"Ruby ..."
Langkah Aji ikut tertahan karena Nala tiba-tiba berhenti. Gerakannya mengikuti gadis itu yang memutar tubuh dan menatap pintu utama yang baru saja mereka lewati. "Keadaan di sini masih kacau, lebih baik kamu pulang."
Nala bergeming.
"Ibu Lintang nyuruh aku bawa kamu pergi, tolong jangan persulit kerjaan aku. Sekarang mau pulang naik apa? Taksi atau ojol?" Aji menjauhkan kedua tangannya dari lengan Nala, kemudian membuka aplikasi Grab di ponselnya. "Aku cuma bantu pesankan, karena aku lebih milih berangkat kerja dari pada ngurusin kamu."
Aji mengotak-atik ponselnya sambil melemparkan pertanyaan-pertanyaan untuk Nala, sampai akhirnya ia kesal sendiri karena setengah menitnya terbuang sia-sia. Jangankan menjawab, bahkan Nala tidak meliriknya sama sekali.
"Heh, Nala. Kamu budek apa budek banget, sih?! Pantas aja Oska nggak suka, kamu itu menyusahkan. Jadinya mau apa? Taksi atau oj—"
"Ruby,"
"Hah? Mau Rub—" Aji berdecak. "Udah aku bilang, mending kamu pulang. Sumpah susah banget dibilangin. Berhenti gangguin Ruby. Kamu nggak lihat tadi Oska gimana? Ayo, turun."
Aji melenggang menuju motornya. Namun, langkahnya terhenti—lagi—karena sampai undagan habis tidak ada langkah yang mengikuti. Ia menoleh, Nala masih terpaku di tempatnya, bahkan gadis itu melupakan sepatunya yang masih berada di rak samping pintu.
"Nala—"
"Ruby ... nggak akan mati, kan?"
"Apa?"
"Dasar budek!"
Aji melotot, berlari menaiki undagan lagi. "Heh! Kamu ngatain aku budek?! Sial—" Suara Aji kembali tertelan begitu melihat Nala tiba-tiba terduduk.
"Darah ... Ayah ... Ibu ..."
Kening Aji mengeryit, gadis itu bergumam tidak jelas dan tubuhnya terlihat bergetar.
"Tolong ... jangan ada kematian lagi. Please." Tangan Nala naik meremas rambut, mulutnya kembali menggumamkan kalimat yang sama.
Emosi Aji menguap. Ia memandang ke sekeliling, bingung dengan sikap random yang ditunjukkan Nala. Akhirnya pria itu melipat kaki, tangannya ingin menyentuh bahu, namun hanya berakhir mengambang dengan jarak lima centi sebelum ia tarik lagi.
"Nala,"
"Aji,"
Aji terkejut tiba-tiba Nala mengangkat wajahnya.
"Bilang sama aku ... apa Ruby akan mati?"
"Pertanyaan konyol. Kamu pikir aku Tuhan?" sergah Aji. Ekspresi gadis itu kembali mengenaskan. Matanya sudah menggenang. Aji mengusap wajahnya sendiri. "Ketahuan banget tiap pelajaran agama pasti sibuk mainan hape. Dasar bodoh. Semua orang pasti mati lah, tinggal nunggu giliran aja. Kenapa? Kamu berharap Ruby mati sekarang?"
Genangan itu akhirnya tumpah. Mulut Aji ternyata lebih pedas dari Oska.
"Lah malah nangis." Aji menggaruk leher belakangnya. Cewek emang bersahabat baik dengan kata ribet. "Oke, mungkin ini bisa bikin kamu tenang. Aku udah ngikutin mereka sejak masih ingusan. Ruby cuma mimisan. Kamu kayak gini karena takut sama Oska?"
Nala berpaling kemudian menggeleng.
"Lalu? Ah, aku tahu. Kamu pasti lagi akting ngenes biar aku kasihan. Kebaca banget." Aji berdiri dengan senyum meledeknya. "Tapi, berhubung mood aku lagi bagus karena baru dapat bonus dari Boss, aku akan antar kamu pulang."
"Aku nggak butuh belas kasihan." Nala mengusap pipinya sesaat sebelum mengambil ponsel. Bicara dengan komplotannya Oska justru memperburuk mood-nya. Kemudian ia melirik Aji yang masih bersedekap sambil bersandar di pot besar. "Kenapa masih disini? Pergi sana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Starlight for Yamaza
General Fiction"Dia bukan cowok most wanted dengan segala pesona yang bikin cewek-cewek alay keganjenan kayak cacing kepanasan. Tapi bukan berarti dia cupu. Dia cuma anak pendiam, yang pasrah dengan kondisinya. Satu-satunya cowok yang selalu bawa bekal ke sekolah...