Aku hanya diam, saat Pak Hanif menyelesaikan masalah kecelakaan itu dengan keluarga korban. Pria itu mengalami patah tulang kaki kiri dan harus menjalani operasi ringan. Keluarga korban yang pada awalnya menatapku dengan emosi dan marah, kini bisa bersikap lebih baik ketika Pak Hanif menyampaikan itikat baiknya untuk membiayai pengobatan dan siap untuk menanggung semua kebutuhan satu keluarga ini--karena bapak-bapak yang aku tabrak merupakan tulang pungung keluarga.
"Sekali lagi saya dan istri mohon maaf, kami tahu bahwa tidak ada satu pun orang yang menginginkan hal ini terjadi, tapi mungkin ini adalah takdir Allah, dan kita nggak bisa lolos darinya." Pak Hanif menjeda ucapannya, ia merangkul tubuh ringkihku. "Insyaallah saya akan sering berkunjung kesini, dan jangan sungkan untuk menelpon saya jika terjadi suatu."
Wanita yang memarahiku tadi menganggukan kepalanya pelan. Rasa marah dan emosi, sejatinya akan kalah jika di balas dengan kebaikan. Meski begitu, tetap saja rasa bersalah mengelayuti diriku.
Rasanya, aku ingin marah pada diriku sendiri yang tidak hati-hati dan bahkan hampir menghilangkan nyawa seseorang.
Nyawa seseorang. Aku jadi teringat Umi dan Abi.
"Saya pamit, Assalamualaikum."
Kami berjalan menelusuri lorong rumah sakit yang sudah mulai sepi. Kami menunggu sekitar 5 jam. Kami sempat mampir ke mushola rumah sakit untuk melaksanakan sholat Magrib dan Isya. Tak tahunya, wanita--yang merupakan istri dari pria yang aku tabrak juga berada di sana, bersama beberapa anggota keluarganya.
Mereka menatapku tajam, tetapi aku tetap melakukan sholat Magrib dengan khusyuk, hingga kemudian antara jeda waktu Magrib dan Isya mereka membicarakanku dari belakang--tepat dari belakang sehingga aku bisa mendengar apa yang mereka ucapkan.
"Perempuan itu adalah perempuan yang udah nabrak Bapak. Perempuan nggak tahu malu yang dari tadi diem, dia nggak ngucapin maaf, bisanya cuman sembunyi di pungung suaminya. Perempuan manja, yang biasanya cuman ngincar harta suaminya aja. Sayang banget lelaki itu dapetin perempuan kayak dia-"
Sayang banget lelaki itu dapetin perempuan kayak dia.
Aku tak lagi mendengar apa yang wanita itu katakan. Otakku mencerna kalimatnya, hatiku rasanya tersayat-sayat, rasanya aku ingin marah, rasanya aku ingin--
Astagfilulah.
Tidak. Tidak boleh ada kata itu lagi dalam diriku.
Aku sudah pernah mengalami fase terberat dalam hidupku. Cacian dan makian sudah biasa datang dan memporakporandakan kepercayaan diriku untuk tetap hidup. Maka, sekarang yang harus aku lakukan adalah berusaha menerima dan kuat. Sama seperti apa yang telah aku lakukan 3 tahun yang lalu.
"Eh, denger-denger sanksi mata bilang kalau dia bawa mobilnya ugal-ugalan. Emang dasar ya, orang kaya baru bisanya pamer doang-"
Baiklah, 3 tahun yang lalu aku pernah mengobrol panjang lebar dengan seorang Psikolog karena usaha bunuh diri yang aku lakukan--oke, aku tahu ini berlebihan--dan tak seharusnya aku melakukan ini semua.
Darinya, aku benar tentang iklas, menerima dengan lapang dan, come on kita harus move on dari masa lalu. Sekali pun, masa lalu itu terlampau sulit atau menyakitkan.
Jika, ada sesuatu yang di rasa berat dan aku tak mampu untuk menghadapinya. Maka, aku harus menunggu hingga berani dan merasa tak akan takut lagi.
Itu yang aku lakukan sekarang. Tak kuat lagi dengan ucapannya yang tak jauh dari pisau belati--yang sukses menusuk dadaku. Setengah berlari aku mencari toilet, dan di sana tangisku tumpah.
"Wajah kamu pucet." Aku menanggapi ucapan Pak Hanif dengan tersenyum kecil, kemudian menatap gengaman kuat di tanganku. Ia tak melepaskannya sedari tadi, sebuah peningkatan bagi hubungan kami.
"Aku gapapa."
Tiba-tiba, Pak Hanif menghentikan langkahnya, yang otomatis membuatku mengikutinya. Ia membalikkan tubuhku agar bisa berhadapan dengannya, memegang bahuku pelan, mengusap pipiku, hingga tanpa bisa kutahan air mataku lolos, detik berikutnya Pak Hanif segera mengusapnya.
"Kamu nggak perlu nangis kayak gini." Ujarnya. Rasa-rasanya aku terhipnotis oleh tatapan matanya yang lembut. Kelembuatan yang selama ini aku rindukan.
"Tapi, aku-"
"Enggak perlu nyalahin diri sendiri berlebihan kayak gitu. Nggak ada satupun orang yang pengen hal ini terjadi kan?" aku mengangguk pelan, menjawab pertanyaannya.
"Tapi Zafira takut.."
"Tapi saat kamu takut, saya akan berada di sisi kamu." Pak Hanif mencolek hidungku. Jika biasanya aku tidak suka dengan hal tersebut, maka kali ini aku begitu menyukainya. "Tapi yang lebih penting ada Allah."
Hening selama beberapa detik lamanya, detik yang terasa seperti menit, menit yang terasa seperti jam, jam yang bahkan terasa sepanjang hari. Kami saling bertatapan.
"Kelabu," gumamnya. Aku mengeryit karena tidak mengerti. "Kesedihan, rasa sesak, rasa sakit itu, sejatinya lebih baik kamu buang jauh-jauh."
"Apa itu artinya Pak Hanif nggak marah lagi sama Zafira?" tanyaku tiba-tiba. Pak Hanif melepaskan tangannya dari bahuku. "Pak Hanif.."
"Selama ini kamu berpikir bahwa saya marah sama kamu?" tanyanya. Ia mengangkat sebelah alisnya. Aku menganggukkan kepalaku pelan. "Saya nggak marah karena tahu masa lalu kamu Ra. Saya hanya-" Pak Hanif tak melanjutkan ucapannya. Ia mengenggam kedua tanganku.
"Pak-"
"Ada yang pengen saya obrolin ayo ikut."
***
Rooftop kantor Pak Hanif, yang tidak terlalu jauh dari Rumah sakit adalah tempat kami berada. Di sini hanya ada beberapa lampu 5 watt yang menjadi penerangan. Ada juga beberapa kursi panjang yang masih bisa di gunakan. Kami duduk di sana. Jam masih menujukkan pukul 21.00 WIB, dari ketinggian gedung ini, aku bisa melihat lalu-lalang kendara.
Angin yang berdesir membuatku beberapa kali mengosok-gosokan kedua tanganku sendiri. Tanpa di duga, Pak Hanif melepaskan jasnya dan menyampirkannya di bahuku, kemudian ia duduk di sampingku.
"Di sini dingin ya?" tanyanya, nampaknya ia juga melakukan hal yang sama denganku, yaitu : mengosokkan kedua tangan.
Aku hanya mengangguk pelan.
"Kamu nggak suka tempat ini?"
"Suka kok, tapi-"
"Tapi?"
"Kita harus ke tempat ini lagi waktu siang atau sore. Nggak malem kayak gini, serem."
Pak Hanif hanya terkekeh pelan mendegar keluhanku. Selama beberapa menit, mungkin kami sama-sama diam, menikmati desiran angin malam seperti ini, pandangan kami lurus ke depan, dan beberapa kali mendonggak keatas. Ada banyak bintang di langit. Tanpa bisa di cegah, aku tersenyum menatapnya. Sudut mataku bisa merasakan pandangan Pak Hanif berarah kearahku. Tapi, aku mengambaikannya.
"Kamu suka bintang?"
"Suka."
Hening kembali membungkus kami berdua. Hingga bosan mata ini menatap pemandangan di depanku, hingga lelah kepala ini di gunakan untuk mendonggak terus menerus.
Aku menatap kearah Pak Hanif. "Katanya, mau ada yang Bapak bilang sama Zafira. Terus kenapa sekarang diem aja?"
Pak Hanif berdeham pelan. "Saya pengen denger cerita kamu."
"Cerita?"
"Tentang bagaimana, kamu kehilangan salah satu hal terbesar dalam hidupmu."
Rabu, 20 Mei 2020
Bersambung....
Wiwit Widianti
![](https://img.wattpad.com/cover/202494376-288-k576787.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Imamku (IS 1) ✔
SpiritualImam Series 1. Dear Imamku 2. Tentang Pencarian 3. Gagal Pisah Pernikahan dalam kamus hidup Zafira adalah salah satu hal yang menakutkan. Trauma di masa lalu serta merta membuatnya diambang kegelisahan, ketika seorang pria bernama Hanif mengunjungi...