EXTRA PART #2

650 69 12
                                    

Oska memandangi Ruby yang memunggunginya. Bahu mulus itu mengkilap akibat keringat. Ditariknya selimut untuk menutupi tubuh polos mereka berdua. Siku kirinya dijadikan tumpuan kepala agar bisa melihat wajah istrinya itu.

Mata Ruby terpejam, tapi Oska tahu ia tidak tidur. Tangan yang sebelumnya meremas bantal kuat terlihat sudah mulai mengendur.

Oska menyingkirkan anak rambut istrinya yang basah dan menempel di sekitar kening, lalu mengecupnya sayang. Tangannya menyelinap masuk memeluk perut Ruby dari belakang. "Makasih, Bie."

Dengan mata masih terpejam, Ruby hanya tersenyum sambil bergumam lirih.

"Capek?" Yaiyalah, Bego! Nggak lihat bini lo mandi keringet gitu?

"Dengan cara yang menyenangkan." Tangan itu menarik tangan Oska agar memeluknya lebih erat.

"Maaf, ya." Oska menciumi bahunya sayang. "Padahal kamu baru sampai, harusnya aku bikinin susu cokelat, pijitin kaki kamu sambil cerita tentang apa aja yang terjadi selama kita berjauhan, bukannya malah—"

"Dari Jakarta aku naik pesawat, Bie. Bukan gowes becak."

"Tetap aja kamu butuh istirahat. Sebagai suami yang baik dan gemar menabung, harusnya aku—"

"Bie—"

"—bisa mengendalikan rasa rindu dan menyingkirkan pikiran mesum di depan kam—"

"Kamu bisa diam nggak?"

"Bisa. Eh, nggak bisa. Kamu tahu nggak sih aku itu lagi merasa bersalah sama kamu karena—"

Tiba-tiba Ruby berbalik dan mengecup bibirnya. "Masih mau ngoceh?"

Oska terpaku sesaat, sebelum menjatuhkan kepala ke bantal. "Orang lagi pillow talk malah dikatain ngoceh."

Ruby bergerak merapikan rambut Oska. "Pillow talk itu ngomongnya santai, dari hati ke hati, apalagi after sex. Yang kamu lakukan itu kayak orang ngajak tawuran, tau." Tangannya turun mengusap dada Oska dan merebahkan kepalanya di sana. "Bukan kamu aja, Bie. Kita sama-sama menginginkannya."

Kalau diingat-ingat, malam ini Ruby memang lebih agresif dan aktif. Mulai dari ronde satu di sofa sampai ronde dua di ranjang. Bahkan sejak dari bandara, wanita itu tidak melakukan penolakan saat Oska membuka tangan dan memeluknya erat. Ia juga terus membisikkan kata-kata 'kangen kamu' berkali-kali seolah mereka sudah tidak bertemu ratusan purnama. Begitu juga saat di mobil, tangannya tidak lepas menggenggam tangan Oska.

Oska menarik tubuhnya bersandar di kepala petiduran, lalu membawa Ruby masuk ke dalam pelukan. "Sejak kapan? Perasaan tiap kita telponan, kamu kelihatan baik-baik aja, malah aku yang kayak cacing kepanasan."

"Mungkin kamu bakal gede kepala, tapi emang udah beberapa minggu ini aku gampang kangen kamu. Rasanya pengen ngamuk tiap pulang ke apartemen dan nggak ada siapa-siapa, nggak ada orang yang bisa aku ajak cerita."

Oska tersenyum bangga. "Padahal sehari kita berkali-kali chat dan telponan. Dua minggu lalu kita juga ketemu, walaupun nggak punya waktu banyak buat mesra-mesraan sih, karena direcokin si kembar rusuh yang maksa nginep selama aku ngunjungin kamu."

"I know."

Oska menumpukan dagunya di puncak kepala Ruby. "Tadi aku lihat preview buat Sabtu ini, kamu marah-marah ke peserta sampai ngancam akan melepas paksa jaket chefnya dan menggantikannya dengan peserta yang udah dieliminasi. Sepertinya itu efek rindu yang tertahan."

"Wajar aku marah. Mereka udah empat besar, tapi masih ada aja yang nggak bisa bedain daging lamb sama beef." Ruby bersungut-sungut menceritakan pengalamannya sebagai juri, tetapi perlahan kembali tenang begitu Oska mengusap lengannya sayang. "Mungkin pengendalian diri aku lagi buruk, begitu ada sesuatu yang memancing emosi, ya udah keluar gitu aja tanduknya."

Starlight for YamazaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang