Entah apa yang membuat hubungan rumah tanggaku dengan Pak Hanif secanggung ini, kami sama-sama tak bicara sama satu sama lain, kami hanya diam- membiarkan sepi menjadi teman setia.
Kini, aku dan Pak Hanif tengah melaksanakan sarapan bersama. Kami memang memperlakukan satu sama lain seperti pasangan suami istri lainnya, kami sama-sama bersikap baik, dan ia selalu menjadi Imam sholat tahajudku. Namun, kami tidak seperti pasangan lain karena Pak Hanif tidak tidur satu ranjang denganku, sofa menjadi tempat terbaiknya untuk tidur.
Pernah suatu malam, saat pertama kali pindah ke rumah ini, aku mencoba menerima Pak Hanif untuk tidur satu kasur denganku, dan hasilnya kami berdua tidak bisa tidur. Dan, ia memutuskan untuk tidur di sofa.
"Ra, saya gapapa kok kalau tiap malam harus tidur di sofa." Ujarnya, ketika suatu malam aku mencemaskannya, malam itu hujan turun dengan deras, Pak Hanif pulang dengan baju yang basah.
Tidak salahkan jika aku sebagai istrinya merasa cemas?
"Tadi ada seorang Kakek-Kakek yang kecelakaan, saya bawa dia ke rumah sakit dan saya mengantarnya pulang. Jarak antara tempat saya memarkirkan mobil dan rumah Kakek itu agak jauh, saat itu hujan, dan saya ingin cepat-cepat pulang." Jelasnya, meski aku belum sempat bertanya mengenai bajunya basah.
Aku tidak berani menanyakan alasan mengapa ia ingin cepat-cepat pulang. Namun, yang aku ketahui Abi pernah melakukan hal itu terhadap Umi.
Saat itu, Abi tengah sibuk-sibuknya mengurus pekerjaan kantor dan melalui sambungan telpon Umi pernah berkata bahwa semuanya tidak boleh terlalu di paksakan, jika lelah istirahatlah, jangan berlebihan dalam segala sesuatu, karena semuanya harus seimbang.
Sorenya, Abi pulang, ia mengatakan bahwa ia melewatkan meeting penting hari ini. Namun, tidak ada yang lebih berharga dari pada keluarga. Saat itu, Abi juga mengerti jika Umi membutuhkan Abi di sampingnya.
"Ra." Aku yang tengah asyik dalam lamunanku, tiba-tiba di kejutan dengan suara Pak Hanif, ia menatapku, makanan di piringnya telah habis seluruhnya, hal itu berbanding terbalik dengan makanan di piringku yang belum sama sekali aku makan.
"Kamu ngelamun?" Tanyanya, sontak aku menggeleng pelan, namun seperti tahu apa yang tengah aku pikirkan lelaki itu menghembuskan napasnya pelan, menatapku. "Ada sesuatu yang kamu rahasiain dari saya?"
Aku tahu jika berbohong itu tidak boleh karena akan melahirkan kebohongan lainnya. Namun, entah mengapa untuk kali ini saja aku ingin egois, untuk mempertahankan pernikahanku, meski tak tahu sampai kapan. Karena, yang aku rasakan adalah kami berdua hanya menunggu waktu itu, terjadi.
Sebuah perpisahan.
Yang, menyakiti banyak orang.
"Enggak ada kok."
Pak Hanif melirik kearah jam tangan yang tengah ia pakai, kembali menghembuskan napas.
"Ra, hari ini saya mungkin akan pulang malem. Ada meeting dan ada kelas di kampus, kalau kamu mau kemana-mana kamu harus izin dulu ke saya ya? Jangan buat saya khawatir ya?"
Aku tahu maksud Pak Hanif itu, rumah memang tempat ternyaman untuk pulang, dan ia mengkhawatirkanku. Mungkin, semua lelaki yang bekerja hingga larut malam juga merasakan apa yang Pak Hanif rasakan.
"Siap Pak." Aku memberikan hormat kepada Pak Hanif, persis seperti seorang murid yang tengah mengikuti ucapara, Pak Hanif terkekeh pelan, tanganya terulur untuk mengusap lembut kepalaku yang di lapisin kerudung berwarna navy.
"Kamu ini, memangnya saya Guru kamu!?" Ia memprotes, dalam arti yang tidak sebenarnya.
"Bapakkan Dosen juga, jadi aku harus hormat sama Bapak." Aku menjawabnya dengan polos, tidak pernah dalam seminggu ini aku merasa bahwa Pak Hanif adalah suamiku.
Dan harusnya pikiran-pikiran jelekku itu aku singkirkan. Kala, kenyataan membuatku mengerti bahwasalnya akulah yang menjadi masalah.
Akulah yang belum bisa menerima Pak Hanif sebagai suamiku.
Akulah yang pengecut dan bersikap egois, karena tidak mau kehilangan Pak Hanif.
Karena tak siap menerima kenyataaan.
Sehari setelah pernikahanku dengan Pak Hanif, ia meminta nomor handphoneku dan saat itu aku bingung, karena sebelumnya Pak Hanif telah memiliki nomor ku, namun usut punya usut ternyata handphonenya hilang, itu artinya pesan yang berisi sebuah pengakuan yang aku tulis dengan keberanian itu tidak pernah benar-benar sampai kepadanya.
Memang aku merasa tidak pantas untuk menjadi pelengkap imam Pak Hanif, namun tidak salahkan jika aku ingin sebuah pernikahan yang dilakukan satu kali seumur hidup?
Bukankah, prinsip itu selalu menjadi impian semua orang?
Namun, banyak dari mereka yang keliru, yang menjadikan cinta menjadi landasan sebuah pernikahan. Padahal, rasa cinta bisa saja akan hilang kapan saja, di luar sana ada banyak cobaan yang menunggu, tinggal bagaimana cara kita menghadapinya.
Akankah melibatkan rasa cinta itu ? Atau melibatkan Allah? Sang maha pencipta, yang menciptakan alam semesta, yang menciptakan rasa cinta.
"Ra, saya berangkat sekarang ya, kamu jangan ngelamun terus, Assalamualaikum." Ia menyodorkan tangannya dan aku mencium tangannya.
"Walaikumsalam." Baru saja Pak Hanif melangkah beberapa langkah, namun tiba-tiba ia kembali. "Oh ya Ra, kalau ada apa-apa jangan sungkan hubungin saya." Aku mengangguk, ia mengatakan hal itu karena kejadian beberapa hari yang lalu. Saat itu, aku tidak bisa memasangkan tabung gas, dan aku tidak berani untuk menyuruh Pak Hanif memasangkannya, saat itu ia bangun lebih siang, badannya pasti sangat lelah dan aku tidak tega menganggunya. Alhasil, aku dan Pak Hanif tidak sarapan.
Mungkin untuk sebagaian orang hal itu adalah hal sepele yang tidak perlu di cemaskan. Namun, Pak Hanif begitu mencemaskanku, entah tahu dari mana ia tentang penyakit maghku.
"Siap Kapten." Ujarku, sering kali aku menyebutkan namanya dengan sebutan 'Kapten' karena seorang suami sejatinya adalah sopir. Sopir yang akan menentukan kita, apakah akan menuju ridhonya atau sebaliknya.
"Saya benar-benar pamit sekarang Ra. Assalamualaikum."
Aku terkekeh pelan dengan ucapannya, terkadang Pak Hanif akan menjadi orang sereceh ini jika moodnya tengah baik. Namun, jika moodnya tengah buruk ia akan berubah menjadi orang yang berlebihan, jangankan untuk becanda, ku paksa untuk tersenyumpun ia enggan.
"Walaikumsalam, Fii Amanilah." Aku mengatakan hal itu dengan suara yang kecil, setelah itu aku mencoba untuk menghabiskan sarapanku, sebenernya semenjak subuh tadi, aku tidak enak badan. Dan, hanya beberapa suapan nasi masuk ke dalam tubuhku, responnya adalah mual dan aku segera berlari kearah wastafel untuk memuntahkan semua isi perutku.
Rasanya kepalaku berat dan tubuhku sangat lemas.
Ini semua salahku,
Kemarin, tanpa di ketahui Pak Hanif aku pergi ke makam Abi, Umi dan anakku. Karena takut Pak Hanif lebih dahulu pulang ke rumah, akhirnya aku memutuskan untuk pulang hujan-hujanan.
"Zafira apa yang terjadi?" Suara berat yang berasal dari belakang tubuhku ini membuatku mau tidak mau menoleh kearahnya, tangannya mengengam sebuah handphone dan harusnya aku tahu jika kebiasaan Pak Hanif adalah melupakan handphone tiap hendak ke kantor.
"Zafira kamu sakit?"
------
Bersambung
26 Oktober 2019
Wiwit Widianti
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Imamku (IS 1) ✔
SpiritualImam Series 1. Dear Imamku 2. Tentang Pencarian 3. Gagal Pisah Pernikahan dalam kamus hidup Zafira adalah salah satu hal yang menakutkan. Trauma di masa lalu serta merta membuatnya diambang kegelisahan, ketika seorang pria bernama Hanif mengunjungi...