Ruby melayangkan tatapan ke sekeliling. Dua hari yang lalu ia tidak sempat melihat semua keindahan ini. Gerbang dengan tembok beraneka ukiran khas Bali, jalan paving berwarna merah bata tertata rapi dan pepohonan di sekitar jalan. Bukan hanya rumah Sachie yang cantik, namun lokasinya juga sangat indah.
"Pakai ini. Panas."
Ruby merasakan sesuatu menutupi kepala, rupanya Oska memakaikan bucket hat warna hitam. Sementara dia memakai topi warna maroon. Satu hal yang tidak pernah berubah dari cowok ini, yaitu gemar memakai topi.
"Dapat dari mana?" tanya Ruby sambil melipat bagian depan hat-nya.
"Hasil jambret tukang cendol." Oska terkekeh melihat ekspresi Ruby. "Cuaca dingin Swiss memaksa aku mengoleksi berbagai jenis penutup kepala. Suka?"
"Ya. Thanks."
"Jangan berlebihan. Aku cuma pinjemin."
Ruby ternganga.
Oska tertawa. "Jangankan bucket hat, kamu minta nyawa aku juga bakal aku kasih."
"Terus nanti aku sama siapa?"
Gantian Oska yang ternganga.
Ruby segera merapatkan mulutnya sendiri. Keceplosan. "Beli bunga dul—"
Cup.
Hening.
"Sama aku." Oska mengusap sudut bibir Ruby. "Maaf bikin kamu kaget. Aku lupa bilang, kalau aku akan mencuri satu kecupan setiap hari. Tapi berhubung waktu kita nggak banyak dan kita nggak tahu apa yang akan terjadi nanti, maka aku akan mencuri satu kecupan setiap satu jam sekali. Deal?"
"Gila."
"Cuma sama kamu aku kayak gini. Ya udah, sekarang kamu duluan, biar aku yang beli bunga. Aku mau kasih kamu kesempatan curhat sama Sachie, bahwa kamu sedang berbunga-bunga karena baru aja jadian sama cowok terganteng di Bali."
"Sarap."
Seketika Ruby meringis geli di sela-sela tawa karena Oska memiting lehernya. Namun, tak lama tawa mereka lenyap saat seorang perempuan berjalan keluar area pemakaman.
"Aiishh. Ngapain dia disini? Merusak mood baik aja."
Ruby melepas kungkungan tangan Oska. "Jangan begitu. Bagaimana pun juga, Nala adiknya Sachie."
Oska melirik Ruby sambil membenarkan posisi kacamatanya yang tidak berubah sama sekali. "Seingat aku, dulu kamu nggak pernah bisa ramah ke Nala, kenapa sekarang berubah pengertian begini?"
"Seingat aku, dulu kamu orang yang nggak banyak komentar, kenapa sekarang jadi ribet sendiri begini?"
"Hei." Oska mendelik. "Aku nggak ribet ya, aku cuma—"
"Nala ... abis ziarah?" Masa abis kondangan.
Gadis itu berhenti sejenak, memandangi mereka bergantian, kemudian berjalan lagi saat Ruby ingin mendekat. Nala melewati mereka dengan kepala tertunduk, sesekali mengusap pipinya. Tidak ada lagi Nala yang selalu mengangkat dagu seperti kemarin.
"Tuh kan, aku bilang juga apa." Seru Oska. "Orang kayak Nala yang nggak kenal kata sopan santun itu emang nggak bisa dibaikin. Sekali nyebelin ya tetap nyebelin..."
Ruby mengabaikan Oska yang terus mengoceh. Pandangannya masih mengikuti Nala yang semakin menjauh. Ia akan mengerti jika Nala masih marah, bahkan semakin membencinya. Mungkin kejadian di rumah Oska membuatnya datang ke makam Sachie siang-siang terik begini untuk mengadu.
Namun, satu hal yang membuat Ruby tidak mengerti. Kenapa Nala masih memakai baju yang sama seperti kemarin. Walaupun di balut kemeja flannel—kemeja cowok(?)—tapi Ruby ingat dengan setelan Nala. Wajahnya juga pucat. Apa dia belum pulang sama sekali? Bukankah nenek menyuruhnya pulang cepat? Tidak mungkin 'kan Nala tidak berganti pakaian selama dua hari?
![](https://img.wattpad.com/cover/205886463-288-k531898.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Starlight for Yamaza
Fiction générale"Dia bukan cowok most wanted dengan segala pesona yang bikin cewek-cewek alay keganjenan kayak cacing kepanasan. Tapi bukan berarti dia cupu. Dia cuma anak pendiam, yang pasrah dengan kondisinya. Satu-satunya cowok yang selalu bawa bekal ke sekolah...