Rasa sakit, kecewa, menyesal memang tak akan pernah berakhir hanya dengan diam atau bahkan berlari dan bersembunyi. Setelah mengatakan semuanya pada Raka hatiku sedikit membaik--meski rasa sakit itu masih ada. Atau, bahkan tak akan pernah bisa di hapus.
"Makan yuk." Ajak Pak Hanif yang tengah menyetir di sampingku. Aku mengangguk. Mobil yang di kendarai Pak Hanif berhenti di salah satu cafe--dengan ramen terkenal di kota. Aku memandang Pak Hanif tak percaya, pria itu malah mengangkat salah satu alisnya, tersenyum, kemudian mengajakku untuk segera masuk.
"Tumben. Biasanya Pak Hanif suka larang-larang Zafira buat makan makanan yang pedes-pedes."
"Sekali-sekali nyenengin istri nggak akan buat dia sakit perutkan?"
Aku tersenyum kecil, kemudian melangkah terlebih dahulu.
Masa lalu--yang teramat berat dan sakit itu. Setidaknya, pada hari ini telah memberikanku banyak pelajaran. Pelajaran mengenai betapa hebatnya takdir Allah untukku. Betapa beruntungnya aku memiliki Pak Hanif--pria yang bisa menerimaku apa adanya--di saat aku memandang bahwa tak ada satupun orang yang akan bisa menerima kekurangku seperti ini.
Aku akan membuktikan kepada Mama Pak Hanif, jika aku layak mendampinginya. Aku, akan berjuang menjadi istri yang terbaik untuk Pak Hanif.
"Ramennya level berapa mbak?" Pelayan cafe tersebut bertanya, aku mendonggak.
"Level 3."
"Level 1." Ucapanku dan Pak Hanif yang berbarengan itu menimbulkan kerutan di kening pelayan.
"Level 3 Mbak."
"Enggak Ra. Level 1." Ujar Pak Hanif. Aku menghela napas berat sebelum akhirnya mengangguk.
"Oke. Level 1."
Kalian pernah mendengar istilah 'mengalah bukan berarti kalah?' Nah. Itu juga yang aku lakukan saat ini. Aku melakukan hal itu bukan semata-mata untuk menuruti perintah Pak Hanif. Pria itu tentu tahu bahwa aku punya perut yang sensitif. Tapi, hmm sebenarnya aku tidak mau merusak suasana hatiku--dengan bertengkar karena makanan.
Omong-omong tentang sakit perut. Rasa sakit perut aku biasa-biasa saja kok. Tidak parah-parah amat. Harusnya, Pak Hanif tak perlu terlalu mengkhawatirkanku. Tapi...yasudahlah, aku juga senang kok di perhatikan seperti itu.
Tak berselang lama, ramen pesanan kami datang. Aku langsung tersenyum lebar. Ah, rasa-rasanya perutku lapar sekali. Aku segera mengambil sendok dan bersiap untuk menyuapkan suapan pertama. Namun, deheman Pak Hanif membuatku mengurungkan hal itu.
Aku menatap kearah Pak Hanif yang malah tersenyum geli ketika melihat ekpresiku. Aku menyimpan sendokku, menghela napas, kemudian melotot kearah Pak Hanif.
"Kamu pasti lupa berdoa." Ia tersenyum penuh arti--senyuman yang membuatku meleleh. "Kalau kamu makan tanpa baca doa, kamu tahu apa itu artinya? Itu sama aja kayak kamu makan sama setan. Serem loh." Aku terkekeh pelan. Pak Hanif menceramahiku seolah aku ini anak kecil yang baru saja diajarkan doa makan.
"Kalau gitu. Ayo kita doa sama-sama." Setelah berdoa, barulah kami berdua menyantap ramen tersebut.
Di luar sana hujan turun dengan deras. Aku tersenyum kecil. Aku memang takut dengan hujan. Tapi, entah mengapa hujan kali ini membuatku merasa agak tenang.
"Makan Ra." Ujar Pak Hanif, ketika aku diam saja dan memilih untuk menatap hujan. Aku mengangguk kemudian melanjutkan makan.
Rabb. Terimakasih atas bahagia yang telah engkau berikan pada hamba. Terimakasih atas pria baik hati yang telah kau kirimkan untukku.
Aku hanya meminjamnya darimu--untuk menjadi temanku menuju jannahmu.
Rabb, engkau bisa kapan saja memisahkan kami berdua. Tetapi, sebelum itu terjadi, izinkan aku menjadi istri yang baik dulu terhadap dirinya. Karena, sungguh selama ini dia telah menjadi suami yang baik untukku.
***
Hanif Pov
Apakah ini perasaan saya saja atau Zafira benar-benar tengah merasa bahagia sskarang? Lihatlah. Ini adalah pemandangan yang langka--di mana ia senyum-senyum sendiri seperti itu--belum lagi pandangan matanya menuju kearah jendela. Ia seperti tengah menatap hujan.
Tapi, bukankah ia tak suka hujan? Dan takut kepada hujan? Lantas mengapa hari ini ia bersikap sebaliknya?
"Makan Ra." Ujar saya, ketika Zafira masih diam saja dan memilih untuk menatap hujan. Ia mengangguk kemudian melanjutkan makan.
Ini juga hal yang aneh. Zafira biasanya tak langsung menuruti permintaan saya. Ia biasanya selalu menyangkal. Pun, ketika saya menyarankannya untuk memesan ramen level 1. Biasanya, Zafira akan menolak dan berdebat habis-habisan karena tak mau. Maka, adalah suatu hal yang langka ketika Zafira dengan mudahnya mendengar perkataan saya.
Saya tersenyum kecil.
"Pak Hanif senyum-senyum sendiri. Ketahuan banget kalau lagi perhatiin Zafira." Perempuan itu tak mendonggak. Tak juga menatap saya. Tetapi, anehnya ia mengetahui jika saya tengah memperhatikannya.
Sejenak saya berdeham mengusir rasa malu.
"Rasanya lega banget ya." Ia bergumam. Sebelum saya bertanya maksud dari pernyataannya, perempuan itu lebih dulu menyambar. "Ketika masalah yang Zafira simpan bertahun-tahun di selesaiin. Zafira nggak nyangka kalau Zafira bisa ngelakuin ini sama Raka."
"Jadi, kamu senyum-senyum sendiri karena itu?" saya bertanya, sedetik kemudian menyuapkan ramen kedalam mulut saya.
"Enggak juga sih." Zafira mengelengkan kepalanya pelan. Setiap kali pandangan kami berdua bersatu, pasti pipi Zafira selalu berubah menjadi merah, diam-diam saya menyukai hal itu. "Tapi.." Ucapan Zafira mengantung di langit-langit cafe, ketika secara tiba-tiba suara petir terdengar begitu memekikkan telinga.
Suasana cafe mendadak hening. Saya mengerahkan pandangan, orang-orang yang tengah berada di cafe itu sama kagetnya dengan saya. Namun, ketika melihat tubuh Zafira yang bergetar, saya langsung bangkit dari duduk dan segera memeluk Zafira dari samping.
Ia meringis pelan. Setelah sedikit tenang, saya melepaskan pelukannya dan menyampirkan jaket yang tengah saya pakai. Saya tidak peduli jika saya akan kedinginan, yang penting Zafira tidak apa-apa. Saat itu, barulah saya tahu bahwa Zafira tidak takut hujan melainkan takut petir. Ia bisa saja berpikir jika hujan yang turun kebumi akan datang bersamaan dengan petir yang menakutkan. Padahal, tidak selamanya seperti itu.
Saya kembali duduk dan menatap Zafira. "Kamu gapapa?"
Zafira mengangguk, meski terlihat jelas bahwa wajahnya sedikit memucat.
"Kita pulang sekarang aja gimana?" ajak saya. Saya pikir Zafira butuh istirahat. Namun, perempuan itu mengelengkan kepalanya.
"Kita belum habisin makanannya. Nanti, makanan ini bakal nangis." Tadi, saya yang menceramahinya seperti anak kecil. Sekarang, giliran Zafira yang menceramahi saya seperti itu.
Saya tersenyum pelan, kemudian mengusap kepala Zafira pelan.
"Tapi, habis ini kita langsung pulang ya?"
"Kenapa cepet-cepet pulang? Emangnya di rumah ada apa? Cucian kotor?"
Saya tertawa mendengar ucapan Zafira. Detik berikutnya ia ikut tertawa. Saya senang dia baik-baik saja sekarang--meski hmm, sulit saya akui jika saya merasa kedinginan sekarang. Angin yang berhembus membuat kulit saya terasa membeku. Saya hanya bisa mengengam mangkuk ramen dengan kedua tangan saya--agar setidaknya dapat mengurangi rasa dingin. Tetapi Zafira, perempuan itu melepaskan jaket yang tadi saya sampirkan kepadanya. Tersenyum begitu manis.
"Kayaknya Pak Hanif lebih butuh dari pada Zafira."
Senin, 25 Mei 2020
Bersambung...
Wiwit Widianti

KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Imamku (IS 1) ✔
EspiritualImam Series 1. Dear Imamku 2. Tentang Pencarian 3. Gagal Pisah Pernikahan dalam kamus hidup Zafira adalah salah satu hal yang menakutkan. Trauma di masa lalu serta merta membuatnya diambang kegelisahan, ketika seorang pria bernama Hanif mengunjungi...