Enam Belas : Yang pergi dengan rasa kecewanya

3.1K 155 0
                                    

Masih terlalu pagi untuk Pak Hanif pergi ke kantor, jam dinding di kamar masih menunjukkan pukul 5, ia melewatkan sarapannya, tidak seperti biasanya bahkan ia tak pamit kepadaku, namun yang membuatku yakin bahwa ia telah pergi ke kantor adalah suara mobil yang terdengar keluar dari halaman rumah.

Aku tahu, mungkin Pak Hanif merasa terbohongi olehku. Namun, mau bagaimana lagi?

Takdir seakan-akan berkonpirasi untuk mewujudkan pernikahanku dengan Pak Hanif.

Sungguh, tidak ada satupun orang yang bisa aku salahkan sekarang, semuanya seakan-akan berjalan sesuai takdir dan aku tidak bisa mencegah hal itu terjadi.

Namun, satu hal yang membuatku tidak bisa tidur tadi malam adalah bagaimana nasib pernikahanku dengan Pak Hanif?

Bukankah, jika Pak Hanif tidak menerima keadaanku yang sebenarnya maka ia akan memutuskan untuk pergi?

Mengapa kemarin malam ia seolah mengatakan bahwa ia tidak akan melepaskanku?

Apakah masih ada harapan untukku agar dapat memperjuangkan benih-benih cinta yang baru aku rasakan?

***

Jam dinding menunjukkan pukul 20.00 WIB, biasanya jam 4 sore pun Pak Hanif sudah berada di rumah, namun kali ini langit telah berubah warna, Pak Hanif sama sekali tidak memberikanku kabar dengan keterlambatan pulangnya.

Sekarang, wajarkan jika aku merasa cemas terhadapnya?

Baiklah, jangan berpikiran yang tidak-tidak tentang Pak Hanif, karena bagaimanapun ia adalah suamiku, orang terbaik yang telah Allah berikan untuk menjadi Imamku menuju Jannah.

Mungkin saja ia tengah sibuk dengan pekerjaaannya, mengingat selama dua hari kemarin ia tidak masuk kantor.

Anggapanku, itu hanya mengantung di udara sebelum akhirnya satu jam kemudian rasa cemas kembali mengerogoti hatiku, makan malam yang sudahku siapkan di meja makan, nampaknya telah mendingin. Hingga, akhirnya aku memutuskan untuk menghubungi Pak Hanif.

Beberapa detik setelah panggilan itu tersambung, Pak Hanif segera mengangkatnya.

"Assalamualaikum, Pak Hanif-"

"Saya nggak pulang hari ini." Satu kalimat yang ia katakan itu benar-benar membuat hatiku terasa hancur, aku menatap semua makanan spesial yang telah aku siapkan malam ini untuknya, rencananya aku ingin mengutarakan permohonan maaf, namun reaksi Pak Hanif benar-benar di luar dugaanku.

"Pak Hanif tidur di mana?" Aku bertanya pelan, sebisa mungkin aku menetralkan suara, kala setetes air mata menerobos jatuh.

Aku ini cengeng sekali.

Pak Hanif, memang tidak melakukan hal-hal yang membuatku sakit hati dan kecewa kepadanya. Hanya saja, sikapnya itu membuatku merasa gagal menjadi seorang istri yang sudah menjadi kewajibannya untuk membuat suami betah di rumah.

"Saya tidur di kantor."

"Di kantor nggak ada kasur, Bapak bisa sakit kalau tidur di sofa."

"Kamu pikir saya tidak merasa sakit karena beberapa bulan tidur di sofa? Tolong pikirkan itu Zafira."

Tut

Sambungan telpon itu di akhiri oleh sepihak, setelahnya aku hanya bisa mengucapkan istigfar dalam hati.

Bertambah lagi rasa bersalahku terhadapnya.

***

Aku membuka mataku ketika suara hujan dan angin begitu mengusik telingaku, aura dingin dan mencekam membuatku tidak berani beranjak dari tempat tidur.

