"Ra."
"Ya?" aku menoleh kearah Pak Hanif yang memanggil namaku. Kami tengah berada di ruang kerja Pak Hanif. Pak Hanif memutuskan untuk tidak berangkat ke kantor--entah dengan alasan apa--yang pasti aku tidak diberi tahu alasannya. Aku duduk di sebuah kursi yang otomatis berhadapan dengan Pak Hanif. Sedangkan, Pak Hanif sibuk menatap laptop, seraya beberapa kali menghela napasnya.
Pak Hanif menatapku, kemudian menutup laptopnya. "Kamu udah banyak cerita tentang diri kamu." Ia menjeda ucapannya. Aku menutup dan menyimpan buku yang tengah aku baca, siap mendengarkan apa yang akan Pak Hanif katakan. "Saya pengen jujur sama kamu."
"Jujur?"
"Ya."
"Tentang?"
Ada sebuah keraguan yang terpancar di wajah Pak Hanif. Meski begitu, ia tetap melanjutkan ucapannya.
"Saya ingin memperbaiki semuanya Ra. Maka, hal pertama yang harus saya lakukan adalah jujur sama kamu." Ia menjeda ucapannya. "Tentang seorang perempuan yang pernah saya temui."
***
Lorong rumah sakit yang panjang itu begitu hening. Aku tidak bisa membayangkan jika--aku berada di sini ketika malam--terlebih jika sendiri. Pasti suasananya akan menyeramkan sekali. Tetapi kini, ketika aku takut untuk sendiri, hari ini di sampingku, seorang pria berdiri dan siap untuk melindungiku akan ketakutan-ketakutan itu. Sejenak, aku menoleh kearah tangan kami yang saling bertautan, hingga tanpa terasa kami sudah berada di depan pintu sebuah ruangan VVIP.
"Kamu gapapa kan?" tanya Pak Hanif, aku tersenyum dan mengangguk, siap untuk melangkah masuk. Aku masih ingat bagaimana wajah takut Pak Hanif tadi, ketika ia mengatakan hal ini.
"Perempuan?" tanyaku. Sebenarnya, aku tidak bisa menebak arah pembicaraan Pak Hanif. Maka, yang aku lakukan adalah menunggu, hingga akhirnya Pak Hanif mengatakan apa yang mengganjal sehingga membuat wajahnya takut bercampur resah seperti ini.
"Hmm, kamu jangan salah sangka dulu, saya bakal jelasin ini pelan-pelan."
Aku mengangguk pelan.
"Jadi, gini. Nama perempuan itu adalah Amelia. Dia udah kayak Adik buat saya, belakangan saya tahu kalau di jatuh cinta sama saya." Pak Hanif menjeda ucapannya. "Kalau di pikir-pikir ini lebih mirip sinetron," kemudian, ia menjeda ucapannya. "Setelah saya menikah sama kamu, dia sempet beberapa kali ngelakuin percobaan bunuh diri, tapi selalu gagal. Sekarang dia ada di rumah sakit, proses pemulihan. Saya sempet beberapa kali ketemu sama dia, tapi dia ngancam kalau misalnya saya masih mempertahakan hubungan ini sama kamu, maka saya akan melihat dia nggak bernyawa lagi. Tapi, sungguh Ra, saya nggak mau pisah sama kamu, saya pengen hidup menua sama kamu, saya pengen kita memperbaiki apa yang selama ini keliru. Tapi, saya-"
Ucapan Pak Hanif terhenti seketika. Dan, aku masih menunggu kelanjutannya. "Saya nggak mau juga kehilangan orang yang udah saya anggap sebagai Adik saya."
"Ini beneran kayak sinetron sih." Aku terkekeh pelan. Namun, Pak Hanif hanya menatapku dengan tatapan penuh pertanyaan.
"Kamu nggak marahkan?" tanyanya.
Aku mengelengkan kepala pelan. "Ini masalah kecil. Bisa kita selesaiin dengan kepala dingin."
"Ra, ini-"
"Orang yang mencintai kita nggak seharusnya ngebiarin kita dalam keegoisannya. Mau nggak mau, dia harus siap menanggung risiko karena jatuh cinta. Dan, mengenai percobaan bunuh diri itu, Zafira nggak akan ngomong panjang lebar, tapi dia harus tahu kalau hidup itu cuman sekali, sayang kalau kita sia-siain." Aku menatap mata Pak Hanif yang nampaknya tidak berkedip untuk mendengar penjelasanku.
"Tapi, Ra-"
"Ayo kita ke Rumah sakit sekarang."
Dan, kalimat penutup itu membawaku berada di sini, hendak saja aku memutar kenop pintu untuk kemudian masuk ke dalam ruangan itu, tiba-tiba tangan Pak Hanif menahanku. Ia menyimpan satu jarinya di depan bibir, membuatku diam.
