Dua bulan yang lalu.
Kelas 12 adalah saat-saat yang sangat sibuk untuk para pelajar, di mana mereka harus menyiapkan segala sesuatu untuk mendapatkan nilai terbaik.
Dalam seminggu biasanya aku Hafizah-sahabatku, melakukan belajar bersama selama 3-4 hari, hal itu sangat berguna karena kita bisa saling bertukar pendapat, saling menjelaskan ketika salah satu di antara kami tidak mengerti dengan latihan soal-soal ujian.
"Ra, kayaknya hari ini aku nggak bisa belajar bareng dulu deh, Mama ngajak aku ke rumah Nenek sore ini." Ujarnya, ketika bel pulang sekolah telah berbunyi, biasanya kami melakukan belajar bersama setelah pulang sekolah di perpustakaan sekolah.
Ketahuilah mendengar ucapan Hafidzah itu rasanya hatiku agak tidak terima, UN sudah berada di depan mata, satu minggu lagi dan aku harus menyiapkannya jauh-jauh hari.
"Oh iya."
"Gapapa kan Ra?"
"Gapapa yaudah aku duluan, Assalamualaikum."
"Walaikumsalam."
Jika bukan karena UN yang akan di laksanakan satu minggu lagi dan gangguan dari Bang Jafar, pasti aku tidak akan nekat untuk pergi ke perpustakaan sendirian, suasana sepi di dalam perpustakaan membuatku mau tidak mau harus mengedarkan pandangan, di ruangan sebesar ini aku akan berkutik dengan latihan soal dan yang paling penting adalah sendirian.
Penjaga perpustakaan Pak Jami yang biasanya selalu ada di mejanya kini tak terlihat, ia yang sudah tahu kebiasaanku dan Hafizah yang selalu berlajar bersama di sini, datang ke kelasku saat jam istirahat, keringat memenuhi keningnya, wajah yang tampak frustasi.
"Saya percayakan perpustaakaan ini kepada kalian berdua, Zafira dan Hafizah."
"Loh, emangnya Bapak mau kemana?"
"Istri dan anak saya kecelakaan, saya harus segera pergi, ini kunci perpustakaannya." Ujarnya seraya menyodorkan sebuah kunci, saat itu aku dan Hafizah saling berpandangan.
"Inalilahi, saya ikut berduka cita dan lagi saya dan Hafizah bisa belajar di tempat lain."
"Perpustakaan kita menyediakan buku yang lengkap, jangan hanya gara-gara saya nilai ujian kalian jadi jelek, ini kuncinya, saya pulang dulu Assalamualaikum."
Aku menghembuskan napas, bagaimanapun aku harus belajar dengan baik, meski sendiri dan meski bulu kudukku sedikit berdiri.
Untuk sedikit menghilangkan rasa takutku akhirnya aku memutuskan untuk memutal muhrotal di handphoneku, aku mulai fokus pada pelajaran dan benar-benar tenggelam di dalamnya.
Dua jam kemudian.
Aku memutuskan untuk melaksanakan sholat di musola sekolah, berjamaah dengan anak-anak yang mengikuti ektrakuliluler Jurnalis, beberapa orang tersenyum kearahku, aku membalas senyumnya meski tidak tahu nama mereka siapa, kebanyakan dari anak-anak itu adalah adik kelas dan wajar jika aku tidak mengenalnya.
Aku menyimpan mukena pada lemari yang di gunakan untuk menyimpan berbagai alat jenis alat sholat.
"Assalamualaikum Zafira." Aku menoleh dan pemandangan pertama yang aku lihat adalah sebuah senyuman yang Raffa berikan kepadaku, Raffa ia adalah adik kelasku, kita beda satu tahun.
"Walaikumsalam Raffa, ada apa?"
"Kenapa kelas dua belas masih ada di sekolah? Bukannya kelas dua belas udah nggak boleh ikut extrakuliluler ya?"
"Enggak ikut extrakulikuler kok, tadi udah belajar di perpustaan."
Raffa terlihat mengangkuk-angkukkan kepalanya. "Rajin bener."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Imamku (IS 1) ✔
SpiritüelImam Series 1. Dear Imamku 2. Tentang Pencarian 3. Gagal Pisah Pernikahan dalam kamus hidup Zafira adalah salah satu hal yang menakutkan. Trauma di masa lalu serta merta membuatnya diambang kegelisahan, ketika seorang pria bernama Hanif mengunjungi...