.
.
.
"Bisa berhenti menatapku, tidak?"
"Memang kenapa? Aku sedang menggunakan indera pemberian Tuhan untuk menikmati ciptaannya. Kamu tak berhak melarang-larang."
Menghela napas panjang, Namjoon balas memalingkan muka demi menghindari sepasang mata yang mengamati wujudnya dengan penuh minat. Tubuh kokoh berbalut kulit rusa dari pinggang hingga paha, lengan kekar, perut kencang, ditambah tonjolan memikat di dadanya yang bidang, benar-benar merupakan pemandangan indah dan eksotis. Sebagai pria berusia awal dua puluhan dengan gairah yang sehat, Seokjin tak menampik bila dirinya sangat tergoda.
Remang cahaya rembulan menemani perdebatan yang berlangsung sejak sore tadi. Ambisi Seokjin menyentuh dadanya—yang menurut Namjoon sama sekali tidak menarik, masih berlangsung hingga kini. Sudah hampir seminggu sejak pria itu tersesat di lebatnya belantara dan belum ada satupun regu penolong yang diterjunkan mencari, padahal turis terakhir yang pernah diselamatkan Namjoon dari jurang, sigap diangkut oleh tim pimpinan Kapten Shim dua hari setelah hilang kontak. Jadi kenapa peneliti yang konon, sangat penting ini, justru dibiarkan lenyap tak terendus berhari-hari dari titik perkemahan tanpa gelagat sedikitpun?
"Ciptaan Tuhan, ha, kiasan macam apa," seekor macan kumbang menyahut malas sambil menguap dari dahan sebelah, sorot penuh kantuknya terarah pada pria yang tengah bersila di rumah pohon tersebut, "Bilang saja kau sedang ingin melakukan ritual reproduksi yang sering dikerjakan manusia sepanjang musim."
"Jangan bercanda."
"Oh, ayolah, Namjoon," macan itu melengos, lidah panjangnya terjulur bosan, "Aku sudah terlalu tua untuk berdebat, lebih baik segera tutup pintunya dan layani dia."
"Yoongi benar," cengir rajawali berkepala putih di sisi atap, "Kami memantau sejak laki-laki berbau gula di sampingmu dibawa naik oleh Jungkook. Siang dan malam, matanya senantiasa mengintaimu seperti makanan enak. Jangan-jangan sedang masuk masa kawin."
"Berhenti menyamakannya dengan hewan, Hobi."
"Eits, manusia juga mamalia. Tanya saja Taehyung," rajawali tersebut menurunkan paruhnya ke arah seekor harimau yang asyik mendengkur di bawah pohon, "Katakan, manusia tampan, apa kau rindu disentuh pasangan? Kekasih? Istri? Suami?"
"............diam kalian semua," gerutu si pemuda berambut gelap, jengkel. Dilemparnya pisau sekaligus batangan kayu yang sedianya hendak dijadikan tombak. Punggung tegak, tungkai meniti tatak lantai mahoni yang melapisi pondasi pondok, tak lupa melempar delik ketus pada satu-satunya manusia selain dirinya di pohon itu, "Buah-buahanmu ada di dalam, makan dan tidurlah. Akan kulihat ulang kondisi tenda-tenda kalian bersama Taehyung besok siang, toh lembahnya bisa diintai dari bukit seberang sana. Bersabarlah sedikit lagi."
"Mereka pasti sudah pergi," Seokjin menyahut datar, melirik arloji yang sedikit retak di bagian atas, "Mungkin langsung kembali ke kota dan mengambil kesimpulan kalau aku tewas dimakan buaya."
"Hei! Tidak sopan, Junhong itu vegetarian! Dia tak akan sudi menyantap manusia walau kau dilempar tepat di depan moncongnya," Hoseok berkilah, sayap turut mengepak tak terima, "Bisa jadi rekan-rekanmu menyerah karena takut masuk hutan lebih jauh, lalu memilih meninggalkanmu daripada ikut dimangsa binatang buas. Huh, pengecut."
"Shush, Hobi."
Sang rajawali berkedik tak sabar, lantas terbang meninggi untuk beristirahat di sarang. Yoongi lelap tak terusik, sementara Seokjin menggaruk-garuk tengkuk dengan gamang. Seperti malam-malam sebelumnya, Namjoon memilih tidur di luar dan membiarkan Seokjin menempati ruangan berdinding kayu yang sudah dianggapnya rumah selama lebih dari satu dekade. Tak ada ranjang empuk maupun pendingin udara, hanya lantai keras beserta selimut milik Seokjin yang kebetulan terbawa di ransel. Beberapa buku usang dan benda-benda nyaris hangus menghuni sudut pondok, peninggalan yang tersisa dari sebagian badan pesawat ketika Yoongi menemukan Namjoon yang saat itu berusia dua tahun. Mata tergores besi dan menangis tiada henti, meninggalkan bekas luka melintang dari kening menuju kelopak mata kiri.
"Kesepian, tidak?"
Namjoon menoleh sejenak ke arah Seokjin yang duduk berselimut, urung mengambil sebutir persik liar dari mangkuk tulang antelop di sisi pria itu, "Kesepian?"
"Tiap hari hanya bertemu hewan," komentar yang bersangkutan, "Meski mereka bisa berbicara seperti kita, tapi wujudnya tetap saja hewan, kan?"
Pemuda bermata zaitun itu terbahak sarkastis, "Aku hidup dan dibesarkan oleh Yoongi bersama para penghuni hutan lainnya. Tak berbeda denganmu yang tumbuh dewasa diantara manusia. Lagipula, dibanding kondisiku yang nyaris tuli karena mereka terlalu berisik, sepertinya justru kamu yang terlihat sangat kesepian."
Mengerjap menyadari dirinya disindir, Seokjin menggulirkan mata ke kanan dan kiri, lantas beringsut menyandarkan pelipis di atas lutut sambil tersenyum hambar, "...............ah, ya, kamu benar."
Namjoon terdiam, kunyahan persiknya berlangsung melambat. Tanpa sadar, kakinya bergerak pelan mendekati pria yang meringkuk canggung. Sisa buah tergenggam di satu tangan, "Apa kekasihmu ada di perkemahan itu?"
"Tim ekspedisi cuma berisi profesor, asisten, dan teknisi," seloroh Seokjin, melipat dahi mengingat, "Youngwoon meninggalkanku karena terlalu sibuk dengan anatomi binatang. Jadi, tidak, aku tak punya kekasih."
"Heh," kekeh Namjoon, tak bermaksud menertawakan, hanya merasa sedikit lucu, "Aku tak begitu paham mengapa manusia mudah sekali menghindari satu sama lain, tapi karena aku belum pernah mengalaminya, jadi abaikan saja pendapatku barusan."
Dagu Seokjin berkerut, "Mengalami apa?"
"Jatuh cinta," jawab Namjoon lugas, intonasinya tanpa nada, "Aku menghormati Yoongi, menyukai Hobi, juga menyayangi Jungkook dan Taehyung. Meski ada beberapa manusia yang kujumpai saat rombongannya tersesat di hutan, tapi rasanya aku tak terlalu menyukai mereka."
Mendongak, Seokjin memandangi wajah pemuda yang meladeninya berargumen selama tujuh hari belakangan. Laki-laki cerdas yang melemahkan stereotip Seokjin mengenai makhluk pedalaman dan tinggal jauh dari peradaban, juga yang berkali-kali menangkis gerakan tiap Seokin iseng menjulurkan tangan ke arahnya demi menuntaskan rasa penasaran.
"Mau berciuman, tidak?"
"................apa?"
"Seperti yang dilakukan harimau dan kelinci raksasa itu."
"Aku tahu, tapi untuk apa?"
"Hanya uji coba," tukas Seokjin, bergumam sekenanya, "Kalau tetap tak ada yang berbeda setelah melakukannya, anggap saja aku berhutang jasa."
Menatap tajam, Namjoon menyahut singkat, "Kalau aku menolak?"
Tak segera menjawab, Seokjin balas berdecak sembari mengusap mukanya sendiri, pun buru-buru menyeret selimut menutupi badan, siap berbaring rebah, "Sudahlah, tuan pemilik hutan. Aku cuma bercanda, selamat tidur."
Namun insting Namjoon yang terlanjur tertantang, lebih cepat mencengkeram pergelangannya dan memaksa Seokjin bangkit dengan terkejut. Belum sempat bertanya, sebentuk bibir datang memagut tanpa aba-aba, meraup Seokjin dengan buas dan menyelipkan lidah tanpa sedikitpun kelembutan. Kasar, tak berpengalaman. Matanya membola, sibuk mencerna keadaan ketika Namjoon mengisap bibir bawahnya, menekan tengkuk dalam-dalam serta bergegas menjauh sebelum Seokjin sempat membalas.
Tersengal, pria itu hanya sanggup bergeming di tempat selagi Namjoon menegakkan tubuh, tak acuh pada reaksinya dan berbalik hendak keluar, daging buah diremas hingga lebur dalam genggaman.
"Tak terjadi apa-apa," sergah Namjoon dingin, cuping telinga dan tengkuknya memerah, "Tidurlah, kamu berhutang sebutir persik yang kuhancurkan."
"Nam—"
"Selamat malam, Seokjin."
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHENMEI | AESTHETIC (NamJin)
Fiksi Penggemar[BTS - Namjin/Monjin] Karena keindahan Seokjin adalah anugerah terbesar yang tak berhenti dikaguminya. Tiap saat, diantara hela napas berhembus puja. Bahkan ketika Namjoon tak cukup mempercayai keberadaan Sang Pencipta. . . . . SHEN|MEI Kumpulan Fi...