Hujan deras selalu membuatku merasakan takut, teringat kala itu, Umi pernah menceritakan sebuah cerita yang bahkan otakku sendiri tak bisa kembali mengingatnya, walau semua bukti mengungkapkan bahwa aku benar-benar mengalami hal itu.

Umi dengan usapan penuh kehangatannya mengusap pelan kepadaku yang saat itu merasakan pusing yang amat luar biasa.

Di luar sana, hujan tengah turun dengan sangat deras, angin bertiup dengan sangat kencang dan dari sebuah kaca yang berada di kamarku, aku bisa melihat bahwa di luar sana, Abi, Bang Gafar dan Bang Jafar tengah main air, mereka berkejar-kejaran, seolah dingin tidak menusuk kulitnya, seolah angin tak membuatnya gentar.

"Kamu ingat sesuatu Ra?" Tanya Umi, aku mengeleng kencang, menepuk-nepuk kencang kepalaku yang lagi terasa pusing. "Umi akan menceritakan kamu sebuah kenyataan yang memimpa kamu, tapi kamu harus berjanji jika kamu tidak boleh menyakiti dirimu sendiri lagi?"

Dengan polos aku, mengangguk dan setuju dengan perjanjian Umi, tidak pernah benar-benar peduli, jika suatu hari aku akan melanggar perjanjian itu.

"Beberapa bulan yang lalu kamu mengalami kecelakaan." Umi menjeda ucapannya, tangannya membawa kedua tanganku yang berada di atas kepala untuk menjambak ramburku sendiri, mengeleng kecil. "Umi mendapatkan informasi dari saksi yang melihat kecelakaan itu, kamu tertabrak oleh sebuah truk, Umi tidak pernah bisa membayangkan bagaimana sakitnya kamu, saat truk itu berhasil menyeretmu beberapa meter dari lokasi kejadian, setiap Umi mengingat kejadiaan itu, Umi selalu meminta pengampunan, karena Umi belum bisa menjadi Ibu yang baik untukmu."

Ada luka yang menganga ketika Umi berusaha menyampaikan hal itu.

"Sebelumnya, Umi telah setuju kepada semua orang bahwa kami semua tidak akan menceritakan ini pada kamu. Namun, semakin hari Umi semakin berpikir bahwa kamu membutuhkan kenangan masa kecilmu, masa kecil yang indah, masa di mana kamu dan teman-temanmu bisa tertawa lepas sebelum akhirnya kehidupan yang sebenarnya menunggu kalian di depan sana."

Aku mengusap pipi Umi, di mana air mata sudah jatuh tidak dapat terbendung kembali, selama ini yang membuatku jarang berbicara adalah kurangnya kepercayaan terhadap keluargaku sendiri. Aku kira itu adalah hal yang wajar, ketika diri ini tidak lagi mempunyai gengaman untuk tetap berdiri, dan ketika diri ini lupa kepada Tuhannya.

"Umi tahu sejatinya hati kamu tidak akan pernah melupakan semua kenangan yang telah terjadi 9 tahun terakhir."

Dan, apakah di dalam 9 tahun itu ada satu kisah Pak Hanif yang terselip di dalamnya? Aku tidak tahu.

Hujan, selalu sukses membuatku merindukan banyak orang, Abi, Umi dan anakku.

Hujan, selalu sukses membuatku mengingat masa kelam itu.

Aku menangis sendiri di sudut kamar, puluhan kata istigfar di bibirku setia aku lantunkan. Namun, sekuat apapun aku menghadapi takdir ini, tetap saja semuanya akan kembali pada kenyakinan bahwa aku membutuhkan seseorang untuk menguatkanku.

Hal, yang selalu membuatku serapuh ini bukanlah masa depan yang selalu aku pikirkan dan cemaskan, karena semuanya bisa saja berubah, ketika kita mempunyai keinginan untuk merubahnya.

Namun, masa lalu adalah sebuah waktu yang mana, tidak akan ada satupun orang yang dapat merubahnya, yang menjadi sebuah harapan di masa lalu adalah sebuah pengampunan.

Bersambung...
Wiwit Widianti

Dear Imamku (IS 1) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang