Cepat atau lambat, siap atau tidak siap, semua ini akan terjadi. Oska kembali menyatakan perasaannya seperti enam tahun lalu. Ya, Ruby sudah membayangkan ini sejak memutuskan ikut ke Bali.
Awalnya Ruby ragu.
Orang waras di belahan bumi mana pun akan berpikir, bahwa segalanya bisa berubah selama enam tahun. Fisik, sifat, kebiasaan, termasuk perasaan. Siapa yang bisa menjamin ungkapan cinta seorang anak remaja SMA adalah perasaan tulus yang bisa bertahan lama?
Bisa saja hanya cinta monyet, cinta sesaat karena pengaruh emosi jiwa muda—yang kapan saja bisa berubah seiring perjalanan hidupnya. Bahkan ciuman yang pernah mereka lakukan, belum bisa membuat Ruby sepenuhnya yakin bahwa semua itu murni ungkapan rasa suka. Bukankah ada peribahasa; air tenang menghanyutkan. Yang bisa diartikan; Oska luarnya polos dan kalem, tetapi diam-diam mesum.
Belum lagi pernyataan Nala tentang rencana pernikahan, yang semakin menambah keraguannya.
Segalanya sudah berubah, pikirnya kala itu.
Bukan salah Oska jika melupakan seseorang yang pergi tanpa kabar selama bertahun-tahun. Dia berhak melanjutkan hidup dengan siapa pun yang dia mau. Oska tidak bersalah. Dirinya saja yang bodoh karena masih saja menyimpan perasaan untuk seseorang yang bahkan tidak tahu ia masih hidup atau sudah mati.
Namun, ternyata pikirannya juga salah.
Oska tidak seburuk itu. Dia memang tidak sepolos dulu, Oska yang sekarang lebih ekspresif dan sedikit gila, tapi dia baik. Biannya masih seorang cowok hangat penuh ketulusan yang tahu cara memperlakukan perempuan.
Bukan karena melihat kehangatan hubungannya dengan Mama Lintang, bukan karena ucapan Kak Naya malam itu, atau cara interaksi Oska dengan keponakan-keponakannya—karena jelas-jelas mereka tidak pernah akur.
Ruby bisa menilai ketulusannya dari kejadian di hotel.
Tidak ada cowok mesum yang akan membiarkan gadis setengah telanjang di depannya begitu saja. Dan cowok yang tidak memiliki perasaan apapun tidak mungkin mengajak seorang gadis ke rumahnya, dikenalkan dengan seluruh keluarga dan membiarkannya tinggal di sana.
Biannya masih seorang anak yang baik. Ruby yakin dia akan selalu jadi cowok polos yang ia temui di depan toilet. Namun, apa Anak Polos ini mau berjuang untuknya? Apa Anak Polos ini punya nyali yang cukup besar untuk melewati dinding-dinding kokoh yang ada di depannya? Dan, apa Anak Polos ini pantas mendapatkan gadis tidak sempurna seperti dirinya?
"Sebenarnya apa, Bayi?" Suara Oska menyadarkan Ruby. "Jangan bikin aku penasaran seperti pembaca wattpad on going setiap kali baca tulisan 'bersambung'."
Dan kali ini Ruby yang harus bernyali besar untuk mulai bicara, termasuk menyiapkan hati jika Oska memilih menyerah.
"Kamu tahu kakek aku?"
"Hmm? Hiroshi Abe? Orang yang menyuruh kamu sekolah bisnis dari pada culinary school?"
"Dan sangat protektif. Yap. Sejak kecelakaan itu, Hiroshi Abe mengambil alih hidup aku sepenuhnya. Kakek nggak percaya siapapun lagi, dia mengatur semuanya. Jadwal terapi aku selama masa penyembuhan, bodyguard yang selalu mengawal kemana pun aku pergi, sampai sekolah kuliner dan restoran tempat aku magang. Semua di bawah pengawasan dia, bahkan Izanagi Abe—papa aku—nggak bisa berbuat apa-apa."
Wow. Oska melihat sekeliling. Apa di sini ada bodyguard yang diam-diam mengawasi mereka?
Ruby mengerti. Ia mengusap lengan Oska. "Jangan khawatir. Karena selalu menuruti kakek, aku mendapat reward berupa bebas pengawalan selama di sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Starlight for Yamaza
General Fiction"Dia bukan cowok most wanted dengan segala pesona yang bikin cewek-cewek alay keganjenan kayak cacing kepanasan. Tapi bukan berarti dia cupu. Dia cuma anak pendiam, yang pasrah dengan kondisinya. Satu-satunya cowok yang selalu bawa bekal ke sekolah...