Suatu sore di Swiss.
"Adek, sini, Sayang."
Mama Lintang menarik kursi meja makan apartemen Oska, meminta si bungsu duduk. Seperti biasa wajahnya selalu terlihat sejuk mirip udara Swiss yang membuat siapapun akan betah tinggal di sana.
"Ada apa, Ibunda Ratu?"
"Ada yang ingin Mama bicarakan. Tante Ami cerita ke Mama..."
"Bye, Ma."
Mama segera menahan lengannya. "Jangan pergi, ini penting."
"Oska udah tahu Mama mau ngomong apa. Iya, Oska janji nggak akan nonton film gituan lagi. Waktu itu Kak Kevin ngajakin Oska sama Uwi, itu juga baru sebentar, eh udah ketahuan tante."
Mama menggeleng. "Kalian udah dewasa, akan sulit menghindari hal semacam itu, tapi bukan itu masalahny—Oskario, duduk."
Wajah sejuk itu menguap seiring terbitnya tatapan tajam. Mau tidak mau Oska menurut.
Mama mendesah, terdiam beberapa saat. Masalah ini tidak bisa dibiarkan, Oska bukan si bungsu yang polos seperti dulu. Perubahan sikap dan kelakuannya pasca operasi, dan harus hidup di negara orang, membuatnya khawatir. Ia tidak ingin anaknya salah jalan.
"Mama membebaskan anak-anak Mama menjalani hidup sesuai masa kalian, Mama nggak pernah melarang kalian pacaran—"
"Iihh, Mama, Oska kan nggak punya pacar."
"—asal bisa menjaga diri." Mama menggenggam tangan Oska, sedikit meremas, membuatnya terdiam. "Terutama untuk anak laki-laki, harus bisa mengendalikan diri dari lawan jenis. Entah itu pacar atau bukan."
Oska mengamati Mama yang melepas genggamannya, lalu menghela napas sambil mengusap tepi cangkir tehnya.
"Banyak orang berpikir tugas terberat orang tua adalah menjaga anak perempuannya, tapi bagi Mama, menjaga anak laki-laki nggak jauh beda, justru kita harus bisa mendidik mereka agar tumbuh menjadi laki-laki sejati yang memiliki tanggung jawab."
Mama menunduk sebentar. "Mama pernah mengatakan ini ke abang; jangan pernah menyakiti perempuan. Siapapun perempuan itu, jangan. Bahkan perempuan nakal sekalipun. Karena kaum perempuan nggak pantas disakiti, cuma laki-laki pengecut yang akan melakukan itu. Lebih baik menghindari jika tidak ingin berurusan."
Oska terdiam.
"Dan ini bagian paling penting." Mama berpaling padanya. "Jika suatu saat kamu sudah menemukan seseorang yang kamu sayang, perlakukan dia dengan baik, seperti kamu memperlakukan Mama dan Kak Naya. Jaga dia, lindungi dia, buat dia merasa aman saat bersama kamu. Karena laki-laki sejati nggak akan 'merusak' orang yang dia sayang. Kamu mengerti?"
Oska masih diam, mencerna kata-kata Mama.
"Ini bukan untuk Mama atau perkara menjaga nama baik keluarga. Percayalah, kebahagiaan anak-anak Mama lebih penting dari apapun. Ini untuk kebaikan kamu. Mungkin sekarang kamu menganggap omongan Mama ini hanya nasihat orang tua yang udah basi, tapi suatu saat kamu akan berterimakasih sama Mama. Bukan hanya kamu yang akan bangga dengan diri kamu sendiri, tapi pasangan kamu juga. Tanpa meminta, dia akan menyerahkan seluruh hati dan hidupnya ke kamu."
"Seperti Mama yang mempercayakan hidup Mama ke Papa?"
"Ya." Mama menyesap tehnya. "Kecuali tampangnya yang ganteng, Papa muda bukan jenis laki-laki potensial yang layak diprospek jadi suami. Jahil, galak, emosian, baperan, kere, nggak pernah mau dengerin omongan orang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Starlight for Yamaza
Fiksi Umum"Dia bukan cowok most wanted dengan segala pesona yang bikin cewek-cewek alay keganjenan kayak cacing kepanasan. Tapi bukan berarti dia cupu. Dia cuma anak pendiam, yang pasrah dengan kondisinya. Satu-satunya cowok yang selalu bawa bekal ke sekolah...