Dua Puluh Satu : Hal Kecil Yang Begitu Bermakna

3.2K 165 4
                                    

Aku tidak menahan diriku untuk tidak tersenyum, selepas sholat subuh, aku memaksa Pak Hanif untuk menemaniku melihat sunrise.

Terakhir bermain ke Bali adalah tahun lalu, ketika ulang tahun pernikahan Abi dan Umi. Tak ayal kembali ke tempat ini membuatku merindukan mereka semua.

Dulu, aku juga pernah ke tempat ini, duduk di salah satu kursi panjang bersama Bang Gafar, menatap sunrise dengan rasa syukur, dingin membuat dzikir menjadi penghangat.

"Ra, udah mau pagi." Ujar Pak Hanif ketika akhirnya ia merasa bosan sendiri, aku menghela napas, bukan karena alasan aku mengajaknya kesini, namun aku ingin lebih bersyukur dengan semuanya, dengan semesta alam yang Allah ciptakan dan dengan kehadiran Pak Hanif yang di takdirkan untukku.

"Sebentar lagi."

Ia menghela napasnya panjang. "Saya ada meeting pagi ini."

"Iya Zafira tahu kok."

"Saya harus siap-siap sekarang."

Aku kembali menghela napas. "Yaudah kalau gitu, Pak Hanif pergi aja, biar aku sendiri di sini."

"Yaudah saya duluan." Ia berdiri dari duduknya dan melangkah ke arah hotel, aku hanya bisa menatap punggungnya yang lama kelamaan mulai menghilang.

Aku pikir Pak Hanif akan tetap bertahan untuk menemaniku, namun dengan sikapnya sekarang, pikiranku itu hilang sudah.

***

"Kau harus menuruti semua perintahku!" Seorang perempuan dengan gamis hitam itu mengeleng kencang, di depannya sebuah pisau siap menghunus wajahnya kapanpun. "Kau harus menikah denganku!" Kembali sebuah gelengan kencang dan suara teriakan dengan nada ancaman terdengar memekikkan telinga.

"Kau harus menikah denganku atau nyawamu dan keluargamu akan aku habisi." Pria dengan jaket hitam itu menyeringai, ia mencengkram kuat dahunya, agar wanita itu bisa melihat kearahnya, namun usahanya sia-sia karena wanita itu tidak menatapnya.

"Tatap wajahku!" Ujarnya, karena tidak menuruti permintaannya akhirnya pria itu mengulangi ucapannya. "Tatap wajahku atau ku bunuh kau sekarang juga!"

Kesal karena tidak kunjung mengangkat wajahnya, akhirnya pria itu menyerah dan melepaskan cengkraman tangannya.

"Baiklah, jika kamu tidak menuruti perintahku dan tidak mau menikah denganku. Tapi, ada satu hal yang harus kau tahu bahwa dirimu sudah tidak suci lagi, tidak akan pernah ada lagi pria yang mau kepada wanita kotor sepertimu!"

***

"Pak Hanif." Aku menusuk pelan kedua pipi Pak Hanif dengan jari tanganku.

Adzan subuh sudah berkumandang beberapa menit yang lalu, tidak biasanya Pak Hanif kesiangan seperti ini, bahkan ia melewati sholat tahajud yang sudah menjadi kebiasaannya setiap malam.

"Pak Hanif bangun, sholat subuh dulu." Aku kembali memanggil namanya, namun sekarang gerakan tanganku tidak lagi menusuk kedua pipinya, melainkan menguncang-guncang tubuhnya, dan akhirnya usahaku berhasil, lelaki itu akhirnya terbangun dengan mata hitam.

"Pak Hanif udah begadang ya?" Aku bertanya, ia mengubah poisinya menjadi duduk, mengucek matanya.

"Jam berapa sekarang Ra?" Bukannya menjawab pertanyaanku, Pak Hanif malah bertanya tentang jam, sebelum menjawab pertanyaannya, aku menghela napas terlebih dahulu.

"Jam setengah lima."

"Kamu udah sholat subuh?"

"Udah."

"Kenapa nggak bangunin saya?"

Aku mengaruk kepalaku sendiri yang tidak gatal. "Kan ini Zafira lagi bangunin Pak Hanif."

Dear Imamku (IS 1) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang