.
.
.
"Kamu mau membunuhku atau bagaimana, monster?" Seokjin menggerung, berusaha keras menggapai mantel handuk di tepi tempat tidur. Suara derit otot mengejang membuat keningnya bertaut. Menarik napas tajam, disambarnya benda itu dengan erang sebal. "Gah! Punggungku sakit!!"
"Maaf," Namjoon terkekeh, masih dalam posisi tertelungkup dengan separuh kepala terbenam bantal. Tubuh tegapnya telanjang bulat, menampakkan otot-otot mengkilap berbalur keringat. Sudut bibir tersungging miring, tak merasa bersalah apalagi menyesal karena sudah membuat lelaki favoritnya susah payah turun sambil memegangi pinggang, "Ini kan gara-gara kamu juga."
"Aku?" Seokjin menunjuk hidungnya sendiri selagi lengan lainnya memijat-mijat bagian punggung. Sial, ngilunya tak tertahankan, "Bilang sekali lagi dan akan kupatahkan rusukmu. Aduh, masa sih aku harus pergi dan mengadu pada Hoseok besok pagi? Memalukan."
"Bukankah itu gunanya punya teman seorang ortopedi?" Namjoon melengos santai, kini beranjak duduk. Tadinya dia berniat menyalakan rokok andai tak ingat bila kamar tidur Seokjin berhias pendingin udara. Maka sebagai ganti, dimainkannya pemantik api sembari bersandar di ranjang diiringi decak puas. Sementara Seokjin yang berhasil turun, kini perlahan duduk di sofa kamar sambil menuang segelas air dengan sebal.
"Hoseok bisa tertawa sampai mati kalau aku minta diperiksa dengan keluhan sakit punggung karena bercinta."
Namjoon terbahak tak malu-malu, "Sudah kubilang ini bukan salahku," ditatapnya kotak putih yang terbuka di meja dekat tempat tidur. Sisa gelatin beserta potongan kiwi dan stoberi terlihat di ujung kemasan. Wangi legit vanila bercampur gurihnya kulit pai menggelitik indera penciuman Namjoon, "Siapa suruh menyediakan kue di sini."
"Aku membelinya karena kamu bilang mau datang, sialan."
"Aku tidak minta."
"Tapi kan habis!"
"Kalau tidak dimakan lalu diapakan? Aku benci buang-buang makanan," pria berambut pirang tersebut memilih berselonjor kaki, sebelah lutut ditekuk tanpa bermaksud menyembunyikan organ intimnya sama sekali, "Lagipula kenapa harus kue sih, darling? Apa kamu tidak memasak sesuatu hari ini? Demi putraku saja kamu rela berdiri di dapur berjam-jam, sementara pacar sendiri malah diabaikan. Dasar pilih kasih."
"Aku berusaha mengakrabkan diri dengannya, tahu. Kamu sendiri yang bilang kalau Jungkook susah menerima orang baru, apalagi berstatus calon suami dari ayahnya sendiri," tegas Seokjin, menjauhkan tepi gelas dari bibir. Kepala digelengkan pasrah menanggapi perangai aneh pria itu selepas bercumbu. Menjalani hubungan berbeda kota, Seokjin harus lihai berbagi prioritas antara pekerjaan—dan kekasih berusia lima tahun lebih tua yang terbilang manja.
Seperti hari ini. Janji bertemu akhir pekan ditepati Namjoon yang tiba di Gwacheon menjelang sore, mengaku putra semata wayang tak ikut bersamanya karena harus bergabung dengan kemping sekolah. Seokjin spontan mendekap hangat dan menyilahkan masuk ketika pria itu muncul di pintu apartemen, tampan berbalut setelan rapi seraya menyodorkan sebuket lili. Seokjin baru saja pulang bekerja dan tak menampik bila dirinya capek luar biasa. Ingatan akan kosongnya lemari es serta tak adanya makanan kecil membuat Seokjin meraung panik di balik kubikel sejak siang, beruntung petugas kantornya bisa dimintai tolong pergi ke toko kue dan membeli beberapa potong pai buah.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHENMEI | AESTHETIC (NamJin)
Fanfiction[BTS - Namjin/Monjin] Karena keindahan Seokjin adalah anugerah terbesar yang tak berhenti dikaguminya. Tiap saat, diantara hela napas berhembus puja. Bahkan ketika Namjoon tak cukup mempercayai keberadaan Sang Pencipta. . . . . SHEN|MEI Kumpulan Fi...