.
.
.
"Payungnya, Mas?"
Pria itu tersenyum ramah ketika Seokjin mendongak, alis berkerut bingung mendapati sosok yang tiba-tiba saja berada di depan toko tempatnya berteduh. Lengan terjulur, tak segan menyodorkan gagang meski gerimis membasahi kepala. Celingukan, Seokjin masih bersikukuh memeluk lengan sendiri yang hanya terbungkus sweater tipis, tak berdaya menahan serbuan angin. Memang tak ada orang lain di naungan atap toko tersebut, tapi kenapa harus dirinya yang ditawari?
Mantel hitam, rambut tersisir, pantofel mengilap. Jelas bukan tukang sedia jasa sembarangan.
"Tidak, terima kasih. Kamu terlihat lebih butuh benda itu dibanding saya."
"Oh ya?"
Seokjin mengangguk cepat, "Tuh, bahunya basah."
Pria tersebut melirik pundaknya sekilas, lalu terbahak seraya berjingkat mengambil tempat di sisi Seokjin. Payung diletakkan begitu saja di lantai teras selagi pemiliknya menjulang diiringi delik heran, "Kok malah ikut berteduh?"
"Hujannya deras."
"Tapi kamu punya payung."
"Masnya sendirian, saya tidak tega."
Kerut di dahi Seokjin makin menjadi, "Kamu tidak takut saya rampok atau semacamnya?"
"Saya yakin Masnya orang baik," tukas pria itu santai, "Buktinya Mas bisa melihat saya."
"...................eh?"
Satu tungkai Seokjin terseret mundur dan bahunya reflek berjengit, pandangan berubah horor ketika yang bersangkutan menyeringai kecil. Sejenak tertawa mendapati perubahan mimik Seokjin sembari mengibas sisa percikan dari helai rambut yang lembap.
"Bercanda," sahut sang tamu, "Nama saya Namjoon, masih manusia."
"O, oh."
"Saya tidak berniat buruk kok," jelas pria bernama Namjoon itu, mata menerawang tetes-tetes air yang berjatuhan dari ujung atap, "Tadinya saya ingin menabrak moncong sedan yang sembarangan menurunkan Mas di tengah hujan. Tapi setelah menimbang-nimbang, lebih baik mobil saya dipakai untuk hal yang jauh lebih berguna. Mengantar Mas pulang, misalnya."
"KAMU MENGINTAI SAYA?"
"Memperhatikan, Mas," Namjoon meralat ringan, "Sebenarnya saya cuma ingin menikmati gerimis sambil minum kopi di jok depan, tapi mendadak ada keributan di ujung jalan."
Hendak menjawab, Seokjin terpaksa menelan kembali kalimatnya ketika mendengar pengakuan tersebut. Mengira sudut jalanan benar-benar sepi menjelang petang—apalagi tengah diguyur hujan. Tak ada yang mengira bila seseorang tertarik menonton adegan pertengkaran hebatnya sejenak lalu. Bukan tidak mungkin jika saksi matanya juga turut mendengar cecar sengit Seokjin yang tak segan meladeni segala tudingan Jaebum.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHENMEI | AESTHETIC (NamJin)
Fiksi Penggemar[BTS - Namjin/Monjin] Karena keindahan Seokjin adalah anugerah terbesar yang tak berhenti dikaguminya. Tiap saat, diantara hela napas berhembus puja. Bahkan ketika Namjoon tak cukup mempercayai keberadaan Sang Pencipta. . . . . SHEN|MEI Kumpulan Fi...