Dua Puluh Empat : Sebuah awal

2.9K 140 0
                                    

Sarapan pagi ini hanya di isi dengan suara sendok dan piring yang saling bertabrakkan.

Kami berempat hanyalah diam, membiarkan hening menguasai, hingga akhirnya sarapan benar-benar selesai.

Setelah selesai membantu Ibu membersihkan piring kotor, aku dan Pak Hanif memutuskan untuk duduk di gazebo yang terletak di belakang rumah, udara di sini rasanya lebih baik dari pada di dalam rumah, ataupun di rumah aku dan Pak Hanif.

Ibu, sepertinya sangat peduli dengan lingkungan, hal itu tergambar dengan banyaknya tumbuhan yang tumbuh di halaman rumah, contohnya adalah bunga mawar, tepat beberapa meter dari keberadaanku dengan Pak Hanif ada puluhan bunga mawar yang tengah mekar.

"Pak Hanif, kalau aku mau bunga mawar itu boleh?" Aku bertanya dengan suara yang kecil, takut-takut Ibu atau Ayah akan mendengarnya.

"Boleh, biar saya ambilin buat kamu." Kemudian lelaki itu berdiri dari duduknya dan melangkah kearah tanaman bunga mawar itu, namun tiba-tiba langkahnya terhenti, ia menoleh kearahku. "Ra, kita nanam sendiri aja ya, Ibu bakal marah kalau bunganya dipetik, apalagi dipetiknya sama saya."

Aku terkekeh pelan dengan perkataan Pak Hanif, ia begitu menghormati Ibunya, sehingga memetik bunga saja tidak berani. Dan, aku bukanlah tipe orang yang akan marah jika keinginaku tidak di penuhi, dan percayalah melihat wajah Pak Hanif yang seperti sekarang ini membuatku tidak bisa menahan tawa lebih lama.

"Saya kira kamu bakal cemberut karena saya nggak nurutin perkataan kamu." Ia menjeda ucapannya, duduk di sampingku, pandangannya lurus ke depan. "Kamu malah ngerjain saya."

Aku menghentikan tawa. "Pak Hanif, aku itu enggak ada niatan untuk ngerjain Pak Hanif. Ya, tadinya aku emang pengen bunga itu, tapi karena Ibu bakal marah karena bunga mawarnya dipetik, aku jadi berpikir bahwa seharusnya bunga itu di biarkan hidup, lebih indah di pandang mata, lebih lama bertahan."

Pak Hanif tetap menunjukkan wajah cemberut meski aku telah mengatakan hal yang jujur.

"Pak Hanif marah?" Tanyaku, dan hanya sebuah gelengan yang aku dapatkan darinya.

"Zafira, paling nggak bisa kalau di anggurin kayak kini." Aku bergumam, entah mengapa mendapati perubahan dalam diri Pak Hanif yang terkesan tiba-tiba ini, rasanya hatiku menjadi sesak, dan merasa seolah-olah ada sesuatu yang menyakitkan, yang menusuk, yang membuatku merasa sangat-sangat tidak bermakna di matanya.

"Zafira tahu ada hal lain dalam diri Pak Hanif, yang selalu Pak Hanif sembunyiin dari aku."

"Pak Hanif, Zafira tahu bahwa seorang lelaki itu nggak boleh ngebentak istrinya sekalipun, lelaki itu lagi marah sama istrinya, tapi didiemin kayak gini tuh nggak enaknya berlipat-lipat, sesaknya berlipat-lipat. Dan, Zafira tahu bahwa puncak dari sebuah kekecewaan ini adalah ketika seseorang melakukan dua hal, yaitu diam atau pergi."

"Pak Hanif, akhir-akhir ini seolah selalu bersikap manis sama aku, seolah semuanya akan berjalan baik-baik saja, seolah semuanya akan selalu seperti ini pada akhirnya, seolah Pak Hanif menerima semua kekurangan aku dan seolah Pak Hanif nggak pernah ninggalin aku."

"Seolah Pak Hanif, berkata bahwa hanya kematianlah yang dapat memisahkan kita berdua."

"Pak Hanif, selalu membuat aku melayang di saat-saat tertentu, dan saat itu terjadi Zafira bisa tahu bahwa ada sesuatu yang Pak Hanif tutupin sendiri, sebuah rasa kecewa yang Pak Hanif pendam sendiri."

"Pak Hanif, juga bisa membuat aku jatuh di saat yang bersamaan, seperti saat Pak Hanif mengajak aku sholat berjamaah tapi Pak Hanif malah sholat duluan. Seperti saat Pak Hanif tersenyum, namun tiba-tiba Pak Hanif diam seribu basa."

"Zafira nggak bisa nyalahin Pak Hanif, karena nyatanya Zafiralah yang salah, Zafira yang kotor, yang nggak pantes bersanding dengan Pak Hanif, Zafira yang jahat karena sempat nggak menerima kehadiran anak Zafira dan sempet berpikir untuk menghilangkannya dari dunia ini."

"Pak Hanif kita nggak bisa kayak gini terus, kita seperti tengah menunggu sebuah perpisahan.."

"Perpisahan yang di dalamnya telah terangkai rasa, perpisahan yang merapuhkan kita berdua."

"Pak Hanif, Zafira nggak mau ngulangin kesalahan Zafira untuk terlalu berlarut-larut dalam kesalahan."

"Pak Hanif, jika tidak ada niatan untuk memperbaiki, lepaskanlah aku.." Mendengar perkataan terakhirku, kini Pak Hanif mengeleng pelan, menatapku dengan sebuah tusukan kuat yang membuatku sangat ingin menangis.

"Saya nggak akan pernah ngelepasin kamu, Ra."

"Seseorang melakukan sesuatu karena ada alesannya. Ketika, Pak Hanif di tanya sudah menerima atau nggak menerima kekurangan aku, Pak Hanif selalu nggak jawab."

"Terus kenapa hari ini kamu nggak nanya itu lagi sama saya?"

"Kalau Zafira nanya, 'Pak Hanif udah menerima aku?' Pasti, Pak Hanif jawab, 'Emangnya saya pernah bilang udah menerima kamu?' terus aku nanya lagi, 'Jadi, Pak Hanif nggak bisa menerima aku?' Pak Hanif akan jawab 'Emangnya saya pernah bilang saya nggak menerima kamu?' Ujung-ujungnya perkataan Pak Hanif selalu membuat aku bingung sendiri."

Dan, ia mengengam tanganku. "Ra, bertanyalah hingga saya siap menjawabnya." Katanya.

"Jadi, Pak Hanif udah menerima aku?"

"Emangnya saya pernah bilang bahwa saya sudah menerima kamu?" Ia meringai, dan aku tidak bisa menahan diriku sendiri untuk tidak melepaskan gengaman tanganku darinya, memukul tangannya, hingga ia meringis.

"Masih sempet-sempet Pak Hanif ngerjain aku!" Aku mulai kesal dan cemberut, kemudian meletakkan kedua tanganku di dada, namun detik berikutnya Pak Hanif segera membawa tanganku dalam gengamannya.

"Selalu bertanya soal itu Ra, semoga suatu hari nanti Allah akan melapangkan dada saya."

"Pak Hanif nggak bisa menerima aku?"

"Saya nggak pernah bilang gituh."

"Jawaban Pak Hanif selalu ngebuat aku terombang-ambing. Jika bertahan, akan terseret luka. Dan, jika pergi nggak tahu akan tersesat kemana." Aku menjeda ucapanku. "Jangan terlalu lama di gantung, sebab kita tidak tahu hingga kapan tali itu akan bertahan."

"Ra."

"Iya."

"Jika boleh, saya ingin tahu kronologi mengapa kamu bisa hamil,"

"Pak Hanif serius?"

"Agar tidak ada kekeliruan dalam hati saya."

Saat itu, saat aku mencoba untuk berdamai dengan hatiku sendiri, akan masa lalu yang menyakitkan. Ketika, angin lembut menerpa kulit, ketika hati ini berusaha untuk tak merasa sesak, tanpa di sadari ada seseorang yang mendengarkan semuanya, tubuhnya bergetar akan ketidak percayaan, harapannya luluh lantah, rasa kecewa begitu membumbung tinggi, namun syaitan selalu membisikan hal-hal keji, sehingga rasa marah begitu mendominasi.

"Baiklah." Ketika, hendak mengambil napas untuk segera menceritakan hal itu, tiba-tiba handphone Pak Hanif bergetar, ia segera membawanya, dan jika tidak salah, aku melihat matanya melebar ketika melihat nama yang terpampang di handphonenya.

"Saya angkat telpon dulu." Izinya, sebelum akhirnya ia melangkah pergi.

Beberapa menit kemudian ia kembali, wajahnya terlihat agak sedikit berbeda, matanya seolah memancarkan keresahan.

"Saya harus ke kantor sekarang."

Hening seketika.

Harusnya sekarang Pak Hanif menepati janjinya untuk menemaniku 3 hari ke depan, sebagai ganti dari liburan ke Bali yang tidak jadi. Namun, sungguh pernyataannya ini membuatku sangat kecewa.

"Pak Hanif udah janji sama aku." Ujarku pelan, ia menghembuskan napasnya pelan, sedikit memijat kepalanya.

"Masih ada besok dan lusa." Kalimatnya seolah mengantung di udara, aku tidak mau lagi mendengar pembelaannya darinya.

"Terserah Pak Hanif aja."

----
Bersambung....
10 November 2019
Wiwit Widianti

Dear Imamku (IS 1) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang