Oska belum pernah merasa secanggung ini. Kediaman Ruby selama perjalanan menuju pusat perbelanjaan sangat mengusiknya. Gadis itu tidak seceria saat di aquarium, pandangannya terus menatap ke luar jendela mobil.
Tawaran permen ditolak secara halus, apapun yang dikatakan Oska hanya ditanggapi sekenanya. Suasana semakin mencekam saat Aji mematikan musik audio.
"Mbak—eh, maksud saya, Bayi, ada yang mengganggu kamu? Saya perhatikan dari tadi diam aja."
"Nggak ada."
"Bener?"
"Hmm."
Hening.
Tidak mungkin tidak apa-apa. Jelas sekali sikapnya berubah lagi. Mirip bunglon yang hobi berubah menyesuaikan lingkungan.
Oska mengetukkan telunjuknya ke paha, memikirkan kemungkinan yang membuat bayinya seperti ini. Apa dia lapar? Haus? Mules? Kebelet pipis? Atau—seketika Oska menegang. Ketukan telunjuknya berhenti. Ingatan kejadian di aquarium tiba-tiba menyentaknya.
"Maafkan saya."
"Hmm?"
"Soal kejadian di aquarium..." Oska menggantung ucapannya beberapa saat, membuat Ruby menyadari kemana arah pembicaraan ini. "Saya—"
"Jangan dipikirin, gue udah nggak pa-pa."
"Ya?"
"Soal jam tangan lo yang nyangkut, kan?" Tidak mungkin Ruby bilang; soal lo yang mau nyium gue. Dadanya masih sesak jika harus membicarakan sesuatu yang salah. Apalagi disini ada Aji, malu. "Bukan perkara besar. Kepala gue udah nggak sakit, tenang aja."
"Bukan itu maksud saya, tapi—"
"Gue baru ingat ada yang kelupaan, Bi." Ruby mengalihkan pembicaraan, kemudian menoleh. "Soal syarat."
"Syarat ap—oh, iya, kamu belum bilang tadi? Apa syaratnya?" Oska akhirnya mengerti Ruby tidak ingin membahas kejadian tadi. Tidak apa-apa, seenggaknya dia sudah mau bicara dan menatapnya.
"Cuma satu syarat dan lo harus turutin." Hening beberapa saat. "Apapun yang kita lakukan hari ini—yang kemarin juga—pokoknya yang kita lakukan berdua, gue minta lo jangan cerita ke Sachie. Oke?"
Satu alis Oska terangkat. "Kenapa? Kamu malu berteman sama saya?" wajah polos itu tertekuk.
"Bukan." Ruby menggeleng cepat, seolah takut Oska tersinggung. Tangannya pun bergerak panik. Namun, sedetik kemudian Ruby berusaha bersikap biasa saja. "Gue cuma nggak mau Sachie mikir aneh-aneh."
"Aneh-aneh gimana?"
"Lo tau gue sama Sachie gimana. Belum pernah ada orang lain yang sedekat ini diantara kami, even Raiden sekalipun. Kami selalu berdua. Sachie itu posesif ke gue. Lo mau dia marah sama lo, trus mutusin persahabatan kalian karena merasa sahabatnya direbut?"
"Ya nggak mau. Tapi, emang kamu marah sama saya setiap kali saya dekat dengan Sachie?"
Ruby ternganga. "... enggak." Tangannya membenarkan topi yang tidak bergeser sedikitpun. "Kenapa harus marah? Gue bebasin dia mau berteman sama siapa aja. Dan—Bian, kalau gue marah, nggak mungkin gue disini sama elo."
"See? Kita berdua sama-sama sahabat Sachie, nggak ada alasan buat dia marah saat tahu kedua sahabatnya pergi bersama. Kamu juga tahu sendiri, selama ini Sachie yang semangat nyuruh kita berteman, dia pasti senang kalau liat kita akur dan—"
"Fabian, lo harus tahu kalau mulut dan hati cewek itu sering berseberangan. Bisa saja mulutnya bilang nggak pa-pa, tapi hatinya... siapa yang tahu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Starlight for Yamaza
Algemene fictie"Dia bukan cowok most wanted dengan segala pesona yang bikin cewek-cewek alay keganjenan kayak cacing kepanasan. Tapi bukan berarti dia cupu. Dia cuma anak pendiam, yang pasrah dengan kondisinya. Satu-satunya cowok yang selalu bawa bekal ke sekolah...