Tampaknya, Pak Hanif mendengar suara dalam ruangan ini, aku menajamkan telinga.
"Haha, lo kira gue mau bunuh diri beneran?" suara perempuan itu terdengar keras sekali. Aku dan Pak Hanif yang mendengar hal tersebut langsung saling berpandangan.
"Ya, gue kira ini bukan Amelia yang gue kenal loh. Tentu lo nggak akan nyia-nyiain hidup hanya gara-gara cinta. Secarakan-"
"Gue cuman suka sama lo."
"Yap. Tepat seperti dugaan gue. Tapi, kenapa lo ngelakuin semua ini? Hmm, gue masih mampu ya biayain semua hidup kita, beli rumah mewah, jalan-jalan ke luar negri dan masih banyak lagi. Kenapa, lo harus ngincar cowok yang udah punya istri sih Mel? Come on, lo cantik. Kita sama-sama cinta, kita nikah dan bangun keluarga kecil. Masalahnya kan selesai, kenapa lo harus repot-repot ngelakuin ini?"
Terdengar helaan napas dari si perempuan. "Buat hancurin perusahaannya."
"Maksudnya?"
"Perusahaan Bokap gue kan saingan sama Bokapnya Hanif, ya gue pikir gue bakal berhasil ngehancurin perusahaannya dengan menghancurin Hanif terlebih dahulu. Dia pernah bilang, kalau dia sayang banget sama istrinya. Hanif adalah sasaran empuk-"
"Jadi itu alasannya? Selama ini kamu cuman pura-pura?" Tiba-tiba Pak Hanif memutar kenop pintu, masuk dan berteriak kearah Amelia dan seorang pria yang tengah berada di samping Amelia. Aku bisa melihat rahang Pak Hanif yang mengeras. "Aku kira kamu perempuan baik-baik Mel. Tapi, kenapa kamu ngelakuin itu?"
"Hanif, aku bisa jelasin-"
"Semuanya udah jelas! Nggak ada yang perlu kamu jelasin lagi."
"Tapi,-"
"Pendengaran aku nggak bermasalah, dan aku bisa dengar semuanya. Kadang, kejujuran itu bisa di dapetin saat kita nggak ada di sampingnya. Kita nggak ada hubungan apa-apa lagi dan jangan pernah hubungin aku lagi karena aku udah nggak mau lagi liat wajah kamu!"
Tanpa mengatakan apapun lagi, Pak Hanif menarik tanganku untuk pergi. Langkahnya terlampau kencang dan besar, sehingga membuatku tidak bisa mengimbanginya, hingga akhirnya aku terjatuh dan rasanya lututku terasa sakit.
Pak Hanif menoleh dan segera membantuku berdiri, wajah penuh emosi yang beberapa detik yang lalu ada, hilang tergantikan oleh wajah khawatir--yang menyurutku terlalu berlebihan.
Hei, aku hanya jatuh saja. Selebihnya, tak apa-apa. Jadi, Pak Hanif tak perlu mencemaskanku seperti itu.
"Maaf."
"Enggak. Pak Hanif nggak perlu minta maaf, Zafira-"
"Enggak saya yang salah." Ujarnya. "Mana yang sakit, ada yang berdarah? Perlu kita obatin dulu sebelum pulang."
"Zafira gapapa."
"Ra-"
"Serius gapapa." Aku menjeda ucapanku. "Hmm, tadinya Zafira pikir, Zafira bakal nyemangatin dia." Aku terkekeh pelan. Air muka Pak Hanif sudah lebih baik sekarang. Ia tersenyum simpul.
"Tapi, yang harus dapetin sekarang adalah kejujuran. Saya nggak pernah berpikir sejauh itu mengenai Amelia."
"Zafira ngerti perasaan Pak Hanif."
Pak Hanif mengusap kepalaku pelan. "Sekarang kita mau kemana?" tanyanya.
Giliran aku yang sekarang tersenyum simpul. "Masih ada satu hal yang harus Zafira lakuin. Pokoknya, Zafira harus buktiin kalau Zafira itu pantes buat Pak Hanif." Aku menepuk bahu Pak Hanif pelan dengan mengabaikan wajah bingungnya.
Rabu, 27 Mei 2020
Bersambung...
Wiwit Widianti

KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Imamku (IS 1) ✔
EspiritualImam Series 1. Dear Imamku 2. Tentang Pencarian 3. Gagal Pisah Pernikahan dalam kamus hidup Zafira adalah salah satu hal yang menakutkan. Trauma di masa lalu serta merta membuatnya diambang kegelisahan, ketika seorang pria bernama Hanif mengunjungi...