YAMAZA - BAB 28

1K 113 83
                                    

Setiap orang pernah merasakan penyesalan dalam hidup, masalah besar kecil, penting tidak penting. Pasti pernah, walaupun cuma sekali.

Termasuk Oska.

Salah satu penyesalannya adalah membawa seorang gadis cantik duduk di kursi kayu di stan es kelapa kantin rumah sakit.

Demi apapun, tempat ini sebelumnya sepi, hanya ada seorang pria yang sedang menyerut kelapa muda sambil mendengarkan lagu campur sari. Sementara pria yang lebih tua—sepertinya sang pemilik warung—uring-uringan karena kegiatannya menonton video konten horror terganggu dengan suara merdu sang pegawai.

Oska memandang sekeliling, pada pria pembeli siomay yang belum lama pindah duduk lebih dekat dengan mejanya, pada tukang balon yang mondar-mandir sambil lirik-lirik dengan alasan balonnya dibawa terbang kucing. Hey, Centong Nasi, sejak kapan ada kucing terbang?

Pandangannya bergerak kearah kiri, pada pelanggan soto ayam yang baru duduk padahal stan soto ada di ujung barat kantin dan stan es kelapa ada di ujung timur. Belum lagi para pengunjung yang selalu mencuri padang ke arahnya setiap kali lewat.

Ralat, mereka tidak melihat kearahnya, melainkan kearah gadis yang duduk di seberang mejanya.

Oska mengeram. Ingin rasanya ia colok mata jelalatan mereka satu-satu. Kayak nggak pernah lihat cewek cantik aja.

Diam-diam Oska mengambil karet gelang kotor dari lantai, menjadikannya menjadi senjata sederhana dan mengarahkan ke mangkuk soto. Kyaaakk! Karet sukses meluncur, kuah bercipratan kemana-mana dan pria itu pergi karena matanya perih.

Untuk tukang balon, Oska mengusirnya dengan cara yang lebih 'halus'. Ia memesan seratus balon dan harus ditiup dengan mulut penjualnya sendiri tanpa bantuan alat. Halus, kan?

Sebelum duduk, dari belakang tubuh penikmat siomay, Oska memasukkan sisa es cendol di meja seberang, lengkap dengan remasan tisu ke dalam piring. Orang itu terlalu fokus melihat ke arah mejanya dan baru sadar saat rasa aneh masuk ke mulut—siomay toping cendol plus tisu.

Mampus!

Oska terkikik dan seketika suaranya tertelan lagi, menyadari gadis itu tidak bereaksi sedikit pun.

Ya, gadis itu, yang—lagi-lagi—ketemu di depan toilet.

Dia. Ruby.

Selain karena risih, tingkah jahilnya mengusir orang-orang itu Oska lakukan agar mendapatkan notice dari Ruby. Minimal gadis itu akan merespon—oke, mungkin merespon terlalu muluk-muluk, Oska akan membuatnya lebih realistis dengan menoleh.

Ruby akan menoleh, memandangnya penuh ingin tahu. Oska dengan sisa tawanya akan menjelaskan kekesalannya pada orang-orang yang sok-sokan makan padahal pengen caper, yang sudah bau tanah tapi lupa umur, dan—halu.

Karena semua itu hanya imajinasinya Oska.

Faktanya, sudah lima belas menit mereka duduk, Ruby masih memandangi es kelapanya sambil mengaduk pelan dengan sedotan, tidak terpengaruh dengan kegaduhan kecil di sekitar.

Semua terasa canggung dan kaku. Oska harus segera mencari bahan obrolan atau suasana akan semakin mencekam seperti upacara pemakaman di kuburan keramat.

"Bayi."

Ruby berhenti sebentar, tubuhnya terlihat menegang.

"Kamu apa kabar?"

"... baik."

"Aku juga baik."

Nggak ada yang nanya, Ka.

Starlight for YamazaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang