Tiga Puluh Tujuh : Memilih Pergi

2.8K 155 10
                                    

Aku tidak tahu bagaimana kalutnya perasaan Pak Hanif hari ini. Tapi, hari ini ia benar-benar membuat sebuah keputusan terbesar dalam hidupnya. Aku menoleh kearah Pak Hanif yang tengah mengepak baju-bajunya ke dalam koper.

Hatiku bertanya-tanya. Apakah ini tidak terlalu keterlaluan? Tapi, sayangnya tidak pernah ada jawaban yang tersedia untuk menjawabnya.

"Pak Hanif yakin-"

Sebelum aku selesai mengucapkan peetanyaanku. Pak Hanif terlebih dahulu memotongnya. "Yakin."

"Tapi-"

"Seorang istri harus menuruti semua perintah suaminya." Ini adalah pertama kalinya aku mendengar perkataan Pak Hanif yang bernada bossy.

"Pak Hanif benar. Aku memang harus menuruti semua perintah Pak Hanif karena sekarang surga Zafira ada di Pak Hanif. Tapi, surga Pak Hanif ada di Mama. Jangan cuman gara-gara itu Pak Hanif-"

"Mereka bukan orangtua kandung saya Ra. Wajar kalau saya begitu marah akan penilaian mereka terhadap kamu. Mereka nggak tahu kamu yang sesungguhnya dan cerita yang sebenarnya." Pak Hanif menjeda ucapannya. "Dan lagi, saya akan berusaha keras membuat hati kamu baik-baik saja. Kamu nggak akan pernah mendengar kata-kata menyakitkan itu lagi."

"Tapi-"

"Setengah dari biaya rumah ini dari Mama dan Papa. Saya nggak mau kamu di pandang hanya menginginkan harta saya aja. Makannya rasa merasa perlu meninggalkan semuanya."

"Mama dan Papa Pak Hanif kan udah ngurus Pak Hanif dari kecil sampe sekarang. Mungkin, sekarang mereka udah anggap Pak Hanif sebagai anak kandungnya sendiri, jadi Zarifa mohon-"

"Ra. Mereka ngelakuin hal itu karena mereka adalah orang yang udah buat kedua orangtua saya meninggal." Pak Hanif memegang bahuku. Aku harap aku salah dengar, namun air mata yang Pak Hanif tampakkan itu benar-benar membuat harapanku sirna. "Saya pernah ngedenger hal ini di bahas. Mereka bersikap biasa-biasa saja seolah nggak ada yang terjadi. Mereka memanjakan saya dengan hartanya. Sampai kapan mereka nggak bisa jujur Ra? Sampai kapan."

Pak Hanif selalu membawaku kedalam pelukannya di saat aku menangis, bersedih. Ia selalu menyediakan tempat ternyaman bagiku, tempat berbagi yang selalu sukses membuat hatiku membaik. Maka, yang aku lakukan sekarang adalah mengikuti caranya, membawa ia kedalam pelukannya dan mengusap pungungnya. Bahuku terasa basah karena air matanya. Ini adalah sisi terlemah Pak Hanif yang tidak pernah ia tampakkan di depanku. Hari ini, setelah tahu sisi rapuh itu, aku akan berusaha untuk menjaga. Menjaga hatinya sama seperti apa yang telah ia lakukan untukku.

Baiklah, kupikir Pak Hanif hanya butuh waktu untuk menerima semuanya. Maka, aku setuju dengan keputusan Pak Hanif yang satu itu. Setelah itu, ia menelpon seseorang dan mengatakan bahwa ia mengundurkan diri dari jabatannya di perusahaan, kami berjalan beriringan menuju keluar rumah. Rumah ini mempunyai banyak kenangan bagiku dan Pak Hanif. Aku menatap rumah itu ketika sampai di halaman rumah. Pak Hanif, juga tak membawa mobilnya, karena merasa bahwa mobil itu masih ada campur tangan kedua orangtuanya.

"Sekarang kita mau kemana?" tanyaku. Hening selama beberapa menit, sebelum akhirnya Pak Hanif menjawab pelan.

"Kita cari kontrakan aja Ra. Mulai besok, saya akan cari kerja."

"Gimana kalau kita ke rumah Abi dan Umi aja? Rumah itu kan kosong, sayang kalau nggak di isi. Bang Gafar dan Jafar juga katanya udah pulang ke Malaysia tadi."

Pak Hanif mengelengkan kepalanya. "Saya malu kalau kita pulang kesana."

"Kita kan di sana hanya sementara waktu. Dari pada rumahnya kosong kelamaan jadi horor entar." Aku berkata meyakinkan, dan cukup puas ketika akhirnya Pak Hanif mengangguk.

***

Rumah ini begitu sederhana di bandingkan dengan rumah Mama dan Papanya Pak Hanif. Hanya ada halaman kecil di depannya, halaman yang sudah lama tidak terurus sehingga rumput di sana tumbuh liar dan panjang. Bahkan, bunga mawar yang pernah aku tanam dulu, kini sudah termakan rumput liar itu. Jika, tidak ada perbedaan antara merahnya bunga dan hijau daun, serta hijau rumput, mungkin aku akan berpikir bahwa semuanya penuh dengan rumput liar.

Pak Hanif membuka pintu rumah. Di dalam rumah keadaannya lebih baik. Bang Gafar dan Jafar nampaknya sudah bekerja keras untuk membersihkan rumah ini--karena semuanya serba bersih. Tidak ada debu yang aku lihat selama perjalanan menuju ke kamar.

Pak Hanif duduk di sudut kamar. Ia mengeluarkan sebuah flasdisk dan menyalakan laptopnya. "Ra, saya ikut print CV ya?" tanya. Aku mengangguk pelan.

"Lakuin semua yang Pak Hanif ingin. Jangan izin sama Zafira. Barang Zafira barang Pak Hanif juga." Pak Hanif hanya tersenyum kecil seraya kembali pada pekerjaannya.

"Zafira boleh izin ke warung depan? Mau belanja buat makan malam."

"Boleh sayang. Hati-hati ya." Aku mengangguk dan perjalanan dari rumah hingga warung aku isi dengan sebuah senyuman. Bagaimana manisnya Pak Hanif memanggilku 'sayang' kembali bergema di hatiku.

***

Setelah melaksanakan sholat ashar dan Pak Hanif baru saja pulang dari masjib. Secara tiba-tiba Pak Hanif mengajakku untuk memotong rumput di halaman depan rumah.

Aku mengiyakan saja, karena itu adalah hal pertama yang harus kami lakukan--agar rumah ini tidak terlihat menyeramkan setelah beberapa bulan di tinggalkan pemiliknya.

Aku merasa geli ketika Pak Hanif memegang gunting rumput itu. Biasanya yang aku lihat adalah Pak Hanif yang tampan dan rapih dengan baju formal, serta beberapa dokumen membosankan di depannya. Namun, kali ini rasanya benar-benar berbeda.

Hingga senja menyapa sore, barulah pekerjaan kami selesai. Pak Hanif tengah menunggu temannya--omong-omong ia akan membeli sebuah motor matic bekas dari temannya itu. Ya, aku kira Pak Hanif memang membutuhkan kendaraan untuk bekerja.

Makan malam berjalan dengan seru. Seru sekali sehingga kami berdua sempat tertawa-tawa bersama. Dalam kesederhanaan ini benar-benar memberikan waktu bersama yang lebih panjang dan diam-diam aku menyukai hal tersebut.

Telpon Pak Hanif sempat beberapa kali berdering, dan tanpa bertanya pun, aku bisa menduga siapa yang menghubunginya, namun ia memilih untuk diam.

***

Keesokkan harinya, ketika adzan dhuzur baru terdengar. Pak Hanif pulang dengan motor maticnya. Ia tersenyum dan langsung memeluk tubuhku ketika aku membuka pintu.

"Ra, saya udah dapet kerjaan." Ujarnya. Ya, aku tidak terlalu kaget karena mungkin orang akan menganggap Pak Hanif sebagai 'aset mahal' yang tidak bisa di sia-siakan. Pak Hanif memang begitu cerdas menjalankan bisnisnya. Namun, yang aku lihat dari lensa mataku adalah ketidaktahuan dan ketidak-percayaan diri bahwa ia benar-benar berpotensi.

30 Mei 2020
Bersambung..
Wiwit Widianti

Dear Imamku (IS 1) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang