43. Terima Kasih, Cinta

2.3K 249 19
                                    


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.

.

.

Namjoon mengernyit, gelegar barusan membuatnya terbangun dan sontak terduduk karena terkejut. Alis bertaut tak senang, napas berhembus kasar dan sebelah tangannya terangkat menopang muka. Ketakutannya pada petir tak akan pernah bisa hilang, dan mustahil merengek pada sang ayah untuk menemaninya hingga tertidur seperti dulu.

Lengannya diturunkan perlahan seraya mencoba menenangkan diri, bola matanya mengarah pada tirai jendela yang terkait di masing-masing sisi, menampakkan pemandangan luar kamar yang hanya diterangi lampu beranda. Langit gelap, hujan deras, ditambah kilatan cahaya yang membuat Namjoon berjengit. Tiga puluh tahun dan masih dramatis tiap badai menghampiri. Rasanya konyol sekali.

Selama beberapa saat, Namjoon hanya duduk melipat satu kaki. Dahi bersandar pada lutut, bergeming sambil mendesis tak tenang. Mungkin sebaiknya dia pergi ke dapur dan menyeduh sesuatu.

Sebentuk lengan terjulur menggapai siku dan Namjoon spontan berkedik. Diintipnya dari balik bahu untuk mendapati Seokjin beringsut menyamping dengan mata terpejam dan dengkur lirih. Tersenyum lebar, diciumnya pelipis Seokjin sambil perlahan melepas pegangan sebelum berjalan keluar.

Hati-hati, Namjoon melangkahkan kaki agar tak terantuk tepi meja. Jemari mencari-cari tombol lampu dan menyalakan salah satu tuas dengan pilihan cahaya paling temaram. Ada gelas kertas serta piring kosong di atas meja, juga kemasan es krim yang isinya tandas. Namjoon menggeleng maklum, paham betul itu milik siapa.

Usai mengucurkan susu hangat memenuhi setengah mug, Namjoon membawa minuman itu menuju ruang tengah dan mendaratkan diri di atas sofa. Seperti halnya saat di kamar tadi, dia melipat satu kaki dan mengangkatnya sejajar dada. Dihirupnya uap susu seraya mendesah lega, aroma vanila tak pernah gagal menenangkan jiwa.

Baru mencicip seteguk, Namjoon dibuat menoleh oleh derit pintu dan langkah kaki yang terseret sendu. Seokjin menjulang oleng di depan kamar dengan piyama kusut serta sorot mengantuk, pun terhuyung-huyung menghampiri Namjoon yang balas tertawa.

"Kenapa bangun?" tanya Seokjin, menguap tanpa malu-malu, "Kasurnya jadi dingin."

"Maaf."

"Tidak diterima—"

"Sini..." Namjoon menepuk tempat di sisi kanan. Lelaki berusia dua tahun di atasnya itu menurut untuk merebahkan diri, dan sekejap kemudian mengubah posisi dengan berbaring beralas paha suaminya.

"Kamu kenapa bangun?" tanya Seokjin mengulang. Telunjuk menyentuh dagu Namjoon, "Mimpi buruk?"

"Petir," jawab Namjoon pendek. Ditiupnya telunjuk Seokjin yang kini menyeka pipi, "Ada bekas es krim di atas meja makan. Ingatkan aku untuk memarahi Soobin besok pagi."

Seokjin meringis, "Dia selalu tidur setelah makan."

"Dan tidak dibereskan," ucap pria itu, keberatan, "Aku selalu dimarahi tiap kali membiarkan piring bekas makan tanpa dicuci, kenapa putramu tidak?"

SHENMEI | AESTHETIC (NamJin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang