Sachie dan Bu Puji mundur untuk memberi ruang para petugas medis memeriksa Oska. Dari pada menunggu, Sachie memilih berjalan ke ujung ruangan.
Di kasurnya, Ruby masih memejamkan mata. Keningnya berkerut-kerut, sesekali menggigit bibir, menandakan gadis berdarah Jawa-Jepang itu tidak tidur.
"Kontraksinya datang lagi, By?"
"Lo pikir gue mau brojol."
Sachie tertawa. "Perutnya gue olesin minyak kayu putih ya, biar telor lo yang rusak karena tidak dibuahi kecebong itu keluar semua."
Mata Ruby terbuka, langsung meluncurkan tatapan membunuh. "Bawa minggat benda itu nggak?!"
Sachie kembali tergelak. Senang banget dia menggoda gadis galak itu.
Ruby memang tidak suka dengan bau minyak kayu putih. Katanya bikin eneg. Tapi dia suka dengan minyak telon. Setiap hari Ruby selalu mengoleskan minyak untuk bayi itu di perut dan sekitar leher sampai bahu. Dia juga memakai bedak dan parfum bayi. Padahal kalau beli parfum bermerek pun, dia mampu. Makanya Sachie sering meledek; muka sangar kayak pemeran antagonis sinetron tapi wangi bayi.
Harus diakui, terlepas dari aura cantik berkharisma yang keluar dari wajah tegasnya. Wajah Ruby ini bisa diibaratkan seperti bunglon—berubah-ubah sesuai situasi dan suasana hati.
Bisa terlihat imut saat bibirnya mengerucut, gemesin gitu. Saat memasang wajah tak berdosa, mata sipit yang didapat dari sang ayah—alias di impor dari Negeri Sakura—bisa memperlihatkan bola matanya yang bening seperti bayi.
Tapi sekalinya melotot, marah atau kesal, tatapannya mirip laser pada senapan yang siap membunuh target dengan sekali tarikan pelatuk. Dan itu sering dia tunjukkan di depan orang-orang. Didukung dengan body bongsor dan sikap cueknya. Thanos aja kayaknya mikir sejuta kali kalau mau deketin.
Berbeda dengan Sachie. Wajah anak itu manis, rambutnya hitam bergelombang sepanjang punggung. Walaupun bertubuh tidak lebih dari 155 cm, dia tetap menarik. Mulutnya memang ceplas-ceplos, banyak bicara dan suka bercanda. Tapi saat keadaan membutuhkan, dia bisa berubah menjadi lebih dewasa dari pada Ruby yang umurnya lebih tua dua bulan sebelas hari.
Mungkin karena keadaan keluarga masing-masing yang membentuk mereka menjadi seperti itu.
"Ya udah, gue tinggal ambil buku dul—"
"Sachie." Bu Puji memanggil.
"Iya, Ibu Guru."
Gadis dengan jepit rambut disebelah kiri rambutnya menyaut sambil mendekat. Terlihat cowok yang terbaring di kasur sudah membuka mata. Oska sudah sadar. Dia sedang mendengarkan dokter berbicara.
Merasa ada orang yang muncul dari balik punggung Bu Puji, Oska menoleh. Pandangannya bertemu dengan mata Sachie. Oska kembali melihat kearah dokter, melirik Sachie lagi.
Sachie tersenyum sebentar sebelum memutus kontak mata mereka terlebih dahulu. "Ada apa, Bu?"
"Tolong temui pak Yanto, minta bikinin teh manis buat Oska ya. Terus kamu bawa kesini."
Kok gue berasa kayak OB. Apa Bu Puji nggak kenal teknologi hape buat hubungi pak Yanto? Tapi yang keluar dari mulutnya. "Baik, Bu."
Saat keluar ruangan, samar-samar Sachie mendengar ucapan dokter. "Hanya kelelahan. Tidak perlu dibawa ke rumah sakit. Cukup banyak istirahat saja. Saya tidak memberikan resep karena kamu pasti sudah mempunyai obat. Setelah ini diminum ya."
Oska hanya mengangguk. Sebenarnya minum obat adalah kegiatan membosankan yang harus dia lakukan tiga kali sehari. Setiap hari. Sepanjang umurnya sampai detik ini.
Kadang Oska merasa hidup itu tidak adil. Disaat semua orang bebas mengendalikan hidup, dia malah dikendalikan obat demi bertahan hidup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Starlight for Yamaza
General Fiction"Dia bukan cowok most wanted dengan segala pesona yang bikin cewek-cewek alay keganjenan kayak cacing kepanasan. Tapi bukan berarti dia cupu. Dia cuma anak pendiam, yang pasrah dengan kondisinya. Satu-satunya cowok yang selalu bawa bekal ke sekolah...