15. Lover's Courage

5.1K 538 31
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.

.

"Kau yakin?" Seokjin berjalan terburu-buru melintasi koridor rumah sakit dengan wajah pucat. Tidak biasanya dia kehilangan wibawa di depan murid didiknya yang tengah berdiskusi tentang transplantasi organ. Aura chakranya mengudara bagai bara api dan Huening sigap menjaga jarak seraya membuntuti pria itu dari belakang.

"KAU YAKIN?"

"Yakin, Guru."

Seokjin ingin mengumpat, ingin memaki kencang, atau jika perlu—menghancurkan dinding di dekatnya dengan sekali tinju. Si brengsek itu, manusia sialan yang tiba-tiba menghilang dari desa tanpa pesan apalagi pamit. Seokjin yakin mereka punya janji bertemu di kedai mi sebelum Namjoon lenyap tak berbekas hari itu. Baju-bajunya masih tersusun di lemari saat Seokjin mendobrak apartemennya terdorong curiga, tak ada sinyal-sinyal pencuri, jejak penculik, serangan lawan maupun reaksi luminol. Semua rapi. Ketiga murid pria itu tutup mulut meski Seokjin mengancam menggantung kaki mungil mereka terbalik di pohon beringin, tak jauh beda dengan rekan kerja di akademi juga kantor utama. Berkelitnya Jungkook saat Seokjin menyerbu masuk ke kediaman sang Hokage, mengindikasikan jawaban tak terbantahkan akan fakta yang dia benci.

Namjoon sedang bertugas.

Dan tugas yang dimaksud Seokjin jelas bukan tugas mengajar seperti yang sehari-hari dikerjakan pria itu. Namjoon direkrut dalam sebuah tim khusus tanpa sepengetahuannya, menyanggupi tanpa persetujuan, dan berangkat tanpa seijinnya. Sebagai sesama ninja, Seokjin paham perekrutan Anbu tak memerlukan restu keluarga apalagi pasangan, namun hati kecilnya masih ingin berharap—bahwa Namjoon bisa lebih terbuka mengenai keputusan penting yang melibatkan nyawa.

Enam bulan.

Enam bulan Namjoon pergi dan Seokjin nyaris gila. Ingin rasanya membanting Jungkook ke ranjang periksa lalu mengaduk-aduk isi perutnya agar pemuda itu mau berbagi berita. Persetan apakah yang disakitinya itu seorang pemimpin desa atau dewa sekalipun.


Aku juga mengirim kekasihku dalam misi, Kak!! Jangan pikir cuma kau yang cemas di sini!


Giginya gemeletuk penasaran sebab Huening masih enggan buka mulut. Baru sepuluh menit berlalu sejak remaja tersebut memasuki ruangan dan mengabarkan jika tim Ketua Min telah kembali bersama paramedis. Membuyarkan seluruh konsentrasi Seokjin yang tengah menghimpun chakra dan langsung meninggalkan murid-muridnya untuk ditangani Moonbyul.

Seokjin pernah membuat pria itu berjanji untuk tetap menjadi pengajar walau apapun yang terjadi. Trauma menangani jasad kekasihnya yang tewas dalam misi lima tahun silam masih menggores hatinya hingga kini. Seokjin tak ingin kehilangan lagi. Tidak dalam posisi dirinya yang menampik lamaran Namjoon dua hari sebelum keberangkatan, berkata perlu waktu untuk mempertimbangkan.

Apa jadinya jika dia harus mendapati Namjoon terbujur kaku dengan impian yang tertunda? Seokjin pasti tak akan sanggup memaafkan dirinya sendiri.

"Guru?"

Didengarnya Huening menyela saat tungkai Seokjin berhenti di kamar paling ujung yang dijaga sepasang Chuunin. Sesosok pria berdiri bisu, sengaja melipat tangan di dinding belakang dan tanpa menoleh pun, Seokjin tahu siapa yang sedang memperhatikan pergerakannya.

"Katakan apa maumu."

Yang bersangkutan tersenyum miring meski terdengar sinis, topeng Anbunya tersemat setengah terbuka, menampakkan wajah tampan berahang persegi dengan tahi lalat di pucuk hidung, ".......orang biasa mungkin sudah mati."

Jemari Seokjin terkepal, kuat.

"Tapi sayangnya dia bukan orang biasa," gumam Taehyung sarkastis, memejamkan mata sembari tetap bersandar, "Mungkin dewa langit masih memberinya kesempatan untuk mencintai hidup walau sempat dikecewakan."

Huening mengerjap tak paham selagi Seokjin mendengus sengit, "Dan kenapa kau masih sangat sehat sementara calon suamiku sekarat di dalam?"

"Calon suami? Jangan buat aku tertawa," gelak Taehyung mencemooh, beranjak dari dinding seraya menatap lelaki yang menjerat perhatian Namjoon sampai kasmaran setengah mati, "Mendadak menyebutnya begitu setelah tiga kali menepis niat baiknya, eh? Apa kakakku harus nyaris tewas dulu agar kau menerima pinangannya?"

"Taetae," geram seseorang yang muncul dari daun pintu, berbalut jubah kebesaran diiringi desah pasrah, "Tidak usah memperpanjang masalah, Kak Namjoon membutuhkannya di dalam."

Yang ditegur segera berkedik tak acuh, "Terserah, tapi ingat—" manik besarnya mendelik sarat emosi ke arah sang Tensai Jounin, "Jika kau membuatnya kecewa sekali lagi, aku sendiri yang akan mencabut jantungmu."

"Taetae!"

Mengangguk hormat pada Hokage sebagai permintaan maaf, Taehyung menyematkan kembali topeng Anbu menutupi wajahnya, lantas lenyap ditelan udara sedetik kemudian. Berdecak bingung, Jungkook melirik lelaki berambut hitam yang tercenung gamang itu sambil menggeleng-gelengkan kepala. Diisyaratkannya Huening agar menyingkir dari sana, "Tak perlu kuatir, dia sudah stabil dan boleh ditemui. Paramedis bilang kesadarannya baru akan pulih beberapa jam lagi, tapi kehadiranmu mungkin bisa mengubah sesuatu."

Terdiam, Seokjin mematung tak merespon.

"Masuklah, Kak."

"Aku bodoh, Kook-ah."

Mengamati dari balik bahu, Jungkook hanya tersenyum menanggapi ujarannya.

"Bukan bodoh," bisik pemuda bermata jernih tersebut, "Hanya takut bahagia."

Sebuah tepukan mendarat di bahunya, menenangkan. Dibiarkannya Huening menepi di luar ruangan sebelum melangkah masuk, kening berkerut dan tenggorokan tercekat. Presensi chakra yang tak asing menyeruak ke segala penjuru, menyerbu indera penciumannya yang spontan bergeming di tirai pembatas.

Kim Namjoon terbaring berbalut perban di dada beserta kepala, tetap mempesona meski pucat tanpa reaksi. Seragamnya teronggok penuh sayatan, tidak menghentikan Seokjin untuk beralih perhatian seraya bergerak mendekat. Menghampiri, merapat di sisinya demi mengamati pria itu lebih seksama.

"Hei," sapanya halus, lengan terjulur perlahan, mengusap lembut pipi Namjoon memakai buku-buku jari, "Aku di sini."

Hening.

Digenggamnya hati-hati tangan Namjoon yang tergeletak, menunduk untuk mengecup pergelangannya sambil berusaha menghela napas. Luka melintang dari dahi kanan menuju mata kiri mengisyaratkan segores bekas yang sukar memudar. Namun bagi Seokjin, hal tersebut akan menjadi pengingat abadinya agar tak bersikeras menuruti ego untuk menanggapi masa lalu. Pada ketidakpercayaan terhadap ikatan, juga pada cinta yang dipersembahkan untuknya tanpa kenal lelah, tak berhenti hingga dirinya mengucap bersedia.

"Ijinkan aku mencintamu dari awal," gumamnya lirih, hampir menunduk berhias senyum getir, ".........ijinkan aku menyayangi dan menjagamu lebih lama dari hari ini."

Ujung jari dalam genggamannya berderik samar dan Seokjin meremas tautan mereka dengan isak tertahan.

.


.


.


Ayo hidup bersama, Seokjin-ah....


.

.



SHENMEI | AESTHETIC (NamJin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang