[BTS - Namjin/Monjin]
Karena keindahan Seokjin adalah anugerah terbesar yang tak berhenti dikaguminya. Tiap saat, diantara hela napas berhembus puja. Bahkan ketika Namjoon tak cukup mempercayai keberadaan Sang Pencipta.
.
.
.
.
SHEN|MEI
Kumpulan Fi...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sekuel untuk SHUAI: Pillow Fight
.
.
.
.
"Minggu depan kita ada pertandingan lho, Tae, bisa-bisanya kamu bilang hari ini libur latihan! Terus sekarang kita mau kemana?" dumel Jimin, bergegas menenteng ransel di lengan kiri, gagang raket menyembul keluar dari celah resleting. Taehyung melengos tak peduli, ditariknya lengan kanan Jimin seraya mengendap-endap di samping etalase toko baju. Tak biasanya jalan besar ramai di hari Rabu, tapi kondisi ini justru membantu mereka berbaur supaya tidak ketahuan. Jimin sudah berhasrat menjitak kepala adiknya karena diseret pergi saat bus jurusan sekolah sudah datang.
Tapi apa boleh buat, pria berjas parlente dengan rambut hitam jatuh yang sedang menyusuri tepi jalan itu lebih menarik perhatian Taehyung. Jimin pun tak mampu menolak dan turut mengekor di belakang, sesekali membungkuk di balik kotak pos tiap pria itu menoleh, pun saling membekap mulut masing-masing walau kegaduhan sekeliling tak akan membuat suara mereka terdengar begitu mudah.
"Sedang apa dia di sini?" Taehyung mendesis sengit, tidak tertarik dengan kenyataan bahwa Seokjin malah lebih sering mondar-mandir di Ilsan dibanding ayahnya sendiri, tapi tentu saja dia perlu tahu kenapa pria itu muncul siang bolong di pusat perbelanjaan. Meski memiliki firma hukum sendiri, harusnya Seokjin masih berada di kantor hingga petang nanti. Taehyung hapal jadwalnya usai iseng mengintip isi percakapan Namjoon dengan sang kekasih.
"Padahal Ayah masih mengajar di Seoul sampai lusa depan, atau jangan-jangan...." komentar Taehyung curiga, lalu spontan menjerit ketika rambutnya dijambak, "ADUH! SAKIT DONG, KAK!!"
"Shush! Berisik!" Jimin menaruh telunjuk di depan hidung hingga Taehyung segera menutup mulut sambil mengusap-usap kepala memakai tangan lain, "Jangan berasumsi dulu!! Kita bisa tanya-tanya ke Ayahkalau mau lebih banyak tahu soal Kak Seokjin, bukan membuntuti begini!!"
"Bawel," tolak Taehyung, tak ambil pusing berpaling pada Jimin. Meleng sedikit saja, Seokjin pasti raib dari pandangan, "Kalau ngotot bertanya, Ayah pasti berpikir kalau kita belum menerima Kak Seokjin."
"Enak saja! Aku sih sudah, kamutuh yang belum."
"Sudah kok!" Taehyung ngotot, "Tapi kan tak ada salahnya me....eh, belok! Dia belok!" sentak pemuda itu sambil menggeret lengan Jimin dari balik kotak pos, nyaris menabrak seorang pria paruh baya yang hendak melintas. Jimin buru-buru meminta maaf seraya menendang kaki Taehyung yang sama sekali tak peduli.
Memang tidak sejangkung Namjoon yang menjulang, tapi kaki Seokjin masih tetap terlampau panjang untuk disusul oleh sepasang anak kembar tersebut. Apalagi berbekal ransel bersama tempat raket yang talinya bergelantung di punggung dan pundak. Taehyung masih cukup kokoh untuk berdiri di tengah kerumunan, namun Jimin yang bertubuh lebih kecil, jelas tidak. Sekalinya berhenti, dia bisa tersambar pundak orang lain atau tertarik arus manusia di marka penyeberangan.