Sebelum mandi, Oska meninggalkan kamar dengan handuk mengalung di leher. Kakinya terseret cepat menuju dapur, dimana sudah ada Mama dibantu asisten rumah sedang sibuk menyiapkan sarapan.
"Pagi, Mama. Pagi, Mbok Putu."
Sang asisten rumah membalas sapaannya. Kemudian Mama menoleh sebentar, tersenyum cantik. "Pagi, Sayang. Tumben baru bangun langsung ke dapur."
"Haus."
"Memangnya di kamar nggak ada—ya ampun, Mama baru ingat semalam lupa naruh air putih ke kamar kamu." Wanita itu bergegas mengambil gelas di rak kabinet. "Semua ini gara-gara Papa minta pijit sebelum tidur." Entah pijit beneran atau dalam tanda kutip.
"Oska bisa ambil sendiri, Ma." Oska menahan tangan Mama, mengambil alih gelas. "Mama bisa lanjut masak."
"Anak baik, Mama." Mama mengacak rambutnya gemas. "Kalau kedua kakak kamu pasti akan dengan hati diambilin, sambil mengeluarkan gombalan receh ; uuhh Mama cantik deh, aiishhh Mamaku emang Mama terbaik segalaksi." Oska hanya terkekeh melihat ekspresi Mama memperagakan gaya Abang El dan Kak Naya. "Ya udah, jangan lupa kalau minum duduk."
Oska meng-iya-kan sambil menuangkan air putih segelas penuh, duduk di kursi meja persiapan dan meneguknya perlahan.
Melihat Mbok Putu membuka kulkas, Oska jadi teringat sesuatu. Ia beranjak, membuka lemari kabinet dan mengambil kotak makan berwarna putih.
Keningnya mengerut melihat isi kulkas. Punggung Oska semakin menunduk mencari sesuatu di antara barisan makanan yang lain.
"Ma, cupcake Oska kemana?"
"Cupcake?"
Tangan Oska membuka kulkas bagian atas. Siapa tau ada yang iseng ingin membuat es batu dengan isian cupcake. "Kemarin waktu Mama bikin buat arisan, Oska pisahin empat biji. Kok nggak ada?"
"Kamu simpennya dimana? Ingat-ingat lagi."
Di kulkas dong, Ma. Masa di Pluto.
Melihat Oska terus menggeser letak isi kulkas kesana kemari, Mama meminta Mbok Putu melanjutkan mengiris daun bawang untuk campuran omelet daging.
"Apa yang kamu maksud, cupcake dengan topping oreo sama cherry?"
Oska menoleh berbinar. "Iya. Dimana, Ma?"
Bahu Mama melorot. "Tengah malam Papa kelaparan. Mama udah capek banget kalau harus masak. Jadi Mama kasih cupcake itu ke Papa."
Oska melongo. "Semua?"
"Iya. Tau sendiri Papa kamu makannya banyak." Mama bersuara lagi melihat Oska siap protes. "Lagian Mama mana tahu kalau itu punya kamu, Dek. Mama pikir itu sisa arisan kemarin—"
"Ma—"
"—kamu juga tumben pisahin. Empat lagi. Maksimal kamu boleh makan cupcake itu cuma dua dalam seminggu. Dan itu udah kamu—"
"Yang ini bukan buat Oska."
"—lakukan kemarin—Apa?" Kening Mama mengerut. "Trus buat siapa? Emang kamu udah punya temen pengganti Adi? Atau mau bagi-bagi sama teman sekelas untuk merayakan kamu masuk setelah dua hari absen? Kurang banyak dong, Ka. Nanti—"
Plis deh, Ma. Ini masih terlalu pagi untuk mengeluarkan kekuatan cerewet ala emak-emak komplek.
"—Mama bikin yang banyak kalau—heh? Kamu mau kemana?" Mama ingin meraih Oska, tapi anak itu sudah menyeret kakinya meninggalkan dapur.
"Kamu belum jawab pertanyaan Mama. Buat siapa, Dek?"
Oska menghentikan langkah di depan tangga, berbalik badan. "Semalam MU menang, dengan begitu Oska menang taruhan dari Dwika—" Dwika—sepupunya yang tinggal di Jakarta. "—sekarang Oska mau telpon dia. Pulsa 100 ribu, lumayan lah buat main game."
KAMU SEDANG MEMBACA
Starlight for Yamaza
General Fiction"Dia bukan cowok most wanted dengan segala pesona yang bikin cewek-cewek alay keganjenan kayak cacing kepanasan. Tapi bukan berarti dia cupu. Dia cuma anak pendiam, yang pasrah dengan kondisinya. Satu-satunya cowok yang selalu bawa bekal ke sekolah...