3 tahun yang lalu
Hanif tengah terburu-buru dengan beberapa file yang ada di tangannya, belum lagi mobilnya yang mogok, ia merogoh saku celananya dan menelpon sebuah bengkel langganannya untuk datang kesini.
Pria itu memutuskan untuk naik taksi, namun ketika hendak menyetop taksi, matanya tiba-tiba menangkap seorang siswa SMP. Zafira, perempuan itu adalah perempuan yang membuat Hanif jatuh cinta bahkan sejak usia 17 tahun.
Perempuan itu berjalan dengan langkah yang teramat pelan. Di depannya terdapat seorang lelaki yang berjalan dengan mantap, berbanding terbalik dengan langkah ragu-ragu Zafira. Di belakangnya juga terdapat seorang lelaki, yang menggunakan seragam SMP. Sebenarnya, Hanif merasa penasaran dengan apa yang tengah Zafira lakukan, akan tetapi sebuah telpon membuat langkahnya urung.
Ia harus meeting sekarang juga.
Beberapa minggu kemudian, Hanif mendapat kabar mengenai apa yang Zafira alami.
"Jadi sebelum Zafira ngasih tahu, Bapak udah lebih tahu lebih dulu?" aku bertanya. Sebelumnya, aku tidak pernah tahu akan hal ini. Dan, ketika hari ini semuanya tersingkap, aku benar-benar kaget.
Itu artinya, Pak Hanif telah menerimaku sejak awal?
"Jadi-"
"Iya Ra. Saya udah nerima kamu apa adanya." Ia menjeda ucapannya. "Dan, apa kamu kira rasa cinta sama kamu sedangkal itu?"
Aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Aku benar-benar kaget, benar-benar tak percaya bahwa ada lelaki sebaik Pak Hanif di dunia ini. Selama ini, yang selalu menjadi ketakutan terbesar dalam hidupku adalah sebuah kedekatan--atau bahkan rasa cinta yang berakhir pada kekecewaan--yang tidak bisa di maafkan oleh siapapun. Di mana penghakiman selalu menang dalam usaha menyakiti hatiku.
"Saya nggak pernah menuntut segala sesuatu harus sempurna Ra. Semua manusia pasti punya kekurangan masing-masing, bedanya ada orang yang memang pandai menyembunyikannya dan ada juga orang yang jujur dengan kekurangannya. Seperti kamu. Dari awal, saya ngerasa nggak masalah kalau kamu nggak mau bilang dan jujur soal ini sama saya, tapi kenyataannya sebaliknya kan? yang membuat saya marah adalah ketika kamu membuat pilihan untuk saya. Saya nggak akan meninggalkan kamu Ra. Saya sudah janji sama Abi kamu saat usia kamu masih 9 tahun dan saya 17 tahun."
Dulu, saat Pak Hanif menceritakan tentang anak kecil yang ia temui saat berusia 17 tahun--saat ia kabur dari pesantren kilat, aku tidak terlalu mempercayainya. Semua ini terlalu kebetulan, terlalu dramatis. Tidak tahunya, semua ini benar-benar terjadi--meski aku belum bisa mengingatkan--atau bahkan tak akan pernah bisa mengingatnya sama sekali. Sebab, kepingan memori dari masa lalu itu sudah benar-benar aku kubur dalam-dalam. Tak peduli, seberapa keras mencoba mengingatnya. Memori itu tidak akan pernah kembali.
"Saya kaget saat Abi bilang tanggal kejadiannya. Tanggal yang sama di mana saya ngeliat kamu." Pak Hanif menjeda ucapannya. "Andai, saat itu saya ngikutin kamu, mungkin semua ini nggak akan terjadi Ra. Nggak akan ada kesedihan, nggak akan ada percobaan bunuh diri." Kalimat terakhir Pak Hanif mengantung di antara udara dingin serta langit malam.
Ia merenguh bahuku dalam kenyamannya. Kenyamanan yang selalu sukses merasa aman di sampingnya.
Tahu, bahwa Pak Hanif sudah menerimaku sejak lama membuatku merasa tenang.
Aku tak mau kehilangan. Dan, itu adalah kenyataan yang selalu berada di dalam hatiku. Kalimat yang merupakan keteguhan. Tapi, bagaimana dengan orangtua Pak Hanif yang tak menginginkanku?
Aku tahu mungkin ini egois. Tapi, sekali saja. Aku begitu ingin menegaskan apa yang ada di dalam diriku. Aku ingin mempertahankan apa yang aku inginkan, semua ini semata-mata demi kebahagiaanku. Demi, hatiku.
"Pak Hanif, jangan tinggalin Zafira." Pak Hanif tak menjawab, tapi ia mencium pucuk kepalaku.
***
2 hari kemudian
Karena hari ini Pak Hanif libur dan tak ada jadwal mengajar di kampus. Kami memutuskan untuk menenggok Pak Reno--orang yang aku tabrak. Ia masih berada dalam perawatan. Beberapa kali, Pak Hanif menelponnya dan kabar baiknya adalah keadaan beliau yang semakin membaik.
Aku membawa sebuah parcel buah yang sengaja aku beli, untuk di berikan kepadanya. "Hati-hati berat." Ujar Pak Hanif seraya membawa parcel tersebut. Aku memberengut kesal. Sebenarnya, parcel tersebut tidaklah terlalu berat, tapi Pak Hanif memperlakukanku seperti perempuan manja.
Padahal, aku begitu ingin mandiri. Seperti Umi yang tidak pernah mengeluh dengan semua pekerjaan rumah yang beliau kerjakan. Aku selalu terkesan dan ingin seperti dirinya di masa depan.
"Kamu ngelamun." Aku terkekeh pelan mendengar ucapan Pak Hanif. "Ngelamunin apa sih?" tanyanya ketika kami sudah berada di dalam mobil.
"Aku-"
"Masa depan udah ada di depan kamu dan kamu bisa mikirin sesuatu yang nggak penting?"
"Bukannya ini nggak penting. Tapi, aku lagi ngebayangin gimana kalau aku jadi perempuan mandiri kayak Umi? Pak Hanif tahu nggak sih, saking mandirinya Umi, Abi aja sampe nggak bisa pasang tabung gas karena itu keahlian Umi." Aku terkekeh pelan dengan ucapanku. Lambat laun, aku sudah berusaha menerima kepergian dua orang paling berharga dalam hidupku.
Semoga, Allah mempertemukannya kembali di surga-Nya.
"Oh ya?" Pak Hanif mengeryit. Melihat ekpresinya seperti itu, membuatku berpikir--mungkin Pak Hanif juga tak bisa memasangkan tabung gas.
Beruntung aku sudah pernah melakukannya dengan Umi. Jadi itu bukan masalah besar.
Aku mengangguk. "Iya beneran."
Ia berdeham pelan. "Kalau saya sih suka istri yang manja."
"Yang selalu nelpon Pak Hanif setiap satu jam sekali, karena takut suaminya di embat wanita lain?" aku berdecak pelan.
"Kenapa enggak?"
"Zafira kira itu keterlaluan sih. Cukup kepercayaan antara dua orang yang menjalani rumah tangga itu, yang menjadi pondasi kokoh bahwa pasangan kita benar-benar setia. Nanyain kabar emang penting. Tapi, Pak Hanif tahu kan, bahwa segala sesuatu yang berlebihan itu selalu nggak baik?"
Aku bisa melihat anggukan kepalanya meski terlihat begitu pelan. "Kamu benar." Gumamnya. "Tapi, saya suka loh di repotin sama kamu." Ia menyeringai. "Saya suka menghabiskan waktu saya sama kamu."
Tiba-tiba saja, aku merasa pipiku memanas dan ada banyak kupu-kupu yang berterbangan dalam perut. Pak Hanif nampaknya mengetahui apa yang tengah aku rasakan, itu sebabnya sedari tadi ia hanya diam dan tersenyum. Oh bahkan, senyumannya tak lepas hingga kami sampai di Rumah Sakit.
Pak Hanif santai membawa parcelnya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya menarikk itu. Ia tahu aku telah berdebat mati-matian dengan hatiku.
Aku harus bersyukur ketika, kehadiran istri Pak Reno--yang tidak pernah aku harapkan itu--tengah pulang. Pak Reno hanya di jaga dengan anaknya. Tapi, anaknya itu tengah makan di kantin rumah sakit.
"Nggak usah repot-repot kayak gini. Duh, Bapak jadi ngerasa nggak enak." Ujarnya, Pak Hanif hanya tersenyum sopan, kemudian pandangannya tertuju padaku. Ia mengeryit dan tampak berpikir untuk beberapa waktu.
"Zafira.." Gumamnya kemudian, aku dan Pak Hanif saling berpandangan. Kami bahkan baru menemuinya dalam keadaan sadar hari ini. Selain itu, aku tidak pernah mengenalkan namaku sendiri.
Lantas, mengapa ia tiba-tiba tahu dengan namaku?
Tiba-tiba pintu kamat terbuka. Seorang lelaki bertubuh tinggi yang menggunakan jaket hitam masuk. Saat itu, tiba-tiba saja seluruh tubuhku bergetar.
"Raka."
Kamis, 21 Mei 2020
Bersambung...
Wiwit Widianti
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Imamku (IS 1) ✔
SpiritualImam Series 1. Dear Imamku 2. Tentang Pencarian 3. Gagal Pisah Pernikahan dalam kamus hidup Zafira adalah salah satu hal yang menakutkan. Trauma di masa lalu serta merta membuatnya diambang kegelisahan, ketika seorang pria bernama Hanif mengunjungi...