"Yakin air mineral doang?"
Oska memegangi handle pintu lemari pendingin minimarket warna dominan merah kuning dengan kening mengerut.
"Gue emang mau traktir dibawah ceban, tapi bukan berarti minuman yang murah juga, ya—"
"Nggak papa."
"—lo bisa ambil minuman sari buah, isotonik, soda atau apa kek. Atau—"
"Ini udah cukup."
"—ini, beli dua gratis satu. Harga minuman teh ini kalau ditotal jadi 12 ribu. Nggak pa-pa deh lebih dua ribu, kan jadinya dapet tiga. Nih."
"Makasih." Oska mengangkat botol air mineral dingin yang katanya ada manis-manisnya. "Ini aja."
Sachie mengambil minuman pilihannya lalu menutup pintu kaca. "Lagi diet? Segitu masih kurang kurus? Pengen punya badan tipis kayak iklan susu penggemuk badan?"
"Enggak."
"Trus?"
"Aku suka air mineral." Terpaksa karena tuntutan kondisi tubuh.
Sachie berjalan menuju rak minuman, mengambil jamu titipan Ruby, kemudian membawa belanjaan mereka ke kasir. Tawaran promo dari petugas kasir ditolak dengan halus.
Setelahnya Sachie keluar, duduk di kursi yang disediakan di teras minimarket. Sementara Oska ijin pergi ke toilet.
Untung awan kembali menutupi matahari, jadi tidak terlalu panas. Sachie menaruh plastik belanjaannya di meja kecil. Kemudian meneguk minuman fermentasi kesukaan dengan bentuk botol secebol badannya—Yakult.
Kedua tangan Sachie sedang sibuk mengikat rambut saat suara seseorang memanggil.
"Sachie?"
Gadis itu mendongak, sesaat napasnya tercekat. "M—mas Raiden?"
"Lo ngapain disini? Nggak sekolah?" Pandangan cowok itu melihat kearah VesBy. "Ruby mana? Jangan bilang kalian bolos. Karena kalau iya—"
"Eh? enggak lah." Sachie menghela napas pendek sebelum menjawab pertanyaan kakaknya Ruby ini. "Ruby di sekolah, Mas. Gue lagi nganterin pulang temen yang tadi pingsan di sekolah. Mas Rai sendiri ngapain disini ... nggak kuliah?"
"Udah pulang. Ini mau beli cemilan, temen-temen mau kumpul di rumah."
Seseorang yang baru keluar minimarket mengalihkan pandangan cowok berkaus putih itu. "Elo nganterin dia?" Sachie mengangguk. "Naik VesBy?" tekannya tak percaya.
"Iya." Parkiran minimarket sedang sepi siang ini. Hanya ada vespa matic merah milik Ruby dan mobil sedan Mazda 6 warna merah metalik milik Raiden.
"Kok bisa? Sejak kapan adek gue bolehin orang lain—selain elo tentunya—naik VesBy? Seujung jari gue aja sampe sekarang nggak boleh nyentuh Kue Apem itu." Raiden menunjuk motor cantik Ruby dengan dagunya.
Kalimat itu menjadi informasi tersendiri buat Oska. Ruby sang pemilik motor yang mendapat julukan Kue Apem dari kakaknya, ternyata seposesif itu dengan motornya. Oska jadi tidak enak. Tapi kenapa dia—yang notabene mereka belum kenal—mengijinkan dirinya untuk menaiki motor kesayangannya?
"Nggak tau, Mas. Kayaknya karena Ruby juga lagi butuh ini deh." Sachie menunjukkan isi belanjaannya. "Jadi sekalian, gue disuruh beli."
Raiden terbelalak, wajahnya berubah khawatir. Adiknya itu anti obat-obatan atau jamu-jamuan, kecuali jika nyerinya sudah tak tertahan. "Ruby gimana sekarang?"
"Lagi istirahat di UKS. Dan kayak biasanya. Tanduknya udah keluar dengan mood mirip naga yang siap nyemburin api kalau disenggol."
Ya. Itu salah satunya. Selebihnya pasti diisi dengan mencari posisi ternyaman, bergerak kesana kesini, serba salah. Raiden hafal betul bagaimana kebiasaan adiknya, pasti sekarang Ruby sedang merintih kesakitan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Starlight for Yamaza
Beletrie"Dia bukan cowok most wanted dengan segala pesona yang bikin cewek-cewek alay keganjenan kayak cacing kepanasan. Tapi bukan berarti dia cupu. Dia cuma anak pendiam, yang pasrah dengan kondisinya. Satu-satunya cowok yang selalu bawa bekal ke sekolah...