Mazda merah jenis sedan itu berhenti. Ruby keluar dengan beberapa kantong plastik, kemudian terdiam sebentar sebelum tersenyum melihat mercy-nya Oska di pinggir jalan. Ia dekati mobil itu dan membungkuk di samping pintu kemudi.
"Mas Aji?"
Pria yang sedang bermain games cacing dari handphone itu tersentak kaget. "Eh, Mbak Ruby?"
"Ngapain di mobil? Nunggunya di teras aja, disini panas."
Aji keluar mobil. "Nggak pa-pa disini aja, Mbak. Jagain mobil."
"Mobilnya nggak akan kemana-mana, perumahan ini aman. Ke teras aja, ya, nanti saya bawakan makanan buat temen main games. Kebetulan saya baru beli banyak buah dan cemilan." Ia angkat dua buah plastik putih cemilan dan buah.
"Nggak salah." Ini pernyataan, yang ditangkap Ruby sebagai pertanyaan.
"Kenapa harus salah? Nggak usah sungkan, cuma makanan ringan dan segelas minuman nggak akan bikin saya miskin." Ruby berseloroh.
"Maksudnya, pilihan bos emang nggak salah."
"Ya?"
Aji menggeleng tersenyum. "Silakan, Mbak Ruby duluan. Nanti saya nyusul."
Ruby masuk rumah, melihat jus jeruk di meja masih utuh. Pandangannya menyapu ruang keluarga, kemana Bian?
Kemudian berhenti kearah pintu kamar Raiden yang terbuka. Mungkin disana.Ia menuju meja makan untuk menyiapkan bubur, obat Raiden dan salak pesanannya. Tak lupa menyuruh Mbak Ning mengantarkan makanan dan minuman untuk Aji.
Saat berbalik, Oska sudah duduk di anak tangga dekat pintu kamar Raiden sambil mengangkat ponsel seperti sedang melakukan video call.
"Bian?"
Oska menoleh, bertepatan saat panggilannya videonya berakhir. "Hai. Udah pulang? Sini saya bantu." Oska mengambil wadah salak yang terlihat membebani nampan di tangan Ruby.
"Lo ngapain disini?"
"Abis terima video call kakak saya. Dia bilang besok twins udah boleh dibawa pulang, dan keluarga mau ngadain acara penyambutan kecil-kecilan."
Beberapa menit yang lalu, panggilan dari Kak Naya menghentikan langkahnya. Untung Kak Naya. Oska bisa jantungan kalau Ruby yang memergoki.
Kening Ruby berkerut-kerut melihat senyum Oska yang terkesan terpaksa. "Kenapa? Ada masalah?"
"Nope."
"Jangan bohong."
Oska menghela napas berat. "Nggak tahu kenapa saya merasa sedih. Bukan karena nggak bisa gabung di acara besok. Hati rasanya nggak enak aja, kayak ada yang ngeganjel waktu lihat muka Kak Naya agak pucat."
"Udah lo tanya sama dia?"
Oska mengangguk. "Katanya sejak lahiran jarang make up."
Ruby tersenyum. "Melahirkan dan mengurus bayi sehat aja melelahkan, apalagi dua bayi premature." Ruby mengusap lengannya. "Udah tenang aja, setahu gue, keracunan kehamilan itu obatnya dengan melahirkan bayinya. Ketiganya jelas udah selamat, nggak ada yang perlu lo khawatirin lagi. Lo sendiri 'kan yang cerita kalau dia harus bolak balik rumah sakit buat kasih ASI? Mungkin kakak lo cuma kecapekan yang bikin mukanya pucat."
Oska mengangguk, walaupun ragu. "Semoga."
Ruby kembali menghibur dengan menyarankan agar Oska menelpon kakaknya lagi, atau ke Jakarta sekalian. Oska menolak dengan alasan besok ada rapat pengisi acara perpisahan di sekolah. Dia juga meyakinkan gadis itu kalau perasaannya sudah lebih baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Starlight for Yamaza
Fiction générale"Dia bukan cowok most wanted dengan segala pesona yang bikin cewek-cewek alay keganjenan kayak cacing kepanasan. Tapi bukan berarti dia cupu. Dia cuma anak pendiam, yang pasrah dengan kondisinya. Satu-satunya cowok yang selalu bawa bekal ke sekolah...