Sebelumnya maaf kalau akhir-akhir ini update-nya lama.
Selain lagi ada problem dunia nyata, kondisi badan juga lagi nggak fit, ini disempet-sempetin nulis di tengah hidung kadang meler kadang mampet huhuuuMakasih buat yang setia baca, vote, apalagi komen. Tau nggak sih komen-komen kalian itu jadi semangat buat nulis hehehee
Walaupun komen banyak atau dikit bakal tetep dilanjut (itu komitmen aku; berani keluarin cerita, berarti hrus tanggung jawab buat tamatin), tetep aja agak sedih kalau vote komen makin kesini makin menurun xixixiii
Tapi maklum sih, mungkin pembaca udah boring krna alurnya atau krna penulis jarang update hhihiii maap.******
Hal pertama yang Oska lihat ketika masuk mobil adalah sosok Ruby beberapa tahun lalu versi pria tua. Tenang, dingin dan mengintimidasi. Terjawab sudah dari mana bibit aura judes gadis itu berasal.
"Ucup."
Oska tidak mengerti apa yang Hiroshi Abe minta pada asisten yang duduk di depan. Tangannya terulur, sebuah benda sebesar genggaman dia terima. Oska menelan ludah. Meskipun belum terbuka, namun ia tahu benda apa itu.
Pisau lipat.
Entah apa yang akan Hiroshi Abe lakukan; mengambil ginjalnya untuk dijual, mencincang dagingnya untuk makanan anjing liar, atau memotong jarinya jika salah bicara.
Bodo amat. Apapun itu, ia tidak boleh menunjukkan keterkejutannya. Dia pikir Oska takut. Sama sekali enggak. Karena Oska ... takut sekaliiii~
Astaga, pisau lipat, man! Pisau lipat yang sekali tekan langsung mencuatkan titik tajam berkilaunya.
Melihat Hiroshi Abe memutar benda itu dan wajah kaku Ucup yang tidak pernah tersenyum, diam-diam Oska bergidik ngeri, membayangkan nasibnya mungkin akan habis malam ini; dimutilasi, dimasukkan bagasi dan akhirnya dibuang ke laut.
Oska menghela napas panjang dan tak sengaja melihat Ruby yang berdiri di teras dengan wajah khawatir. Demi apa, hanya karena pisau lipat kamu udah ciut nyali, Ka. Gadis di depan pintu itu sedang menunggu perjuanganmu. Jangan cemen. Lupakan semua ketakutan, karena kebahagiaannya lebih penting, bahkan dari biji matamu sendiri.
Mulutnya hampir terbuka sebelum Hiroshi Abe mendahului. "Berkelahi?"
Oska melirik Ucup yang menerjemahkan kalimat itu. Reflek tangannya terangkat meraba luka di wajahnya. "Ada sedikit kesalahpahaman dengan Mas Raiden."
Hiroshi Abe tidak perlu melakukan apa yang Oska lakukan. Dia masih bermain dengan benda di tangannya itu sambil mendengarkan Ucup.
"Ck. Tahu begitu aku akan nitip satu dua tonjokan manis."
Suara Oska hampir keluar, namun lagi-lagi pria tua itu memotong. Apa mungkin Hiroshi Abe dulunya hobi balapan? Suka banget menyalip omongan orang.
"Bisa bahasa Jepang?"
"Enggak, emm—belum."
"Payah." Kemudian ia membuka iPad. "Padahal itu syarat pertama untuk menjadi suami Ruby."
Oska melihat Hiroshi Abe memberi tanda 'X' di ujung tulisan Jepang. Matanya terbelalak setelah Ucup selesai mengartikannya. "Saya akan belajar bahasa Jepang. Saya juga siap melakukan syarat apap—"
"Karena orang yang dekat dengan Ruby itu kamu, maka semua syarat sudah tidak penting lagi."
Pria itu memberi tanda 'X' pada daftar syarat karyanya sendiri, yang berisi;
- harus bisa berbahasa Jepang ❌
- setiap musim panas harus berada di Osaka untuk mengikuti tradisi keluarga Abe yang menggelar pesta kembang api pribadi ❌
KAMU SEDANG MEMBACA
Starlight for Yamaza
General Fiction"Dia bukan cowok most wanted dengan segala pesona yang bikin cewek-cewek alay keganjenan kayak cacing kepanasan. Tapi bukan berarti dia cupu. Dia cuma anak pendiam, yang pasrah dengan kondisinya. Satu-satunya cowok yang selalu bawa bekal ke sekolah...