaliku seketika menciut, hal itu menimbulkan trauma bagi diriku. Hal itu adalah salah satu alasan daripada tindakan bodoh yang pernah aku lakukan di masa lalu ; Bunuh diri.

"Kenapa lelaki sempurna seperti Hanif harus mendapatkan wanita seperti kamu? Bukankah di luar sana ada banyak wanita-wanita yang lebih baik? Yang bisa memasak, yang bisa mengurus semua kebutuhan Hanif dengan baik. Hmm, saya liat kok belakangan ini Hanif jadi kecil ya? Berat badannya turun?"

Benarkah begitu? Jika hal itu benar-benar terjadi. Maka, aku adalah seorang istri yang buruk--yang hanya mempentingkan kebahagiaannya dari pada suaminya sendiri.

"Tapi Ma, aku pengen jadi yang terbaik buat Pak Hanif dan mengenai hal itu, aku bisa jelasin semuanya-"

"Nggak ada yang perlu kamu jelasan, karena saya nggak butuh. Dan, apa kamu bilang tadi? Menjadi yang terbaik untuk Hanif? Seberapa keras pun kamu berusaha, kamu nggak akan pernah bisa,"

Aku mematung di tempatku berdiri. Semua kalimat pembelaan yang telah aku susun tiba-tiba lenyap tak bersisa.

"Sekarang saya tanya sama kamu. Apakah kamu benar-benar mencintai anak saya Hanif?"

"Iya." Aku menjelas dengan pelan. Terdengar helaan napas berat dari lawan bicaraku.

"Kalau begitu saya minta buat ninggalin dia-"

"Enggak. Zafira nggak akan ninggalin Hanif. Hanif udah nerima semua kekurangan Zafira begitu pun sebaliknya," aku tidak tahu sejak kapan Pak Hanif membuka pintu dan berkata seperti itu. Namun, satu hal yang membuatku yakin adalah ; Pak Hanif pasti menguping.

"Kamu itu sempurna Nif. Beda sama dia, kamu-"

"Enggak ada yang sempurna di dunia ini termasuk Hanif." Pak Hanif segera menarik tanganku untuk kemudian membawaku masuk kedalam mobil, ia bahkan mengabaikan teriakan Mama.

Jumat, 29 Mei 2020
Bersambung
Wiwit Widianti

Dear Imamku (IS 1) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang