YAMAZA - BAB 10

1.1K 89 15
                                    

"Hah?" Motor baru saja berhenti, Ruby sudah disambut dengan senyuman lebar Sachie yang membuatnya ingin muntah. "Jamu lagi?"

"Yup. Nih, minum. Mumpung masih anget."

Ruby melirik ngeri minuman berwarna cokelat dengan bau kurang sedap dalam cangkir di tangan Sachie. "Cukup kemarin aja gue minum jamu buatan Nenek itu. No more."

"Nenek bilang harus diminum selama tiga hari ke depan. Lebih bagus lagi kalau rutin seminggu tiga kali, biar badan lo sehat."

"Gue sehat dan selalu sehat. Lo minum aja sendiri, biar otak lo warasan dikit."

"Dalam teori kesehatan, mimisan itu sinyal bahwa sedang terjadi sesuatu dengan tubuh kita, By."

"I know, Chichie. But, you know me so well, right? Gue udah biasa kayak gini. Apa perlu gue ingetin kalau cita-cita lo itu jadi perawat, bukan tukang obat tradisional?"

"Maka dari itu gue lagi belajar merawat elo. Come on, baby."

"I'm not baby."

"Yeah, cause you are Byby. Pemilik tatapan laser dengan aura kuburan keramat, mulut Boncabe, tapi muka Bebelac. Kyaaaaaa~!" Sachie terbahak, sampai matanya hilang.

Untung Ruby sudah kebal dengan kegilaan Sachie. Ia langsung menyalakan Vesby, memutar gasnya keras-keras. "Buruan ambil tas sama helm, kita langsung berangkat. Tadi gue ketemu Nenek di depan, udah sekalian pamitan."

Tawa Sachie hilang. "Lo beneran nggak mau minum? Ini emang racikan Nenek, tapi gue bela-belain bangun subuh buat nyeduh. Khusus buat lo, By."

"Chichie—"

"Lo nggak akan mati cuma karena jamu."

"Dan gue juga nggak akan mati kalau nggak minum jamu itu."

"Tapi bisa dipastikan gue akan merasakan kesedihan berkepanjangan melebihi panjangnya musim kemarau tahun ini, Bybyyy~"

Hadeeeehh~ Lebaynya kumat.

"Ayolah, By. Kali-kali nurut sama gue. Ya, ya, ya."

Ruby mendelik. Kali-kali? Seriously?

Helaan napas berat akhirnya terdengar. Bukan Ruby namanya kalau tidak panjang sabar menghadapi gadis yang kemarin baru potong rambut itu. "Setengah-setengah atau gue nggak minum sama sekali."

Sachie tersenyum lebar seperti ciri khasnya, ingin bersuara tapi Ruby mendahului. "Dan tambahin satu sendok madu."

"Siaaapppp~ Sekalian racunnya nggak? Hahahaa."

Ruby melotot, kemudian serangan datang secepat kilat, membuat matanya terpejam dalam. Tahu-tahu Sachie memegang kepala dan mencium pipinya. "I love you, Sweetheart. Muuaachhh~"

Ruby terkikik geli, kebiasaan Si Sarap ini kalau mencium pipinya pasti sampe penyet dan berulang-ulang. Kulit kepala Ruby sampai sakit karena rambutnya ketarik. Didorongnya Sachie sambil tertawa dan memintanya segera mengambil madu.

"Nah, gitu dong ketawa. Beberapa hari ini muka lo asem mulu kayak orang mabok cuka basi."

Cuka aja udah asem, ditambah basi lagi. Kecyuuutt.

Tawa Ruby mengiringi langkah Sachie masuk rumah. Perlahan menyamar saat pandangan matanya menyapu cangkir jamu di tangannya. Kemarin Oska, sekarang Sachie. Kenapa semua orang suka sekali memaksa? Dan kenapa dirinya tidak bisa menolak? Kemana Ruby yang tegas? Untuk Sachie mungkin ia sudah biasa seperti ini, tapi Oska—

"Yuhuuuu~" Sachie datang membawa botol madu dan sendok, "jamu 'Buyung Upik' untuk si bayi ala Sachie udah jadi."

Setelah dicampur madu, mereka meminum jamu itu bergantian. Ruby bergidik merasakan minuman aneh itu masuk tenggorokan. Mau tak mau ia mengambil permen dari tas.

Starlight for YamazaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang