Tiga Puluh Lima : Keponakan Yang Lucu?

2.7K 139 4
                                    

"Oh ya serius?"

"Serius Ra. Gue bener-bener minta maaf karena selama ini udah nyalahin lo atas kematian Abi dan Umi. Gue cuman butuh waktu buat nerima ini semua, ini kayak goncangan hebat buat diri gue. Gue ngelupain fakta bahwa ini adalah takdir yang udah Allah tulisin buat mereka, sekali lagi-"

"Aku nggak mau denger permintaan maaf Bang Jafar lagi. Aku tahu perasaan Bang Jafar, kita sama-sama terpukul dan, kalau Bang Jafar bener-bener pengen aku maafin, Bang Jafar harus pulang. Zarifa kangen, pengen peluk Bang Jafar." Terdengar kekehan pelan di ujung sana. Dan ternyata suara Bang Jafat saja yang terdengar, melainkan lebih dari satu orang.

Bang Gafar!

"Jadi, sama aku nggak kangen?!"

"Bang Gafar! Yaampun, udah lama banget Zafira nggak telpon kalian. Zafira kangen banget sama kalian, sini peluk dari jauh. Gimana keadaan kalian berdua?"

"Alhamdulilah kita berdua baik-baik aja. Kamu nggak seharusnya cemasin kita berdua, karena kita udah dewasa. Sebaliknya, kami yang harus cemasin kamu."

"Iya deh orang dewasa. Tapi, Zafira di sini gapapa kok, kan ada Pak Hanif yang selalu siap sedia buat ada di samping Zafira."

"Bucin, bucin, bucin." Itu suara Bang Jafar. Aku terkekeh pelan.

"Abang, abang, abang. Zafira kangen banget buat manggil nama Abang sebanyak 3 kali dan kangen juga denger kata-kata bijak Bang Gafar. Kalian kapan pulang sih?"

"Hmm, mungkin tahun depan."

"Hah?"

"Jadi, lebaran tahun ini kalian nggak akan pulang?"

"Sorry."

"Zafira pasti bakal sedih banget karena lebaran ini nggak bareng kalian berdua, Abi dan Umi-"

"Kan, ada saya, Mama dan Papa Ra. Jadi, kamu nggak akan kesepian." Entah datangnya dari mana, tiba-tiba sebuah tangan kekar memeluk perutku dan Pak Hanif juga mencium pipiku. Sejenak, tiba-tiba saja aku merasa banyak kupu-kupu berterbangan dalam perutku.

"Yaampun, iri banget gue sama kalian berdua!" Suara Bang Jafar itu di penuhi oleh gelak tawa.

Suara ketukan pintu membuat Pak Hanif melepaskan pelukannya. Ia hendak membuka pintu, namun aku menahannya.

"Biar Zafira yang buka." Ujarku, seraya menitipkan handphone yang masih terhubung dengan Bang Gafar dan Jafar.

Aku berlari-lari kecil, agar sampai lebih cepat, dan segera memutar kenop pintu. Pemandangan pertama yang aku lihat adalah wajah kedua Abangku yang tersenyum lebar. Aku hampir tidak percaya bahwa ini benar-benar terjadi, hingga mereka membawaku dalam pelukannya dan kami berpelukan ala teletabis.

"Aaa... Jadi kalian ngerjain Zafira? Katanya mau pulang tahun depan?!"

"Haha, sorry Ra. Kita nggak ada maksud buat bikin lo sedih. Ini kejutan tahu, lo harusnya seneng!"

"Ya, kalian sukses bikin Zafira hampir jantungan."

Sebuah deheman membuat pelukan kami terlepas. Kami bertiga berjajar di depan pintu rumah--layaknya seorang murid yang ketahuan bolos oleh Gurunya.

"Kenapa kalian nggak masuk? Ayo masuk, kita makan malam bareng!" Ajak Pak Hanif penuh semangat, kami bertiga langsung masuk dan mengangguk patuh, detik berikutnya Pak Hanif dan Bang Gafar sudah terlibat dengan obrolan yang serius--hal itu bisa di lihat dari wajah mereka yang beberapa kali mengeryit, mengangguk dan mengeleng. Sedangkan, Bang Jafar--yang biasanya banyak tingkah itu, mengekorku dari belakang. Kami memasukki dapur rumahku. Kebetulan sekali, aku telah masak. Dan, tinggal menghangatkan makanan untuk makan malam.

Bang Jafar duduk di sebuah kursi yang letaknya paling dekat dengan keberadaanku di depan kompor.

Hening selama beberapa menit, hanya suara wajan yang terdengar. Kami sama-sama diam, hingga akhirnya terdengar suara Bang Jafar.

"Sorry ya Ra."

Aku segera membalikkan badan dan menatap Bang Jafar. "Zafira kan udah bilang bakal maafin Abang, asalkan Abang pulang. Hari ini, Abang pulang dan bener-bener ada di hadapan Zafira. Zafira nggak punya alasan buat nggak maafin Abang."

"Lo selalu kayak gitu ya Ra. Nggak peduli kalau rasa sakit itu pernah lo dapetin. Nggak peduli kalau dulu perlakuan gue itu jahat banget sama lo. Tapi, lo selalu maafin semua orang yang pernah bikin hati lo sakit."

"Bang. Coba Abang pikir, apakah Abi dan Umi bakalan seneng kalau anak-anaknya nggak pada akur? Lagian, di banding rasa sakit yang Abang kasih buat Zafira. Abang udah banyak berbuat baik sama Zafira, nggak kehitungan kebaikan Abang sama Zafira, termasuk nyelamatin Zafira waktu Zafira hampir bunuh-"

"Ra, gue nggak mau bahas itu lagi-"

"Yaudah berarti Abang juga nggak usah minta maaf lagi dan jangan bahas itu lagi. Kita itu hidup di masa depan, nggak akan kembali ke masa lalu,"

Hening sejenak.

Aku memindahkan makanan dalam wajah keatas piring. Makanan siap.

"Aku mau panggil Pak Hanif sama Bang Jafar dulu ya. Kayaknya kalau kita nunggu mereka selesaingobrol bakalan lama. Pak Hanif sama Bang Gafar tuh satu kepribadian. Mereka sama-sama terlibat obrolan serius. Jadi, Zafira wajib ngerecokkin mereka berdua."

Bang Jafar terkekeh pelan. "Kewajiban macam apa itu Ra?"

Aku mengangkat bahu.

"Eh, tunggu."

"Ya?"

Sejenak, Bang Jafar mengamati wajahku, kemudian tersenyum jahil.

"Kenapa pipi lo, makin hari makin gede aja sih? Jangan-jangan lo hamil ya?"

Aku menyentuh perutku yang masih rata, kemudian mengeleng dan tersenyum kecil.

"Enggak. Zafira belum hamil."

"Hmm, atau jangan-jangan kalian-"

"Stop, stop Zafira nggak mau denger!" maka sebelum semuanya bertambah rumit--di mana Bang Jafar akan mengejekku habis-habisan, aku lebih dulu untuk kabur meninggalkannya.

***

Makan malam ini rasanya spesial. Apalagi, aku bisa melihat tawa kedua Abangku. Tertawa adalah hal yang wajib Bang Jafar lakukan, apapun yang terjadi. Berbanding, terbalik dengan Bang Gafar yang sangat jarang tertawa. Namun, malam ini adalah sebuah keajaiban ketika aku bisa melihatnya tertawa lebih dari 3 kali.

"Besok kita harus otw ke Malaysia lagi." Kalimat Bang Jafar itu, benar-benar membuatku hancur. Hei, belum sehari mereka datang kesini. Kenapa harus pulang cepet-cepet sih? "Bulan depan ujian. Gue nggak mau dapet nilai pas-passan, gue harus fokus belajar."

"Tapi-"

"Ucapan Jafar bener Ra. Mereka emang harus fokus belajar karena udah di akhir semester." Ucap Pak Hanif.

Aku menghela napas berat. "Iya deh Pak Dosen."

"Nah, gitu dong." Pak Hanif menepuk pucuk kepalaku pelan.

"Tapi, kalian berdua nggak mau nginep di sini aja? Masih ada kamar kosong kok di rumah ini."

"Enggak Ra. Kami rindu sama rumah kami. Hmm, kami juga mau bersih-bersih rumah itu."

"Kalau gitu, Zafira ikut."

"Nggak. Lo fokus aja buat ngasih kita keponakkan yang lucu." Ucapan Bang Jafar itu benar-benar membuatku terdiam. Ah, aku rasa pipiku mulai memanas sekarang. Aku menatap kearah Pak Hanif yang hanya tersenyum jahil, seketika aku bergidik ngeri.

"Yaudah. Sana pergi sana." Aku mendorong tubuh mereka kuat, meski dorongan itu tak berefek besar.

"Pak Hanif kami berdua pamit. Assalamualaikum." Sebelum pergi,  Bang Gafar menepuk puncuk kepalaku terlebih dulu--persis seperti apa yang Pak Hanif lakukan tadi.

Setelah mobil yang mereka kendarai menghilang dari penglihatanku, Pak Hanif meringai kearahku. "Apa mereka berdua beneran pengen punya keponakan yang lucu?" Gumamnya, reflek aku mengetok kepalanya dan segera masuk ke dalam rumah.

Kamis, 28 Mei 2020
Bersambung...
Wiwit Widianti

Dear Imamku (IS 1) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang