Pria berkacamata itu mendekati Ruby, mengintip apa yang sedang dipeluknya. Ia duduk di tepi tempat tidur, merangkulnya dan mengambil foto dari pelukan Ruby.
"Kangen Okaasan?" tanyanya berbahasa Jepang. [Okaa-san; ibu]
Gadis 12 tahun itu hanya menunduk seiring bulir yang meluncur. Bahunya bergetar, dan segera mendapat usapan sayang Sang Kakek—Hiroshi Abe.
"Kamu tahu? Sekarang dia sedang berkumpul dengan Obaachan di alun-alun surga. Okaasan bermain piano di pinggiran air mancur, Obaachan menyanyi dengan suara cemprengnya. Hahaa. Pasti seisi surga mules dan pengen nendang Nenekmu itu ke neraka." Kakek tertawa sendiri, candaannya tak membuat Ruby tersenyum, apalagi tertawa. [Obaa-chan; nenek]
Bahu Ruby semakin bergetar, yang membuat tawa itu menyamar melihat tangis cucunya semakin deras.
"Apa Kakek pernah bilang kamu gemesin kalau lagi nangis? Kakek ingat waktu mendatangkan badut monster avocado di ulang tahunmu yang ketujuh. Kamu menjerit, lari-larian menangis. Pipi merahmu sangat menggemaskan. Kakek bahagia sekali waktu itu. Tapi Kakek nggak suka dengan tangisanmu sekarang. Kamu lebih jelek dari monster avocado, tau."
Ruby masih sibuk memelintir ujung piyama biru muda bergambar donat bertabur meses warna-warni. Kakek melepas kacamatanya, menaruhnya di nakas bersamaan dengan foto menantunya.
"My baby." Ia rengkuh cucu kesayangannya erat. "Sudah satu minggu dan kamu masih seperti ini setiap malam? Ayolah, sayang. Mama kamu sudah bahagia. Jangan bersedih terus, nanti Kakek ikut sedih. Lihat! Ya ampuunn~ masa cucu orang terkaya nomor 3 di Jepang kurus kering kayak gini. Kakek bisa diketawain kantung Doraemon. Kapan terakhir kamu makan? Kakek suapin, ya? Kamu mau makan apa?"
Ruby menggeleng.
"Oh, jadi si pecinta makanan ini lagi nggak mau makan. Oke. Kamu maunya apa? Liburan ke Eropa? Sewa Universal Studio seharian? Atau, minta dibuatkan Sea World di belakang rumah? Ayo, sebutkan, baby."
Ruby menjawab dengan bahasa Jepang yang lebih fasih dari pada Raiden. "Aku mau ikut Mama."
"Demi leluhur yang menari di langit, kamu ngelindur? Setelah Mama kamu, sekarang kamu juga mau meninggalkan Ojiisan, heum?" [Ojiisan; kakek]
Ruby memeluk kakeknya erat. "Mama kenapa pergi, Kek? Kenapa dia pergi dengan cara seperti ini?"
Kakek terdiam, menghela napas berat. "Semua orang akan pergi, baby. Nenek, Mama, Kakek, Bapakmu yang—pokoknya semuanya, pasti pergi. Sudahlah, jangan dipikirkan. Kakek udah capek nangis."
Kemudian dilepas pelukan Ruby untuk mengusap pipi basah Sang Cucu. "Jangan takut, kamu nggak sendiri, masih ada Kakek. Sekarang kemasi barang-barang kam—ah, tidak usah. Kamu tidak usah bawa apa-apa, 'rongsokan-rongsokan' ini tinggal aja disini. Nanti Kakek belikan yang baru."
Yang disebut rongsokan adalah baju-baju di lemari yang masih bagus, adalah perlengkapan sekolah yang tersusun rapi, bersih dan baru, dan semua barang khas remaja di kamar Ruby.
Air mata gadis itu berhenti mengalir. "Berkemas? Emang mau kemana?"
Kakek kembali duduk. "Besok pagi kita pulang."
"Pulang? Apa maksudnya pulang?"
"Kamu dan Raiden akan ikut Kakek ... pindah ke Jepang."
Ruby tersentak. "Pindah? Enggak. Aku nggak mau."
"Baby, disini nggak ada siapa-siapa. Keluarga Mama kamu sudah kembali ke daerahnya. Dan Kakek harus meninggalkan kalian yang masih di bawah umur tinggal sendiri? Demi kekayaan Hiroshi Abe yang nggak akan habis tujuh turunan delapan tanjakan, kamu bercanda?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Starlight for Yamaza
Ficción General"Dia bukan cowok most wanted dengan segala pesona yang bikin cewek-cewek alay keganjenan kayak cacing kepanasan. Tapi bukan berarti dia cupu. Dia cuma anak pendiam, yang pasrah dengan kondisinya. Satu-satunya cowok yang selalu bawa bekal ke sekolah...